Header image alt text

indonesian catholic online evangelization

Tuhan Keadilan Kita

Posted by admin on December 17, 2018
Posted in renungan 

Selasa, 18 Desember, 2018
Bacaan I : Yeremia 23 : 5-8
Injil : Matius 1 : 18-24

Tuhan Keadilan Kita

Nabi Yeremia dalam penjelasannya tentang Sang Mesias mengatakan bahwa Tuhan adalah Sang Keadilan. Lebih dari itu ia mengatakan bahwa Tuhan adalah Keadilan Kita. Apakah maksud Nabi Yeremia dengan mengatakan hal ini? Pertama-tama Yeremia, sesuai dengan wahyu dari Allah ingin mengatakan bahwa Tuhan adalah pokok keadilan bagi umat manusia. Ia memberikan keadilan bukan menurut cara pandang manusiawi, namun menurut pandanganNya Dia yang sungguh penuh dengan belas kasih. Keadilan Allah yang sungguh penuh dengan belas kasih ini tampak dalam kehendakNya untuk memberikan keselamatan bagi umat manusia, meskipun manusia telah jatuh dalam dosa dan menjauh dari Allah. Namun Allah kita bukanlah Allah yang hypocrite, bukan Allah yang munafik. Ia tak dapat menyangkal diriNya sendiri. Sifat Allah adalah penuh belas kasih, dan Ia tak dapat menyangkal sifatNya ini. Oleh karena itulah maka Ia tak mampu menghalangi kehendakNya untuk memberikan keselamatan bagi umat manusia sekalipun manusia telah menyangkal Dia.
Keselamatan yang dilakukan oleh Allah ini dilakukan dalam kerangka manusiawi. Allah sadar bahwa sebagai Allah Ia tak terjangkau oleh manusia. Oleh karena itulah Ia mau merendahkan diriNya dengan menjadi manusia dalam diri Yesus Kristus supaya Ia dapat dekat, dapat disentuh dan dapat dilihat oleh umat manusia. Kalau kita menyadari hal ini, betapa bersyukurnya kita memiliki Allah yang sedemikian mau merendah dan menjadi sama seperti kita umat manusia yang lemah. Di sinilah letak keadilan Tuhan. Ia tak mau menghakimi manusia hanya seturut kuasaNya, namun Ia mau melihat kondisi manusia, mengalaminya sendiri sehingga Ia mampu menghakimi dengan adil. Dengan mau menjadi manusia Ia tahu bahwa kita mudah jatuh dalam salah dan dalam dosa. Allah tak membenci kita hanya karena kita berdosa, namun sebaliknya, Ia mau semakin mencintai karena Ia tahu kelemahan kita.
Allah kita yang sungguh mulia mau bersikap adil dengan menjadi manusia lewat perantaraan dua orang anak manusia yang sungguh dekat dengan Dia, yaitu Maria dan Yusuf. Lewat dua orang anak manusia inilah Ia mau menjelmakan diriNya. Dua pribadi yang sungguh rendah hati dan benar di hadapan Tuhan ini dipilih oleh Allah untuk menjadi pendidik bagi Sang Almasih, Sang Juru Selamat. Kitapun mampu menjadi penerima Sang Mesias dalam hidup kita apabila kita bisa bersikap rendah hati, tulus dan benar di hadapan Tuhan. Kiranya berkat kuasa Allah kita mampu melakukannya. Amin. Tuhan memberkati.

Sejarah Keselamatan

Posted by admin on December 16, 2018
Posted in renungan 

Senin 17 Desember, 2018
Bacaan I : Kejadian 49 : 2.8-10
Injil : Matius 1 : 1-17

Sejarah Keselamatan
Tak seorangpun mampu mengetahui pikiran Allah. Tak seorangpun juga mampu menebak rancanganNya. Terkadang jalan pikiran Tuhan terkesan mbulet alias berbelit-belit. Semestinya sebagai seorang Allah, Tuhan, Ia mampu memberikan jalan keselamatan sekali jadi. Namun dalam Injil yang kita baca hari ini, kita dihadapkan pada sejarah keselamatan Allah yang sedemikian panjang. Di akhir bab Injil pada hari ini kita baca demikian, « Jadi seluruhnya ada : empat belas keturunan dari Abraham sampai Daud, empat belas keturunan dari Daud sampai pembuangan ke Babel, dan empat belas keturunan dari pembuangan ke Babel sampai Kristus ». Dalam perikop ini kita temui jalan panjang keselamatan dari Tuhan karena harus melewati 42 garis keturunan. Sungguh sangat lama dan memakan waktu berabad-abad lamanya. Namun perlu pula kita ingat bahwa bagi Tuhan tidak ada lama ataupun singkat. Yang ada dalam Tuhan adalah ke-kekalan, alias kesempurnaan. Waktu yang lama bagi manusia, namun bagi Tuhan hanya sekejap.
Sejarah keselamatan sebenarnya telah ada dalam pikiran Tuhan sejak awal mula Ia menciptakan alam semesta dan seisinya, karena kita yakin bahwa sebagai seorang Pencipta Ia telah memperhitungkan situasi dan kondisi ciptaanNya. Maka bagi Allah rencana keselamatan itu adalah bagian dari karya penciptaanNya. Kalaupun itu terasa lama, karena kita melihatnya berdasarkan perhitungan waktu manusiawi kita. Berpangkal dari hal ini kita bisa berkaca bahwa sejarah keselamatan dilaksanakan dalam kerangka waktu manusiawi, artinya dalam sejarah umat manusia. Dengan demikian kitapun sebenarnya diajak oleh Tuhan untuk menghargai waktu yang telah Ia berikan kepada kita. Bagi Allah setiap saat, setiap detik adalah kesempatan yang Ia berikan kepada kita, karena keselamatan Allah dapat terjadi kapan saja, kita tak pernah bisa tahu. Sebenarnya pula, Allah senantiasa menyelamatkan kita seiring dengan tiap tarikan nafas kita. Bila kita mengingat hal ini betapa bersyukurnya kita, karena Allah begitu mencintai kita, karena Ia menyelamatkan kita tiap saat seiring dengan detakan waktu kehidupan kita. Kiranya kita mampu mensyukuri karya keselamatan Allah dalam hidup kita masing-masing, dan kiranya pula dengan kesadaran ini kitapun mampu mensyukuri anugerah kehidupan yang ia berikan kepada kita maupun kepada sesama kita. Semakin kita mampu mensyukuri anugerah kehidupan yang kita terima, maka kitapun akan semakin bahagia menjalani kehidupan kita. Amin. Tuhan memberkati.

Broken Enough

Posted by Romo Valentinus Bayuhadi Ruseno OP on December 15, 2018
Posted in renungan  | Tagged With: ,

Third Sunday of Advent

December 16, 2018

Luke 3:10-18

 

The second question that Archbishop Socrates Villegas of Lingayen-Dagupan asked us during our ordination was, “Are you broken enough?” Once again his question raised eyebrows and was, indeed, counter-intuitive. We want to be flawless, whole and perfect. We desire to achieve more in life, to be wealthy, healthy and pretty. We wish to be socially accepted, respected and gain certain prominence. We want to become somebody, and not nobody. We like others to call us as the famous doctors, the creative entrepreneurs, or successful lawyers. Or for us, people in the Church, we like people to consider us well-sought preachers, generous and builder-priests, or skillful and well-educated sisters.

However, we often forget that the people we serve are broken people. They are broken in many aspects of life. Some are broken financially, some are struggling with health problems, and many are crushed by traumatic experiences in the families. Some are dealing with anger and emotional instability, and some are confronting depression and despair. Some are hurt, and some other are forced to hurt. Many fall victims to injustice and violations of human rights. And all of us are broken by sin. We are serving broken people, and unless we are broken enough like them, our ministry is nothing but superficial and even hypocritical.

Therefore, as the ministers of the Church, we ask ourselves: are we disciplined enough in our study and allow the demands of academic life to push us hard to kiss the ground and continually beg the Truth to enlighten us? Are we patient enough in our life in the community and allow different personalities and conflicts in the seminary, convent or community to shape us up, to make us realize that life is much bigger than ourselves, and to enrich us? Are we resilient enough in our ministry and allow different people in our ministries to challenge our small world, to confront us with failures, and to face a reality that it is not them being served, but us? Are we humble enough in our prayer and allow God to take control of our lives?

In the center of our Eucharistic liturgy are the Word and the Body being broken. The Word of God in the scriptures is read, and the preacher ‘stretches’ and ‘breaks’ it into more relevant and meaningful words for the people of God. The Body of Christ in the consecrated hosts is literally broken, and so this may be enough for everyone. These Word and Body of Christ are broken for the broken people of God. Jesus saves and makes us holy by being one with us, by being broken for us. He is a broken Lord for His broken brothers and sisters.

We the ministers of God are like Jesus Christ, and thus, the questions are: Are we willing to recognize and accept our own imperfections? Are we strong enough to admit that we are weak? Are broken enough that we may share our total selves to our brothers and sisters? Are we like Christ who is broken for others to live?

 

Deacon Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Beritakanlah kabar gembira dari Tuhan

Posted by admin on December 14, 2018
Posted in renungan 

Sirakh 48:1-4, 9-11
Matius 17:9a, 10-13

Beritakanlah kabar gembira dari Tuhan

Saudara-saudari terkasih,

Konteks dan gambaran dari bacaan Injil hari bukan tanpa alasan dan maksud. Yesus dan beberapa dari muridNya, dalam hal ini mereka adalah Petrus, Yakobus dan Yohanes turun dari gunung. Di atas gunung mereka baru saja mengalami suatu peristiwa dimana Yesus dimuliakan, bersamaan dengan penampakan Moses dan Elia. Gunung samasekali tidak mempunyai latar belakang pengertian hitoris ataupun geografis, tetapi dalam Injil Matius gunung lebih menunjukkan pengertian theologis.

Karena gunung adalah suatu tempat yang selalu dari hari ke hari adalah tempat yang tinggi dan dari masa ke masa masih akan terus merupakan tinggi – namun bagi para murid Yesus, di tempat yang tinggi itu mereka mengalami penglihatan yang menggambarkan kehidupan kerajaan surgawi. Suatu keadaan yang sudah harus bisa dirasakan di bumi ini tetapi belum dapat dialami suatu keadaan seperti yang mereka saksikan. Oleh karena itu para murid tidak diizinkan untuk tetap tinggal di atas gunung itu. Mereka harus kembali bersama Yesus, turun dari gunung itu, kembali ke tengah-tengah umat, kumpulan orang banyak untuk meneruskan kabar gembira itu. Dan mereka pun masih harus bertanya tentang siapa itu Elia. … “mengapa Elia harus datang dahulu?”

Saudara-saudariku terkasih,

Yesus menjawab pertanyaan mereka dalam suatu penjelasan bahwa “Elia sudah datang, tetapi orang tidak mengenal dia, dan memperlakukannya menurut kehendak mereka. Demikian juga Anak Manusia akan menderita oleh mereka.” Dan pada waktu itu para murid mengerti, “bahwa Yesus berbicara tentang Yohanes Pembaptis.” Jawaban Yesus itu sudah ditegaskan dalam bacaan pertama tentang Yoanes Pembaptis, Sirakh 48:12 … bahwa “Eliah ditutupi dengan olak angin, tetapi Elisa dipenuhi dengan rohnya. Selama hidup ia tidk gentar terhadap seorang penguasa, dan tidak seorangpun menaklukkannya.”

Namun kata-kata dan penjelasan Yesus kerena belum terlalu jelas atau nyata sejak masa Elia untuk para muridNya, karena antisipasi tentang kedatangan Mesias dirusaki dan kebejatan dunia ini. Oleh karena itu “Elia yang Baru” harus angkat bicara, seorang yang datang dari Allah dalam diri Yohanes Pembaptis. Seorang yang penuh dengan roh, pengkhotbah tentang pembaharuan dan pertobatan, dan yang akan membaptis dengan air sebelum Yesus akan membaptis dengan Roh Kudus.

Saudara-saudari terkasih,

Disini kita sudah bisa melihat bahwa kedua nabi itu baik Elia maupun Yohanes Pembaptis secara bersama-sama memproklamirkan: “Lihatlah Anak Domba Allah,”…dengan demikian secara metaphoris mau mengatakan untuk kita semua harus turun dari gunung. Bahwa oleh rahmat sakramen pembaptisan kita masing-masing juga mengalami kebahagiaan seperti yang dialami oleh para murid di atas gunung. Ketika kita merayakan Ekatisti Kudus, Ekaristi merupakan pengalaman istimewa yang memungkinkan kita mengalami kebahagiaan surgawi, dan menjadi jembatan antara surga dan bumi.

Oleh karens itu seperti para murid yang sudah harus turun dari gunung, dan Yohaes Pembaptis tidak bisa tidak harus memproklamirkan Mesias ketika Yohanes melihatNya, maka kita juga harus mengambil peranan yang sama untuk memproklamirkan, mewartakan kabar gembira. Semoga kita semua dikuatkan dan diterangi oleh RohNya yang Kudus untuk mewartakan Kabar Gembira itu. Amin.

Doa dan refleksi persiapan kita memasuki Perayaan Natal

Posted by admin on December 13, 2018
Posted in renungan 

Yesaya 48:17-19
Matius 11:16-19

Doa dan refleksi persiapan kita memasuki Perayaan Natal

Saudara-saudariku terkasih,

Satu hal yang seringkali kita lupa atau bahkan tidak perlu terlalu lama berpikir dalam menentukan pilihan restaurant macam apa untuk makan malam nanti apalagi ada begitu banyak pilihannya baik menunya maupun lokasi dimana restraurant itu berada. Menentukan suatu pilihan tentu tidak semudah apa yang kita kehendaki dalam kehidupan ini. Kadangkala kita menjadi sangat ragu-ragu apakah kita akan berhasil mencapai goal yang telah diprogramkan.

Yesaya dalam bacaan hari ini berbicara kepada Allah bagaikan orangtua yang beranggungjawab dan penuh kasih, memprogramkan sesuatu yang lebih baik untuk anak-anaknya. Kepada bangsa Israel Allah menunjukkan jalan kemana mereka akan pergi. Kemakmuran akan menjadi pilihan dan milik mereka kalau mereka mengtaati perintah Allah. Seperti kebanyakan anak-anak, bangsa Israel harus belajar lebih keras, ketimbang menunjukkan mereka tahu semuanya.

Dalam kehidupan ini kebanyakan anak-anak dan cucu-cucu menjunjukkan bahwa mereka tahu lebih banyak daripada para generasi tua. Misalnya dalam hal mempergunakan telephone/cell phone, komputer atau alat-alat elektronik lainnya. Dalam hal ini benar bahwa anak-anak jaman sekarang tahu lebih banyak tahu tentang hal-hal diatas. Namun, ketika sampai pada hal-hal seperti berbuat baik dan berbelaskasih, perhatian dan keprihatian kepada orang lain, para orangtua atau dewasa harus bisa memberi contoh. Dan sebagai orang dewasa kita perlu mempertimbangkan mana yang baik untuk kita teruskan kepada anak-anak kita dan tidak mudah terbawa arus tergantung. Karena untuk belajar berbuat baik kita perlu memperhatian mana yang baik dan tidak hanya mengandalkan apa yang dilihat pada orang lain.

Sangat mungkin inilah yang ditekankan Yesus dalam bacaan Injil hari ini. Sementara disatu pihak, kita tahu bahwa kita perlu terbuka untuk menerima apa saja dengan sikap seperti anak kecil yang menerima pemberian itu dengan sikap penyerahan secara total. karena Yesus dalam bacaan hari ini mau mengingatkan kita semua untuk bersikap dewasa dalam menegaskan apa yang baik dan yang harus kita taati.

Saat ini kita sudah separuh jalan dalam masa Adven sambil memikirkan apa yang akan kita persiapkan untuk merayakan Natal nanti. Ataukah kita perlu bersikap seperti anak kecil yang terbuka menerima apa adanya, dalam pengertian lebih fokus kepada persiapan batin dan terbuka mepersiapkan tempat yang lebih kusus untuk Yesus kedalam hati kita.

Ada banyak cara yang dapat kita lakukan untuk itu. Kita bissa mengintegrasikan persiapan batin kita dengan membagi waktu doa dan refleksi kita dengan waktu untuk membungkus hadiah-hadiah Natal. Merenungkan kehadiran Yesus yang adalah Terang Dunia sementara kita menghiasi rumah dengan lampu-lampu Natal. Keramah tamahan kita menerima dan melayani tamu-tamu yang datang kerumah, dengan sikap terbuka untuk menerima Kristus dalam diri sesama kita. Akhirnya sebelum kita membuka hadiah Natal yang kita peroleh dari orang lain, kita pun bisa menghargai siapa yang memberi hadiah itu.

Oleh karens itu dalam masa adven ini menjadi masa kegembiraan dan antisipasi. Semoga dalam masa adven ini kita akan lebih menyadari akan kebaikan dan kasih setia Allah serta kesempatan kita untuk menjadi lebih dewasa menghargai apa saja yang telah Tuhan berikan kepada dan untuk kita. Dengan demikian kita bisa memberi kesaksian kepada dunia akan kebaikan dan cinta Tuhan yang telah kita terima. Amin.

Translate »