Header image alt text

indonesian catholic online evangelization

The Tale of Two Mothers

Posted by Romo Valentinus Bayuhadi Ruseno OP on December 22, 2018
Posted in renungan  | Tagged With: ,

Fourth Sunday of Advent

December 23, 2018

Luke 1: 46-56

 

“Blessed are you who believed that what was spoken to you by the Lord would be fulfilled.”

(Lk. 1:45)

 

Today’s Gospel is truly beautiful. We have two protagonists. They are women, and they are both pregnant. Who are they? Mary and Elizabeth. Yet, why is the story beautiful? It is just natural for women to get pregnant. Unless we need to go closer to the stories and place ourselves in the shoes of Mary and Elisabeth, we can never see the true beauty of their story.

First, Mary, she is young, and at the same time, she is pregnant with no husband. St. Joseph is indeed the husband of Mary, but he is not the father of the baby. Perhaps, in our time, if a woman gets pregnant and yet without a husband, this is an unfortunate event, but life goes on for both the woman and child. however, if we go back to the time of Mary, way back two thousand years ago, that woman would be a great disgrace her family and community. She would be expelled from the community, and sometimes, they would be also stoned to death. Mary understands that when she accepts the will of God, to be the mother of Jesus, she faces death. Indeed, death is the future of Mary.

Second, Elizabeth. Elizabeth has a husband, so nobody will stone her, but her situation is also difficult. She is too old to get pregnant. Once I asked my medical doctor-friends, why is it risky to get pregnant if you are old? One said that as we grow old, so does our body and our muscles. With weaker muscles, a mother will have a difficult time during the process of giving birth, and this can be very dangerous to the baby and the mother.  I said further, why not caesarian? They said that it is also difficult if not deadly. As we grow old, our hearts weaken. If we place ourselves under the knife, with weaker hearts, there is a big possibility that we will not wake up. Like Mary, death may be the future of Elizabeth.

If Mary and Elizabeth know that it is dangerous and even deadly to be pregnant, why are they still following the will of the Lord?

The answer is at the very name of Elizabeth and her husband Zechariah. Zachariah is from the Hebrew word “Zakar”, meaning to remember. Meanwhile, Elizabeth is formed two Hebrew words, Eli and Sabbath, meaning God’s oath or promise. So if we combine the two names, Zachariah-Elizabeth, they mean “God remembers His promise” or “God fulfills His promise.”

Elizabeth knows it is deadly to have John in her womb, but she still follows the will of God, because she is aware the baby was a fulfillment of God’s promise. Mary from Nazareth, the north part of Israel, travels to Judea, the south of Israel, in haste. But, why in haste? Mary is excited, and she wishes to witness how God fulfills His promise to Elizabeth. The moment Mary sees Elizabeth; she knows that the baby inside her womb is also a fulfillment of God’s promise.

Every child, indeed every on us is the fulfillment of God’s promise. Mary and Elizabeth never see the babies in their wombs as mere inconveniences in their lives or unplanned garbage that can be disposed of. Yet, to accept these babies as gifts of God, Mary and Elizabeth have to be courageous because they are going to sacrifice a lot including their own lives. Elizabeth and Mary are brave women and mothers.

The questions are for us: Who among us is not coming from a woman’s womb? We are all here because of a mother. Indeed, not all mothers are perfect. Some of them are not rich, some are having attitude problems, some are not good examples. Yet, the mere fact we are here now, one woman in our life, against all odds, has decided to courageously accept us as a gift, as the fulfillment of God’s promise. To all mothers, thank you very much.

 

Deacon Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Kurban Syukur

Posted by admin on December 21, 2018
Posted in renungan 

Sabtu, 22 Desember, 2018
Bacaan I : 1 Samuel 1: 24-28
Injil : Lukas 1: 46-56

Kurban Syukur

Setelah kelahirannya, terutama setelah disapih dari ibunya, Samuel diserahkan oleh orangtuanya kepada Allah dalam Bait Suci. Ia dipersembahkan sebagai kurban syukur. Orangtuanya menyerahkan dia sepenuhnya kepada Tuhan, ia dipercayakan sepenuhnya dalam penyelenggaraan Ilahi. Samuel dipersembahkan kepada Tuhan bukan karena ia tak disayangi oleh orangtuanya, sebaliknya karena rasa kasih yang sedemikian besar maka anak itu diserahkan kepada Tuhan; karena kita tahu bagaimana orangtuanya menantikan kelahirannya bertahun-tahun. Ibu Samuel bernazar akan memberikan Samuel kepada Tuhan jika ia dikarunia seorang anak. Demikianlah setelah Samuel cukup umur ia dipersembahkan kepada Tuhan sebagai kurban syukur.
Hari ini kita juga mendengarkan syukur pujian Maria setelah ia berjumpa dengan Elisabet saudarinya. Perjumpaan dua orang wanita yang penuh iman ini sungguh sangat menggetarkan. Keduanya melambungkan pujian syukur dan syukur pujian keduanya dicatat oleh Gereja menjadi kurban syukur pujian yang dilambungkan setiap hari. Pengalaman Ibu Samuel, Elisabet, maupun Maria adalah pengalaman iman para wanita bijak dalam Kitab Suci, dan pengalaman iman mereka menguatkan iman kita untuk selalu mau melambungkan syukur pujian kepada Tuhan setiap hari.
Sebagai seorang Kristen kita tahu bahwa Tuhan tak menghendaki kurban bakaran sebagaimana dikatakan oleh Samuel. Ia mengatakan demikian “Apakah TUHAN itu berkenan kepada korban bakaran dan korban sembelihan sama seperti kepada mendengarkan suara TUHAN? Sesungguhnya, mendengarkan lebih baik dari pada korban sembelihan, memperhatikan lebih baik dari pada lemak domba-domba jantan”. Kurban pujian kepada Tuhan jauh lebih berguna dari pada sekedar kurban bakaran. Kurban pujian menuntut kurban waktu, artinya kurban hidup. Tentunya hal ini jauh lebih berharga. Bagaimana hal ini diterapkan dalam hidup kita sehari-hari? Memberikan waktu untuk berdoa, untuk mendengarkan sesama kita yang butuh didengarkan, dan memberikan derma kepada yang membutuhkan jauh lebih berarti dari pada sekedar memberikan kolekte tiap minggu dalam gereja tanpa dilandasi dengan kasih. Kiranya kisah hidup Maria dan Elisabet serta ibu Samuel pada hari ini mendukung kita untuk menjadi pribadi yang lebih baik. Ketiga orang wanita bijak dalam Kitab Suci yang kita dengarkan hari ini telah mengajari kita bahwa Kurban Pujian kepada Tuhan sungguh berkenan kepadaNya. Amin. Tuhan memberkati.

Sumber Sukacita

Posted by admin on December 20, 2018
Posted in renungan 

Jumat, 21 Desember, 2018
Bacaan I : Kidung Agung 2: 8-14 atau Zefanya 3: 14-18a
Injil : Lukas 1: 39-45

Sumber Sukacita

Dengan sangat indah, Kitab Kidung Agung menggambarkan suka cita seorang kekasih saat melihat orang yang dikasihinya datang. Ia menggambarkan kedatangan kekasihnya bagaikan anak kijang yang melompat-lompat kegirangan di atas perbukitan. Gambaran ini dipakai oleh penulis Kitab Kidung Agung untuk menggambarkan sukacita yang memenuhi hatinya. Kitab Kidung Agung adalah kitab yang ditulis berdasarkan inspirasi mistik dari penulisnya, artinya berdasarkan pengalaman kedekatannya dengan Tuhan. Ia menggambarkan Tuhan bagaikan seorang kekasih, dan karena kedatanganNya, ia penuh sukacita bagaikan anak kijang yang melompat-lompat penuh sukacita di padang rumput perbukitan.
Gambaran suka cita ini pula yang dialami oleh Elisabet ketika ia berjumpa dengan Maria. Sebagaimana kita ketahui, perjumpaan dua orang wanita ini terjadi saat keduanya tengah mengandung. Elisabet mengandung Yohanes yang adalah manusia, dan Maria mengandung Yesus yang adalah Tuhan. Perjumpaan ini bukan semata-mata perjumpaan manusiawi, lebih dari itu perjumpaan ini adalah pertemuan antara manusia dengan penciptanya. Maka tak heran jika perjumpaan ini menimbulkan sukacita besar dalam diri Yohanes yang masih ada dalam kandungan. Ia melompat kegirangan dalam kandungan Elisabet, persis seperti yang dilukiskan dalam Kitab Kidung Agung dalam bacaan yang pertama tadi.
Kita sekalian pun juga mampu melompat kegirangan seperti penulis Kitab Kidung Agung maupun seperti Yohanes saat berjumpa dengan Yesus, dengan catatan kalau kita sungguh-sungguh terbuka kepada Tuhan. Setiap aspek kehidupan kita selalu diwarnai dengan pengalaman akan Tuhan, karena lewat setiap pengalaman hidup kita Tuhan mengajak kita untuk mengalami Dia. Tuhan mengundang kita untuk menjadi mistikus. Seorang mistikus adalah seseorang yang mampu menemukan Tuhan dalam setiap pengalaman hidupnya, dalam hidup kesehariannya. Karl Rahner, seorang teolog dan mistikus modern dari Jerman mengatakan bahwa pada saat ini dalam dunia moderen, hanya ada dua pilihan bagi kita umat manusia; kita menjadi seorang mistikus, atau kita menjadi ateis. Mistikus: orang yang selalu mengalami kehadiran Tuhan dalam setiap pengalaman hidupnya; Ateis: Orang yang sama sekali tak percaya akan Tuhan. Saat sekarang ini kita telah menemui gejala seperti ini dalam kehidupan di dalam masyarakat kita. Bersama Santo Yohanes kita memohon rahmat Tuhan agar kita mampu menemukan Tuhan dalam setiap pengalaman hidup kita. Amin. Tuhan memberkati.

Tanda Tuhan

Posted by admin on December 19, 2018
Posted in renungan 

Kamis, 20 Desember, 2018
Bacaan I : Yesaya 7: 10-14
Injil : Lukas 1: 26-38

Tanda Tuhan

Para leluhur kita dalam banyak hal mengajari kita tentang membaca tanda-tanda. Bagi mereka alam memberikan banyak tanda bagi kehidupan umat manusia. Selain itu, mereka juga mengajari kita banyak hal berkaitan dengan berbagai macam tanda yang berasal dari Tuhan baik lewat alam maupun lewat kejadian-kejadian dalam hidup kita. Dengan berbekal tanda-tanda itulah mereka bisa menyikapi hidup.
Sebenarnya tan-tanda yang kita terima dalam hidup kita seringkali merupakan cara Allah berkomunikasi dengan kita. Dalam Kitab Suci kita juga menemukan banyak kisah tentang tanda-tanda dari Tuhan ; baik berupa teguran maupun penguatan serta pergulatan. Dalam Perjanjian lama yang kita baca hari ini, kita menemukan tentang teguran Allah kepada Ahab. Allah memberikan kepadanya tanda teguran berupa ramalan tentang kelahiran Sang Almasih. Kelahiran Almasih ini merupakan teguran, namun sekaligus sebuah penguatan dari Allah yang mau menyelamatkan umatNya.
Dalam Perjanjian Baru, khususnya dalam Injil kita juga menemukan tanda kasih Tuhan lewat berita kelahiran Yesus Kristus. Berita ini sungguh sebuah rahmat namun sekaligus sebuah beban, setidak-tidaknya bagi Maria dan Yusuf. Dikatan sebuah rahmat karena Almasih mau mengambil manusia yang lemah menjadi pengasuhNya, menjadi orangtuanya. Sebuah beban karena resiko yang harus ditanggung oleh Maria dan Yusuf sungguh berat, baik dalam tataran sosial maupun moral. Maria harus menanggung sebuah aib, meskipun ini tak dikatakan. Meskipun demikian ia dan juga Yusuf mau mengambil resiko ini demi cintanya kepada Allah. Yusuf dan Maria adalah tanda yang diberikan oleh Tuhan kepada kita tentang makna kesetiaan dan kesetiaan senantiasa disertai dengan pengurbanan. Tak ada kesetiaan tanpa pengurbanan dan sebaliknya pengurbanan menumbuhkan sebuah kesetiaan. Sikap Yusuf dan Maria adalah tanda pengurbanan sekaligus kesetiaan anak manusia kepada Allah Sang Pencipta, pemrakarsa karya keselamatan.
Sebenarnya Allah pun juga banyak berbicara kepada kita masing-masing lewat berbagai macam tanda, kejadian yang kita alami dalam hidup kita sehari-hari. Semuanya ini hanya bergantung kepada kepekaan kita untuk mau terbuka kepada Allah. Selama kita mau terbuka kepada Allah maka segala kejadian, segala perkara dalam hidup kita adalah tanda yang diberikan supaya kita mau dekat dan mengikuti jalan Tuhan. Kiranya berkat doa Santa Maria dan Santo Yusuf kita pun juga mampu untuk membaca tanda-tanda hidup kita agar makin mampu mendekat kepada Allah. Amin. Tuhan memberkati.

Pertolongan Tuhan

Posted by admin on December 18, 2018
Posted in renungan 

Rabu, 19 Desember, 2018
Bacaan I : Hakim-Hakim 13: 2-7.24-25a
Injil : Lukas 1: 5-25

Pertolongan Tuhan
Dalam Kitab Hakim-Hakim kita menemukan sebuah fakta menarik tentang kelahiran Simson. Penulis Kitab Hakim-Hakim mengatakan bahwa Simson adalah anak dari Manoah. Manoah memiliki seorang istri, dan istrinya ini mandul, alias tak bisa memiliki seorang anak. Meskipun demikian istri Manoah selalu berdoa kepada Tuhan agar diberi seorang anak. Pada akhirnya Tuhan menolong dia dengan memberikan seorang anak. Namun anak ini harus diperlakukan khusus sejak dalam kandungan karena Tuhan menyiapkan dia untuk menjadi seorang Nazir (Nazar). Kata Nazir berasal dari Bahasa Ibrani yang berarti ‘mengasingkan, mentahbiskan, berpantang’; Di Israel seorang Nazir adalah orang yang mengasingkan diri dari orang lain dengan mengkhususkan diri bagi Tuhan dengan suatu nazar (janji) khusus. Asal usul praktiknya adalah sebelum Musa dan masih gelap. Orang-orang Sem dan bangsa-bangsa primitif lainnya sering membiarkan rambutnya tidak dicukur selama menunggu pertolongan ‘gusti’, dan sesudah itu membabat rambutnya. Memang pada ahirnya Simson menjadi tanda pertolongan Tuhan bagi umat Israel.
Dalam Injil kita juga menjumpai hal yang sama. Zakaria dan Elisabet adalah sepasang suami istri yang tak dikaruaniai anak. Sama seperti istri Manoah, Elisabeth juga selalu memohon pertolongan Tuhan untuk diberi seorang anak. Memang demikian, pada akhirnya Elisabet mengandung dan diberi seorang anak. Seperti yang kita ketahui, anak dari Elisabet bernama Yohanes. Yohanes sendiri berarti “pemberian dari Yahweh”. Sama seperti Simson, Yohanes pada kahirnya juga mengasingkan diri dan bernazar kepada Tuhan. Ia menjadi jalan pembuka bagi Sang Mesias.
Dari peristiwa kelahiran Simson dan Yohanes kita bisa belajar bahwa setiap rahmat yang Tuhan berikan kepada kita mengandung sebuah makna, sebuah tugas. Jika Tuhan memberi kita pertolongan, itu semua terjadi karena Tuhan memiliki sebuah rencana besar di balik setiap pertolonganNya. Setiap pertolongan Tuhan adalah sarana belas kasihNya; Ia ingin agar belas kasihNya dapat dilihat dan dapat membantu tiap pribadi bertumbuh dalam iman kepadaNya. Amin. Tuhan memberkati.

Translate »