
Posted by admin on September 11, 2014
Posted in renungan
Saya teringat satu cerita kecil di dalam kelas waktu masih belajar di Seminari Tinggi Ledalero, Flores. Seorang professor yang kini sudah pensiun mengisahkannya saat itu kepada kami demikian. Ada seorang ibu punya seorang bayi yang masih kecil. Suatu ketika muncul dalam pikiran ibu ini untuk mengenal sejauh mana anaknya nanti kelak. Ketika anak itu menangis dia berusaha menghiburnya. Ia mengambil sebungkus gula-gula atau candy. Banyak permen dalam satu bungkusan itu. Ia lalu memberikan sebungkus itu semuanya kepada anaknya. Anak itu tenang dan nampak gembira sambil menggenggam kuat-kuat bungkusan itu dekat di dadanya. Dengan bahasa isyarat, ibu itu lalu meminta agar anaknya memberinya cukup satu permen dari dalam bungkusan itu.
Dengan kisah kecil ini sang professor berkata: Jika anak itu bisa memberikan kembali satu permen kepada ibunya, itu membuktikan bahwa ia mencintai ibunya. Cinta itu, kata sang professor, tidak terletak pada permen yang diberikan kembali. Cinta anak itu tidak terletak di situ. Sebab, dari dalam dirinya sendiri anak itu tidak bisa memberi karena permen itu, toh berasal dari ibunya. Satu-satunya yang bisa dikembalikan oleh anak itu adalah “cinta,” terang sang professor.
Cinta seperti yang ingin disampaikan oleh sang guru di atas adalah cinta yang tidak kelihatan karena ia ada pada kedalaman yang hanya bisa dilihat dengan hati. Ia bukan permen yang bisa dilihat, melainkan gerakan yang keluar dari dalam hati untuk memberi. Gerakan memberi yang timbul dari dalam hati seperti ini sulit dibahasakan, tetapi sang ibu mampu menangkap isyarat tersebut bahwa anaknya benar-benar mencintai dia.
Dalam Injil hari ini Yesus menambahkan sesuatu yang “asing” dalam mencintai, yakni mencintai musuh! Musuh adalah orang yang kita tidak suka. Musuh adalah orang yang jahat. Musuh adalah orang yang suka menyakiti orang lain. Musuh adalah orang yang sehari-hari kita menjauhkan diri darinya. Musuh adalah orang yang selalu negatif, sasaran empuk dari setiap gosip yang kita lancarkan sehari-hari.
Tetapi Tuhan menantang kita untuk bertanya diri: Mencintai orang-orang yang dekat dan kita kenal, teman-teman? Apa lebihnya? Mencintai orang-orang yang bisa memberi kembali balasan? Apa lebihnya?
Demikian juga kita ditantang kita untuk mengampuni: Apa saya menaruh dendam pada orang lain? Apakah saya cepat menghakimi sesama? Apakah saya mudah mengampuni?
Pertanyaan-pertanyaan di atas tentu akan sulit untuk dituntaskan, apalagi kalau kita masih memiliki banyak musuh dalam hati kita. Tapi inilah kesempatan berahmat bagi kita untuk merenung. Kita perlu memeriksa dalam hati kita kerikil-kerikil permusuhan dan dendam yang melukai hati kita sehingga tidak mampu mencintai dengan sempurna seperti Allah. Roh Kudus adalah kekuatan Allah yang mampu menyembuhkan luka-luka kebencian dan dendam dalam
hati. Semoga kasih Tuhan terus bertumbuh dalam hati kita dan memancarkan sinar kebaikan-Nya bagi sesama dan dunia sekitar kita.
Posted by admin on September 10, 2014
Posted in renungan
Luk 6:20-26
Injil yang kita renungkan hari ini dari Lukas tentang kotbah Yesus di atas tanah yang rata, dan bukan dari atas bukit seperti versi Matius. Kotbah ini adalah ajaran khusus bagi para murid di mana Yesus menyebut mereka sebagai yang berbahagia karena diberkati oleh Allah.
Versi Lukas menunjukkan bahwa Yesus mengkontraskan kondisi dunia yang dihadapi para murid di dalam dunia dengan apa yang Ia bawa di dalam diri-Nya sendiri, Kerajaan Allah. Orang yang sekarang miskin, kerajaan menjadi milik mereka; yang lapar menjadi kenyang; yang bersedih, tertawa; yang dibenci, terbuang dan teraniaya serta ditolak karena nama Tuhan, diberkati.
Visi Yesus tentang kerajaan yang dibawa-Nya akan menjadi berkat, tetapi juga mengandung risiko-risiko bagi ketika berhadapan dengan kekuatan-kekuatan dunia yang tidak mengenal dan menolak kehadiran Allah.
Para murid, karena itu, diajak untuk kuat beriman pada Yesus. Beriman berarti bersedia untuk ditransformasi oleh Yesus sendiri dengan selalu mau mencari kehendak Allah; menerima Yesus sebagai kebenaran Ilahi; bersedia menjadi tanda berkat dan damai dengan sesama; dan rela mewartakan pertobatan dan kasih kepada siapa saja.
Dengan menyebut para nabi yang dibunuh demi kebenaran, Yesus memberi contoh tentang keteladanan mereka di dunia namun yang kini mewarisi kerajaan Surga.
Paus Emeritus Benediktus ke-16, dalam bukunya, Yesus dari Nazareth (Gramedia, 2008), secara tepat mengarahkan kita bahwa Sabda Bahagia hanya dapat dipahami secara benar dan utuh jika ditilik dalam terang kasih Allah sendiri yang berpuncak pada peristiwa salib: “tempat kemuliaan – tempat berlangsung perjumpaan dan persekutuan sejati dengan Allah, yang adalah kasih (bdk. 1 Yoh 4:7, 16).”
Posted by admin on September 9, 2014
Posted in renungan
Lukas 6:12-19
Injil Lukas mengisahkan kepada kita berurut-urutan tentang peristiwa-peristiwa di mana Yesus memulai dan melaksanakan misi perutusan-Nya dengan doa. Ketika dibaptis oleh Yohanes Pemandi, Yesus berdoa. Saat itu langit terbuka dan Roh Kudus turun atas-Nya untuk selanjutnya memulai misi perutusan Bapa. Yesus juga berada dalam doa yang khusuk pada peristiwa pengkuan Petrus (Luk 9:18). Peristiwa Transfigurasi di atas gunung terjadi saat Yesus sedang berdoa, nampak Dia berbicara dengan Musa dan Elia. Dan saat itu juga Yesus mengantisipasi kepergian-Nya ke Jerusalem untuk menderita dan wafat di Salib (Luk 9:18). Peristiwa lain ialah Yesus mengajarkan kepada para murid bagaimana mesti berdoa – Bapa Kami – (Luk 11:1). Pada Perjamuan Akhir Yesus berbicara dengan Petrus agar imannya tetap kuat di tengah krisis yang bakal dihadapi dan Petrus ditugasi untuk menguatkan iman saudara-saudaranya (Luk 22:32). Di Gunung Zaitun Yesus berpisah sejenak dari murid-murid dan berdoa menyerahkan diri kepada Bapa-Nya perihal Piala yang akan diminum-Nya. Pada akhir Injilnya, Lukas juga merekam Yesus yang sedang berdoa dari atas Salib sebelum menghembuskan nafas terakhir (Luk 23:46).
Bacaan hari ini tentang Yesus yang memilih para Rasul-Nya yang berjumlah 12 orang. Angka ini memiliki arti simbolis religius dengan merujuk pada ke-12 suku Israel – anak-anak Yakub – yang menjadi fundamen bagi eksistensi etis-religius dan kultural bangsa Yahudi.
Mereka itu adalah Simon Petrus (1), Andreas (2), Yakobus (3), Yohanes (4), Filipus (5) Bartolomeus (6), Matius (7), Thomas (8), Yakobus anak Alfeus (9), Simon orang Zelot (10), Yudas anak Yakobus (11), dan Yudas Iskariot (12), Si Pengkhianat.
Keduabelas Rasul ini dikenal sebagai lapisan inti karena mereka inilah yang sehari-hari melihat, mendengar, berbicara, makan, minum, berjalan keliling, berdoa dan mewartakan Kerajaan Allah bersama Yesus. Singkatnya, merekalah yang mengalami secara fisik dan spiritual Pribadi mesianik yang mereka panggil, Guru! Para Rasul ini adalah saksi-saksi pertama Injil. Kita mengenal Yesus dalam kehidupan menggereja, lewat kotbah dan membaca Kitab Suci, pengajaran orang tua, katekis dan guru agama. Meski demikian Yesus sudah mengantipasi gelombang kedatangan para pengikut-Nya yang tidak mengalami Dia secara langsung seperti para murid yang Dia pilih sendiri tetapi melalui dan dalam iman akan Dia (Yoh 20:29). Di dalam pembaptisan kita menerima Roh Kudus yang memberi kita martabat baru sebagai anak-anak Allah. Martabat baru ini ditandai dengan pertobatan dan penghapusan dosa asal agar dalam iman akan Kristus yang bangkit dari mati kita diberi kemampuan untuk mengenal dan mencintai Allah sebagai Bapa yang oleh Putra-Nya kita boleh diberi-Nya hidup kekal. Dalam iman yang sama pula kita saling mengenal dan mencintai satu sama lain sebagai murid-murid dari Tuhan yang satu dan sama: Kristus, Putra Allah.
Dalam Credo kita selalu memproklamasikan iman Gereja yang Satu, Kudus, Katolik dan Apostolik. Ciri yang terakhir ini untuk menegaskan bahwa iman yang kita hayati adalah warisan para Rasul. Kita dipanggil untuk menjadi saksi dan utusan Tuhan untuk terus-menerus tanpa gentar mewartakan kabar keselamatan dengan sukacita dan penuh semangat. Entah sebagai awam maupun religius, tertahbis maupun yang disatukan dalam sakramen perkawinan, kita semua adalah misionaris. Kita dipanggil untuk mencintai rahmat panggilan kita masing, dengan
talenta dan karunia yang Tuhan berikan dan kuduskan dalam diri kita, pergi dan bersaksi: dari Judea dan Jerusalem, Tirus dan Sidon, di darat, di laut, di udara, di rumah, di pasar dan mal, di jalan … Di mana saja kita diutus, martabat pembaptisan memampukan kita untuk bersaksi.
Injil mengatakan bahwa gelombang orang dari mana-mana datang kepada Yesus dan mendengarkan Dia. Mendegarkan Yesus adalah tanda kemuridan kita. Di tengah kebisingan dunia dengan high speed lalu lintas elektronik and banjir informasi yang melampaui kemampuan manusiawi kita untuk menerima dan mengolah data dengan baik, kita dituntut untuk memperluas cakupan audio dan terus mempertajam visi misioner kita pada Yesus sendiri. Dia yang memberi arah dan meristis jalan bagi misi Gereja. Dia sendiri yang memberi contoh bahwa kekuatan misi harus selalu dimulai dan terus-menerus berpusat pada misteri doa agar aksi yang dilakukan dalam ketaatan akan sabda-Nya efektif dalam setiap suasana, termasuk kerumunan yang tak terduga sekalipun: “mereka datang mendengarkan Dia dan disembuhkan dari pelbagai penyakit; bahkan yang dihuni oleh roh-roh jahat dibersihkan. Setiap orang dalam kerumunan berusaha menyentuh Dia karena kuasa Allah keluar dari dalam diri-Nya dan menyembuhkan mereka semua.”