Header image alt text

indonesian catholic online evangelization

Takut

Posted by admin on April 18, 2015
Posted in renungan 

Gems fam2012a

Bacaan I : Kisah Para Rasul 6:1-7
Bacaan Injil : Yohanes 6:16-21

Dua tahun lalu saya mendapat email yang menyentuh dari seorang sahabat di Brisbane, seorang Ibu dari dua anak kecil yang lincah dan lucu, Jasmine dan Alvin.

Dear Romo Ardi dan Romo Vincent,

Just before bed tonight Alvin prayed for you.
“Lord Jesus, please bless our friends, Romo Ardi and Romo Vincent, hope they always happy and safe. Help them every day to do their job, and hope nobody won’t get lost or get hurt. Amen”

After pray, I asked him, why do you pray for Romo so he won’t get lost?
He said: It’s scary, mom. When you get lost, nobody’s around you and you just cry. But when somebody’s found you, you’ll be so so happy.

Yesterday, he experienced lost in the crowds. We’ve panicked and started looking for him, but actually he just a couple steps in front of us and started crying.
So, make sure you’re not lost, and you can help others who’s lost to find their way home.

Pengalaman Alvin sebagaimana pengalaman para murid Yesus yang malam-malam naik perahu di danau menuju ke Kapernaum, diterpa badai, adalah pengalaman kita juga. Ada saat-saat kita merasa kehilangan arah, kehilangan horizon pandang. Saat itu kita tahu, tak ada guna kita berpegang pada kemampuan diri. Melawan kuasa alam, kedasyatan angin topan dan “kemarahan” gelombang air danau seperti dalam situasi para murid misalnya, jelas sia-sia. Mengandalkan pada kebijaksanaan dan keberanian sendiri yang sangat terbatas dalam situasi si kecil Alvin, juga jelas tidak membantu. Saat kita menghadapi ujian sekolah, mencari pekerjaan, mencari calon pasangan hidup, menemani anggota keluarga yang sakit berat atau teman yang stress, dll, kita tahu, tak bisa kita bergantung pada kekuatan sendiri.

Ketakutan dan kecemasan menjadi penanda batas kuasa kita, menjadi pengingat kita akan ketergantungan kita pada kekuatan yang lebih besar dari kita. Tak pernah kita layak jumawa, karena kita adalah mahluk yang tercipta, yang tergantung pada Sang Pencipta. Di sisi lain, kita dipanggil untuk percaya, Tuhan suka datang pada saat yang tak kita dugai lewat orang-orang sekitar kita dan bersabda: Jangan takut, ini Aku. Dia mencintai kita. Dia memperhatikan kita. Dia peduli pada kita. Sementara itu, mungkin kita yang dipanggil untuk menjadi wakilNya menunjukkan jalan pada orang sekitar kita dan berbisik: Jangan takut, ini aku. Siapkah kita? Semoga!

Dialog

Posted by admin on April 17, 2015
Posted in renungan 

dialogue-shutterstock_91130885

Bacaan I : Kisah Para Rasul 5:34-42
Bacaan Injil : Yohanes 6: 1-15

Dalam suatu rapat Dewan Paroki di sebuah paroki dimana saya pernah bertugas, suatu kali Seksi Liturgi menyoroti pelaksanaan Misa Natal anak-anak yang dianggap tidak mendukung umat dewasa yang mengikuti misa pada jam tersebut. Dengan keras seorang pengurus mengatakan “Tidak ada yang namanya Misa Anak-Anak, Misa Kaum Musa, Misa Taize, Misa Lansia, Misa Karismatik… Misa ya Misa… Maka mestinya pada misa yang diikuti anak-anak itu juga berlaku aturan umum. Misalnya lektor, apakah anak-anak tahu apa yang dibaca itu? Lebih baik lektor tetap orang dewasa. Dan dalam pengumuman Gereja juga sebaiknya tidak lagi disebut Misa anak-anak, supaya umat tidak lalu menghindari datang misa pada jam itu karena dipikirnya Misa itu hanya untuk anak-anak saja.” Tentu saja pernyataan itu mendapat sanggahan keras dari pengurus Bina Iman Anak-anak.

Meski nampaknya kurang dikenal di Indonesia, tetapi pada tahun 1973, Sekretariat Kongregasi Penyembahan Ilahi (Congregation of Divine Worship) telah mengeluarkan Directory for Masses with Children. Jelas Vatican mendukung pentingnya pendekatan khusus untuk anak-anak dalam berliturgi untuk membantu mereka mengenal dan mencintai imannya. Misa untuk anak-anak itu bukan sekedar persoalan nama tapi semangat mendukung perkembangan iman anak. Lagipula, perayaan Misa yang dikhususkan untuk anak-anak dengan melibatkan orangtua sudah jamak dilakukan di paroki-paroki lain dan bukan saja di Indonesia. Dalam hati, saya teringat lelucon yang beredar di kalangan imam dan seminarian yang agak parah mengolok-olok fenomena sejenis itu: apa persamaan dan perbedaan terrorist dan liturgist (ahli liturgi)? Persamaannya, keduanya memegang prinsip dengan kuat. Perbedaannya, kalau terrorist masih bisa diajak kompromi, kalau liturgist tidak.

Dalam hidup menggereja dan bermasyarakat, perbedaan pendapat jamak adanya. Persoalannya, bagaimana mensikapinya dengan arif dan bijaksana, tidak serta merta mengganggap pihak yang berbeda pendapat salah tanpa berusaha memahaminya lebih dahulu. Gamaliel, doktor Hukum Taurat yang disegani dengan tenang meredam amarah anngota Dewan Imam dan menyarankan membiarkan waktu untuk membuktikan apakah gerakan para murid Yesus sungguh dari Allah atau hanyalah rekayasa manusia belaka. Logikanya, kalau itu bagian rencana Allah, pastilah akan diberkati dengan pertumbuhan yang tak terbendung bahkan oleh penganiayaan. Sebaliknya, jika ajaran yang disebarkan para rasul itu hanyalah buatan manusia, pasti tak akan bertahan lama. Meski saling pengertian yang mendalam tidak sungguh terjadi antara para tokoh agama Yahudi dan para pewarta Sang Jalan, setidaknya terciptalah ruang dialog publik untuk menguji kebenaran ajaran baru tersebut.

Kata dialog berasal dari bahasa Yunani kuno ???????? (diálogos, “wacana, percakapan), dari ??? (diá, “melalui, antar”) + ????? (lógos, “pidato, ceramah, wacana, percakapan ilmiah”). Dialog menciptakan jembatan, bukan dinding dan sekat pemisah. Dalam kotbahnya kemarin atas rangkaian kisah pengadilan para rasul ini, Paus Fransiskus mengingatkan, mereka yang tidak mau berdialog tidak taat pada Tuhan, karena mereka ingin membungkam mereka yang mewartakan kebaruan dari Allah. Hanya mereka yang taat pada Tuhan punya keberanian untuk mengubah jalannya ketika Tuhan meminta kita untuk melakukannya. Lebih jauh lagi beliau menyatakan: mereka yang tidak tahu bagaimana berdialog dengan orang lain juga tidak tahu bagaimana berdialog dengan Tuhan, karena mereka tidak tahu bagaimana berdoa dan mendengar suara Tuhan. Mereka hanya menafsirkan pelaksanaan hukum secara lebih persis, tetapi menutup diri terhadap tanda-tanda dari Tuhan dalam sejarah manusia.

So, saat menghadapi perbedaan terutama dalam mengungkapkan penghayatan iman beranikah kita terbuka dan berdialog? Semoga!

Mengatasi Kecemasan

Posted by admin on April 16, 2015
Posted in Podcast 

Taat

Posted by admin on April 16, 2015
Posted in renungan  | 2 Comments

hands-in-air

Bacaan I : Kisah Para Rasul 5:27-33
Bacaan Injil : Yohanes 3:31-36

Seorang teman baru –baru ini sharing. Sewaktu remaja dulu, dia nakal sekali. Saat tinggal di asrama, malam-malam dia suka keluar dan membuat pesta dengan teman-temannya. Bahkan saat dia menemukan cintanya pada sebuah komunitas doa kontemplatif dan tinggal di biara bersama orang-orang muda awam lain yang tertarik dengan cara mereka berdoa, dia juga suka melanggar aturan dengan keluar mencari makan sementara di dalam biara sudah disediakan cukup makanan. Kini dia bekerja untuk sebuah Gereja di Sydney. Menariknya, meski dia bekerja di paroki yang punya kecenderungan “rileks” terhadap aturan-aturan Gereja umum, dia justru merasa “menderita”. Mengapa? Karena dia kini menemukan bahwa dirinya begitu mencintai aturan dan tradisi Gereja! Dia menemukan penting baginya sebuah kepastian, kejelasan , ketaatan yang menjaga kesatuan kawanan, yang menjaga kebenaran, yang menjaga ruang suci iman. Dengan heran dia bertanya: Romo, koq bisa ya saya berubah begitu…? Dari pemberontak terhadap aturan yang saya anggap mengekang kebebasan dan kemandirian, menjadi begitu mencintai aturan hingga kini saya justru menderita karena orang-orang lain kurang menghargai tradisi dan aturan Gereja, dan mereka tidak memahami saya yang nampak terlalu saleh jadinya!

Sejak lahir dan hadir di dunia, salah satu pelajaran penting yang terus menerus kita dalami adalah soal ketaatan. Setiap orang belajar mencari , menemukan dan merumuskan nilai-nilai apa yang mereka mau pegang dan perjuangkan dalam hidup. Setiap orang berjalan mengikuti arah tertentu yang ditunjukkan bintang di hatinya, magnet hidup yang menarik seluruh perhatiannya. Persoalan menjadi tak mudah saat perjalanan mengikuti bintang yang berbeda membenturkan satu sama lain. Pertikaian di dunia politik, dagang, sosial, bahkan keluarga dan teman, muncul karena kepentingan dan tujuan yang berbeda-beda. Bahkan atas nama alasan mendasar yang sama, jika pemahaman yang dibangun diatasnya berbeda, bisa muncul gesekan dan pertarungan. Seperti yang terjadi antara Dewan Imam Yahudi Sanhedrin dengan Petrus dan para rasul.

Kiranya kita bisa mudah mengiyakan, bahwa Dewan Imam mendasarkan larangan mewartakan Injil Tuhan karena mereka menilai hal itu bertentangan dengan perintah Yahwe, sejauh mereka pahami. Bagi mereka, Yesus teruslah menjadi seorang penghujat Allah dengan keberanianNya menyatakan diri sebagai Anak Allah. Di sisi lain, Petrus dan kawan-kawan juga merasa Allah lah yang membuat mereka mewartakan Injil kebangkitan Sang Guru dan ajakan bertobat dan memberi diri dibaptis. Dihadapkan pada pengadilan yang mencoba mencari kompromi, mereka memberi tantangan yang menunjukkan bahwa jalan tengah dalam perkara mereka mustahil adanya: Ketaatan pada Allah jauh lebih utama dari ketaatan pada manusia.

Pernyataan yang sederhana namun kokoh kuat dan mendasar. Pernyataan yang harus dibaca dengan kecerdasan para cendekiawan, namun dengan hati yang tulus dan murni seperti hati seorang kanak-kanak. Dunia terus menunjukkan, intensi yang baik saja tidak cukup. Niat baik memberi hidup untuk Tuhan bisa mencetak ratusan ribu teroris yang siap menghancurkan hidup orang lain, karena mereka tak cukup cerdas dan terbuka untuk belajar mengkritisi jalan yang tawarkan orang pada mereka. Taat buta. Hari Sabat dimuliakan lebih dari Tuhan yang hendak dipuja dalam hari yang diistimewakan itu.

Namun di sisi lain, para pemuja ilmu juga bisa terjebak pada membangun menara gading yang tidak menjawab kebutuhan hidup sehari-hari, yang menolak ungkapan iman sederhana umat yang sungguh menjawab kerinduan umat, sibuk dengan refleksi ide dan kata-kata bahasa dewa. Dan betapa setiap kita punya pengalaman menyakitkan ditolak Gereja karena “tidak sesuai aturan”, meski sebenarnya Gereja universal selalu menekankan pentingnya pelayanan, cinta kasih, pengertina, pengampunan, nilai-nilai yang syukurlah dicuatkan kembali dengan kuat dalam diri Paus Fransiskus.

Setiap kita bisa jatuh pada sikap yang sama dengan Dewan Imam Yahudi: menekankan kepentingan diri atau kelompok, dan lupa mendengar kehendak Allah. Setiap kita diundang mengikuti teladan para Rasul, yang menerapkan semangat Sang Guru: taat pada Bapa melebihi apapun, bahkan saat ancaman kesengsaraan atau kematian disodorkan. Dan ini bukan teori, karena kita tahu tragedi pembunuhan orang-orang Kristen hanya karena mereka Kristen terus terjadi di Siria, Irak, Nigeria, Yaman dll. Kita bisa juga ikut jadi “martir putih” yang lewat hidup kita masing-masing memberi kesaksian hidup yang didasarkan pada pelaksanaan kehendak Allah, pada nilai-nilai KerajaanNya, terutama saat dihadapkan pada tantangan nilai-nilai duniawi. Dan ini bukan teori. Hidup kitalah medan pelaksanaannya.

Yesus Kristus Sumber Damai

Posted by admin on April 14, 2015
Posted in Podcast 

3f341ba9a8b3fe22676fa380f6cbd707_hening
Translate »