correlation-v-causation-cartoon1

Bacaan I: 1 Samuel 15:16-23

Bacaan Injil: Markus 2:18-22

Setelah merayakan misa Natal dan tinggal beberapa hari di Waghete, desa di pedalaman pegunungan Jayawijaya Papua Tengah, Jumat 27 Desember 2013, ditemani Romo Nico SJ pastor pembantu paroki dan frater Yuda SJ wakil pamong SMA Adiluhur Nabire, saya “turun gunung” dengan mobil paroki menuju ke Nabire, 255 km ke arah Utara. Seorang bapak, putra asli Papua berperawakan kecil bersikeras turut menemani, karena juga ingin mengunjungi saudaranya di kota. Pegawai Dinas PU Waghethe ini sempat ditanya Romo Nico, “Bapak benar mau ikut kah? Bagaimana dengan pekerjaan Bapak di kantor?” Dengan enteng ia  menjawab: “Jangan kawatir Pater, saya sudah tanda tangan presensi sampai Tahun Baru”. Kami tergelak terbahak waktu mendengarnya. Jawaban yang maunya menentramkan itu sekaligus mengkhawatirkan: logikanya hanya sepotong yang kena. Jawaban yang juga mencerminkan etos kerja yang banyak ditemui di daerah terpencil di Papua. Memprihatinkan. Tetapi kami membiarkannya turut serta. Pak Frans Doe yang biasa turut, ini kali harus mengalah. “Gantian lah, “ ujar Romo Nico.

Para pengusung atheisme suka melecehkan kaum beragama sebagai orang-orang yang logikanya “kurang penuh”. Kepercayaan pada Tuhan suka dianggap irrasional.  Mereka lupa, “pertarungan” meluruskan, menajamkan, meninggikan logika merupakan bagian dinamika pokok beriman. Tentu saja ada orang-orang yang lebih suka “meninggalkan” logika atau bahkan mencurigai pikiran manusia (baca: filsafat) sebagai penghalang menangkap pesan ilahi, tetapi bukankah itu gejala yang biasa ditemui dalam masyarakat manapun, dan mereka tidak bisa dilihat sebagai mewakili kelompok terbesar yang mempertahankan dan terus mengembangkan ketajaman budi dan hati?

Bacaan-bacaan hari ini dapat dipahami dalam kerangka transformasi (logika) agama yang berusaha menyenangkan Tuhan lewat persembahan-persembahan yang meredakan murka Tuhan yang pemarah, menuju (logika) agama yang mengajarkan ketaatan penuh dan utuh, secara kritis dan kreatif, agar manusia berkembang sepenuhnya. Sikap Saul yang mengikuti perintah Tuhan setengah hati sambil mencari keuntungan sendiri menunjukkan logikanya yang hanya sepotong-sepotong. Jadinya dia didakwa Samuel jatuh dalam dosa sejenis menyembah berhala, karena kepentingan dirinya diutamakan daripada melaksanakan kehendak Allah yang telah diketahuinya secara jelas. Dia juga dituduh berusaha “menyogok” Tuhan lewat persembahan korban bakaran.

Bacaan Injil juga menyingkap dibalik pertanyaan orang-orang Farisi tentang murid-murid Yesus yang tidak berpuasa, Allah dipandang perlu “dipuaskan” dengan pelaksanaan puasa tsb. Yesus menggunakan kesempatan ini untuk mengajarkan logika yang lebih utuh: puasa adalah tanda keterpisahan dari Allah. Para muridNya tidak perlu berpuasa karena selama Yesus ada di tengah mereka, mereka tidak terpisah dari Allah. Tentu saja, untuk dapat menampung “ilmu” baru ini, perlu “kantong” baru!

Kitapun perlu terus belajar dalam beriman, menguji hati dan budi, agar doa kita: “Jadilah kehendakMu”, benar-benar mengarahkan pikiran, perkataan dan perbuatan kita, dalam pencarian tulus terus menerus akan kehendakNya. Kita hendaknya juga tidak berpuas diri berhenti dan bersandar melulu pada kuasa “formula”, tetapi mau bersusah payah menggali “semangat dasar” pula. Kalau tidak waspada dengan yang pertama, bisa jadi kita akan mengubah doa kita: Tuhan, jadilah kehendakMu yang sesuai dengan kehendakku. Cincai lah…  Kalau tidak waspada dengan godaan berhenti mengembangkan iman, bisa jadi kita kita salah mengambil langkah yang justru menjauhkan kita dari tujuan kita diciptakan.  Maka, waspadailah logika sepotong-sepotong!