Header image alt text

indonesian catholic online evangelization

Dying

Posted by Romo Valentinus Bayuhadi Ruseno OP on July 21, 2018
Posted in renungan  | Tagged With: ,

Sixteenth Sunday in Ordinary Time

July 22, 2018

Mark 6:30-34

 

He said to them, “Come away by yourselves to a deserted place and rest a while.”  (Mrk 6:31)

 

I am currently having my clinical pastoral education at one of the hospitals in Metro Manila. It has been one month since I started my pastoral visits. Since then, I have encountered people in different stages of illness. Many of them are fast recovering, some are taking more time to get cured, but some others have to face serious conditions. It is my ministry as a chaplain to accompany them in their journey of healing. I feel immense joy when I can witness their healing process, from one who is weak on the bed, to one who is standing and ready to leave the hospital.

However, the greatest privilege for me is that I am given a chance to accompany some persons in their journey of dying. It seems rather morbid because we are all afraid of death, and many still look at talking about death as taboo. Yet, in the hospital, battling death is a daily business for both the patients and the medical professionals. It is just that some are dying longer than the others. Death and dying are terrifying because they end our life, shatter our dreams, and cut our relationship with the people we love. I befriend a young man who just graduated with a lot of dreams in his heart, yet cancer robs him of his dreams as he has to struggle with painful and unforgiving chemotherapy. I also accompany a young woman who has kidney failures and has to spend a lot on her dialysis and medicine. She is not able to finish her school, to find a job, and to pursue her dreams. A young mother has to leave behind her young children in the province, move to Manila, jump from one hospital to another, just to be cured of her breast cancer. Her only wish is to be reunited with her children.

However, as I journey with them, I discover that dying is not only terrifying but also a privilege. It is true that dying can trigger many negative feelings like denial, anger, bitterness, and even depression. One can blame himself, or get angry with God. One who can only depend on the generosity of the people around him can feel helpless and even depressed. However, when the patient begins to accept his situation, dying can be transformed into a moment of grace. The dying person can now see what truly matter in life. As healthy persons, we do a lot of things; we work hard, we achieve many things. With so much in our hands, we tend to overlook what are the most essential in our lives. Dying slows us down, and gives us time to think clearly. It provides us the rare opportunity to settle the unfinished business and to do the missions God has entrusted to us. Paradoxically, the dying is the one who is truly living. As Mitch Albom writes in Tuesdays with Morrie, “The truth is, once you learn how to die, you learn how to live.”

In today’s Gospel, Jesus invites His disciples to rest. After working so hard for their mission, Jesus brings them to a deserted place. After success in their preaching, the disciples may easily be proud and be full of themselves. Yet, a genuine rest may settle them down and reorient themselves into Jesus, the source of their mission and success.

We do not have to suffer first from terminal illness as to experience dying. We can always avail the privilege of dying through moments of rest, prayer, and reflection. It is always good to reflect the words of St. John of the Cross, “in the twilight of life, God will not judge us on our earthly possessions and human successes, but on how well we have loved.”

 

Br. Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Harapan menghidupkan iman

Posted by admin on July 20, 2018
Posted in renungan 

Sabtu, 21 Juli 2018

Harapan menghidupkan iman

Mat 12:14-21

Misi Yesus adalah menyelamatkan umat manusia dari kuasa dosa. Yesus senantiasa setia dalam memegang janji dan komitmennya untuk menyelamatkan manusia dan mewartakan Kabar Gembira. Namun golongan orang Farisi bersekongkol untuk membunuh Yesus. Rencana kejahatan yang direncanakan mereka telah diketahui Yesus dan Ia memilih untuk bersikap bijaksana dengan cara menyingkir dari daerah tersebut. Banyak orang mengikutiNya dan Yesus pun menyembuhkan banyak penyakit. Tergenapilah apa yang dikatakan nabi Yesaya mengenai

kehadiran Yesus di dunia. Identitas Yesus adalah sebagai Putera Allah, Mesias yang diurapi oleh Roh Kudus. Ia membawa pembebasan bagi para tawanan, membawa damai dan pengampunan. Ungkapan “buluh yang patah terkulai tidak akan diputuskan-Nya, dan sumbu yang pudar nyalanya tidak akan dipadamkan-Nya” menjadi tanda bahwa Allah senantiasa memberikan harapan di tengah-tengah keputus-asaan. Seperti yang dikatakan dalam bacaan Injil hari ini, “Kepada-Nyalah semua bangsa akan berharap.”

Apa yang dapat kita renungkan dalam bacaan Injil hari ini ? Yesus mengajarkan kepada kita tentang pentingnya keberanian dengan tetap menggunakan akal sehat dan pertimbangan yang matang. Yesus menghindari orang Farisi yang merencanakan pembunuhan terhadapNya bukan karena takut tetapi karena Ia menggunakan pertimbangan demi kepentingan yang lebih penting yaitu melanjutkan pewartaan Kabar Gembira di daerah lainnya. Kita diundang untuk mempunyai keberanian seperti Yesus lakukan. Kita pun diundang untuk memiliki keberanian untuk memanggul salib kita setiap hari, untuk memerangi dosa, keegoisan diri kita, kesombongan, kekerasan hati kita. Matius menggunakan ungkapan “hamba yang menderita”, “hambaKu yang Kukasihi” berasal dari Kitab Nabi Yesaya yang menubuatkan bagaimana Yesus sebagai Mesias akan melaksanakan misiNya tidak dengan suatu kekuasaan politik tetapi melalui cinta dan pelayanan. Tidak ada cinta yang lebih besar, daripada cinta seseorang yang memberikqan nyawanya kepada sahabat-sahabatnya. Yesus mengundang kita untuk mencintai Allah secara total seperti Allah sendiri mencintai kita tanpa syarat.

“Tuhan Yesus, cintaMu dan belaskasihMu tanpa batas kepada kami. Berikanlah kepada kami kekuatan ketika saya lemah dan rapuh, ketika saya mengalami ketakutan. Berilah kepada kami kedamaian, ketika kami dalam bahaya, penghiburan di saat kami mengalami kesedihan. Jadikanlah kami alat cinta dan belaskasihMu bagi mereka yang kehilangan harapan dan mengalami kesedihan”

Belaskasih dan pengampunan

Posted by admin on July 19, 2018
Posted in renungan 

Jumat, 20 Juli 2018

Belaskasih dan pengampunan

Matius 12:1-8

Peraturan dan hukum senantiasa dibutuhkan dalam hidup bersama dalam masyarakat. Hukum dan peraturan dibuat untuk mengatur hidup bersama sehingga terwujudlah keadilan dan saling menghormati orang lain. Demikian pula hukum taurat bagi bangsa Yahudi sangatlah penting dalam hidup bersama. Namun orang-orang Farisi lebih mengagungkan apa yang dituliskan dalam hukum taurat daripada hukum cinta kasih yang diajarkan oleh Yesus. Dalam bacaan Injil hari ini, orang-orang Farisi menegur Yesus karena para muridNya melanggar hukum taurat yaitu dengan memetik bulir gandum dan memakannya pada hari sabat.

Dalam setiap agama, terdapat tiga elemen yang penting : ajaran agama, upacara peribadatan dan ajaran yang diamalkan dalam tindakan. Bagi Yesus, suatu agama bukan saja mengenai segala sesuatu yang harus dilakukan dan segala sesuatu yang tidak boleh dilakukan, melainkan berkaitan dengan penghayatan misteri cinta Allah, bersyukur atas segala kebaikan yang telah Allah berikan kepada kita dan mewujudkan cinta Allah itu dalam tindakan mencintai sesama kita. Untuk menegaskan hal itu Yesus berkata, “Aku berkata kepadamu: Di sini ada yang melebihi bait Allah. Seandainya kalian memahami maksud sabda ini, ‘Yang kukehendaki ialah belas kasihan dan bukan persembahan’, tentu kalian tidak akan menghukum orang yang tidak bersalah. Sebab Anak Manusia adalah Tuhan atas hari Sabat.”

Yesus mengundang kita melalui bacaan Injil hari ini agar hidup doa bermuara dalam tindakan kasih dan pengampunan. Dalam hidup sehari-hari, seringkali doa masih berhenti pada apa yang aku butuhkan, Allah dijadikan sebagai pribadi yang harus melayani keinginan dan permintaan kita. Setelah merenungkan bacaan Injil hari ini, doa-doa kita hendaknya mengantar kita untuk melakukan suatu tindakan kasih, mencintai dan mengampuni sesama. Yesus menegaskan pentingnya belas kasihan dan bukan hanya persembahan. Seperti yang dikatakan dalam Kitab Nabi Hosea 6:6, “Sebab Aku menyukai kasih setia dan bukan korban sembelihan, dan menyukai pengenalan akan Allah lebih dari pada korban-korban bakaran”.

“Tuhan, buatlah kami berjalan di jalanMu, di mana terdapat cinta dan kebijaksanaan, tidak adanya ketakutan, di mana ada kesabaran dan kerendahan hati, tidak ada kemarahan dan kesombongan. Ajarilah kami untuk memilih berbuat kasih kepada saudara-saudari kami yang menderita dari pada hanya berpangku tangan.”

Bersama Yesus, kita dikuatkan

Posted by admin on July 19, 2018
Posted in renungan 

Kamis, 19 Juli 2018

Bersama Yesus, kita dikuatkan

Matius 11:28-30

Hampir tidak mungkin hidup manusia terbebas dari suatu kesulitan dan persoalan. ‘Pikullah kuk’ yang kita dengarkan dalam bacaan Injil hari ini bisa menggambarkan suatu beban dan persoalan hidup kita sehari-hari : pengalaman sakit, kesepian, pengalaman ditinggalkan, tidak adanya pekerjaan dan bentuk penderitaan lainnya. Namun bukanlah suatu hal yang tidak mungkin pula, kesulitan dan penderitaan itu mampu kita lalui karena Allah yang menguatkan dan mencintai kita. Sebuah ‘kuk’ biasanya dipasang di leher sepasang sapi yang digunakan untuk membajak sawah. Sebuah mata bajak yang ditarik kedua sapi tersebut akan digunakan untuk membalikkan tanah sebelum ditanami. Dengan demikian tanah akan siap ditanami dan akan menjadi subur dan menghasilkan bulir padi yang baik. Meskipun sebuah ‘kuk’ dipahami sebagai suatu beban namun sebuah ‘kuk’ itulah juga mampu mempermudah para petani dalam mengolah tanah.

Dalam bacaan Injil hari ini, Yesus berkata, “Pikullah kuk yang Kupasang dan belajarlah pada-Ku, sebab Aku ini lemah lembut dan rendah hati. Maka hatimu akan mendapat

ketenangan. Sebab enaklah kuk yang Kupasang, dan ringanlah beban-Ku.” Beban hidup kita pun terasa akan lebih ringan karena kita menimba kekuatan dari Yesus sendiri. Ketika Yesus bersabda, “Datanglah kepada-Ku, kalian semua yang letih lesu dan berbeban berat. Aku akan memberikan kelegaan kepadamu..” menjadi undangan bagi kita untuk berani menghadapi segala kesulitan dan penderitaan yang kita miliki. Penderitaan dan kesulitan yang kita hadapi juga akan menjadi suatu rahmat.

“Tuhan Yesus, nyalakan dalam hati kami suatu cinta yang hanya untuk memuliakan NamaMu dan suatu kehendak yang hanya untuk mengikutiMu dengan setia. Bebaskanlah kami dari dosa dan hati yang dingin. Semoga SabdaMu menolong dan menopang kehidupan kami.”

Menjadi dewasa dalam iman karena kerendahan hati

Posted by admin on July 17, 2018
Posted in renungan 

Rabu, 18 Juli 2018

Menjadi dewasa dalam iman karena kerendahan hati

Matius 11:25-27

Dalam kehidupan kita sehari-hari tak jarang orang miskin atau orang yang dipandang lemah kurang diperhitungkan dan bahkan seringkali mereka mengalami kekerasan dan

ketidakadilan. Namun dalam bacaan Injil hari ini kita merenungkan bagaimana misteri iman dinyatakan bukan kepada mereka yang bijak dan pandai. Iman akan Allah yang berkuasa atas langit dan bumi dengan cinta dan belaskasihanNya yang begitu berlimpah. Namun seringkali manusia bersikap acuh tak acuh dengan cinta Allah yang begitu besar. Kesombongan dan keangkuhan diri manusia seringkali menutup hatinya dan akhirnya menjauhkan dirinya dari Allah.

Dalam doa Yesus yang kita dengarkan dalam bacaan Injil hari ini mengungkapkan beberapa hal. Pertama, kesombongan dan cinta diri membutakan diri kita untuk merasakan dan mengalami cinta kasih Allah. Kesombongan menjadi akar dari segala dosa manusia. Oleh karena itu kerendahan hati adalah seperti humus tanah yang mampu menyuburkan tanaman dan akhirnya memberi pertumbuhan dan menghasilkan buah. “Allah menentang orang yang congkak, tetapi mengasihani orang yang rendah hati” (Yak 4:6). Hanya dengan sikap rendah hati, kita mampu menerima kebijaksanaan dan memahami kehendak Allah. Apakah kita dengan rendah hati dan penuh ketaatan menerima kehendakNya ? Kedua, Yesus juga mengkontraskan sikap kesombongan itu dengan sikap rendah hati, kepolosan dan kesederhanaan dari orang miskin dan seorang anak kecil. Kesederhanaan dan kerendahan hati adalah keutamaan iman yang memampukan kita mensyukuri Rahmat dan memupuk harapan dan kegembiraan.

Dalam kehidupan sehari-hari, kita disuguhi suatu tontonan yang lebih mengunggulkan prestasi gemilang, kesuksesan, kesempurnaan. Tak heran kegagalan, ketidakberdayaan dan kekalahan cenderung menjadi sumber keputusasaan. Namun dalam bacaan Injil hari ini, Yesus mengundang kita untuk menghayati kerendahan hati dan kesederhanaan sehingga kita pun menemukan harapan dan sukacita di tengah-tengah kesulitan dan penderitaan.

“Tuhan Yesus Kristus, berilah kami sikap seperti anak kecil yang penuh kesederhanaan, kepolosan dan kepercayaan. Singkirkanlah kesombongan dan keraguan dan ketakutan dalam hati kami agar kami pun mampu menerima KehendakMu penuh ketaatan”

Translate »