Header image alt text

indonesian catholic online evangelization

Melawan Fundamentalisme

Posted by Romo Valentinus Bayuhadi Ruseno OP on September 8, 2019
Posted in renungan 

9 September 2019

Peringatan St. Petrus Claver

Lukas 6:6-11

Fundamentalisme adalah keputusan kita untuk memeluk sebuah pandangan atau paham sebagai satu-satunya yang benar dan akibatnya, yang lain dianggap sebagai salah dan bahkan harus dimusnahkan. Meskipun kita dengan mudah mengasosiasikan fundamentalisme dengan agama, fundamentalisme dapat terjadi juga di berbagai aspek dari masyarakat. Ada fundamentalisme agama, politik, ilmu pengetahuan/science dan bahkan fundamentalisme ekonomi. Science tentunya baik dan bermanfaat bagi umat manusia, tetapi ketika beberapa orang membuat science, terutama teori-teori tertentu, sebagai satu-satunya jalan untuk mengetahui kebenaran, maka kita memiliki fundamentalisme. Ekonomi sungguhnya diperlukan bagi masyarakat untuk berfungsi, tetapi ketika kita melihat keuntungan sebagai satu-satunya hal yang penting dan bahkan mengorbankan nyawa manusia dan lingkungan hidup untuk ini, maka kita telah jatuh ke dalam fundamentalisme.

Hari ini, kita mendengarkan Injil menurut Lukas. Yesus mencoba membawa para Farisi kepada kebenaran sejati mengenai hari Sabat. Hari ini adalah hari kudus karena Tuhan menjadikan sarana bagi umat-Nya untuk beristirahat di dalam-Nya dan dengan Dia. Tetapi, saat sarana ini menjadi tujuan absolut, hari Sabat seolah-olah lebih penting dari manusia yang seharusnya dibantu oleh hari Sabat untuk menemukan Tuhan.

Di jantung Ordo Dominikan adalah Kebenaran. Dan St. Thomas Aquinas, seorang Dominikan dan salah satu pemikir terbesar, telah menunjukkan kepada kita bahwa Kebenaran ini dapat ditemukan juga di filsuf pagan seperti Plato dan Aristoteles, pada sarjana Yahudi dan Muslim, dan teolog lain yang memiliki pandangan yang bertentangan. Dalam opus-nya, Summa Theologiea, kita dapat dengan mudah melihat bagaimana ia dengan nyaman dan teratur mengumpulkan semua pandangan, baik yang pro dan contra, menjadi kesatuan yang indah. St. Thomas mengajarkan kita untuk tidak memonopoli kebenaran, tetapi dengan kerendahan hati, belajar juga dari orang lain, terutama mereka yang berbeda dari kita.

Sekarang, kita mungkin menyadari bahwa kita tidak merangkul absolutisme agama dan pandangan ekstrim, tapi fundamentalisme masih bisa merambat masuk ke dalam kehidupan kita sehari-hari. Ketika kita menjadi suami yang keras kepala yang berpikir bahwa kita selalu benar, ketika kita menjadi orang tua yang mendominasi dan yang menolak untuk mendengarkan anak-anak kita, kita adalah fundamentalis. Ketika seorang imam bertindak seperti raja dan semua umatnya harus mematuhi, ketika suster pimpinan berprilaku seperti ratu dan memperlakukan lainnya seperti pelayannya, ini adalah fundamentalisme. Kita harus ingat bahwa kita Katolik dan menjadi seorang Katolik fundamentalis sebenarnya kontradiksi. Katolik berarti universal, pria dan wanita bagi semua orang, dan kita tidak boleh dibatasi oleh bentuk-bentuk fundamentalisme.

 Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Love and Hate

Posted by Romo Valentinus Bayuhadi Ruseno OP on September 8, 2019
Posted in renungan  | Tagged With: ,

23rd Sunday in Ordinary Time [C]

September 8, 2019

Luke 14:25-33

Today we listen to one of Jesus’ hard sayings. If we want to follow Jesus, we need to hate our fathers, mothers, our other siblings, and even our own lives; otherwise we are not worthy of Him [Luk 14:25]. Is Jesus serious? Jesus must be kidding around. NO, he means what he says. So, how are we going to understand this hard saying? Jesus teaches love, mercy, and compassion, and the only thing He hates is a sin. Does Jesus change his mind and now turn to be the promoter of hatred? If we can hate our family, we now hate practically everyone. Is this what Jesus intending to say?

To answer this hard question, we need to comprehend also the broader context. Jesus is journeying towards Jerusalem, and He knows well what awaits Him in this city: crucifixion and death. There are crowds following Jesus because Jesus is a popular public figure. Many want to be healed, others wish to see Jesus’s miracles, and the rest just like to listen to His authoritative teachings. This is the crowd mentality: following something or someone because of our selfish interest. This is not true discipleship. This is entertainment.

Jesus understands this too well, and He needs to rebuke them that following Him is not entertainment. He makes them decide whether to remain as a crowd or to become disciples, to leave or to walk in His way of the cross. Yet, this kind of decision is only possible when we are not attached to things and persons we hold dear. We cannot carry our cross unless we are ready to give up our lives.

The question remains, though, is Jesus promoting hatred? One of Jesus’ favorite style in preaching is hyperbole, or to exaggerate to emphasize a point. For example, Jesus once says, “And if your eye causes you to sin, tear it out and throw it away [Matt. 18:9]” Of course, Jesus does not literally demand us to plug our eyes out, but He strongly underlines the severe consequences of sin. Thus, when Jesus speaks that we need to “hate” our parents and our lives, Jesus does not mean to promote hatred and violence. Jesus powerfully reminds the people that unless they love Jesus above all, we are not worthy to be His followers.

This has tremendous implications in our lives. Yes, we need to love our family, but we should love Jesus first, or we should love our parents in Jesus. It is just natural to cling to life, but this life only has true meaning when it is offered to Jesus. In marriage, the couple should love each other, but unless they love Jesus first, the marriage will simply be a social contract. It is the duty of the husband to lead his wife to love Jesus and the wife to follow Jesus together with her husband. It is also the primary duty of parents to teach their children to love God and His Law.

Jesus surely loves His mother, Mary and respect his foster father, Joseph, but it is clear to Jesus that His love for them is rooted and directed to His Father in heaven. It is true discipleship, that unless we hate our lives and everything else, we are not worthy of Him.

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Martabat Manusia dalam Allah

Posted by admin on September 6, 2019
Posted in renungan 

Sabtu, 7 September 2019

Kolose 1:21-23
Mazmur 54
Lukas 6:1-5
Dalam suratnya kepada jemaat di Kolose, Paulus bermaksud meluruskan ajaran Kristiani yang telah dibelokkan oleh beberapa guru agama yang mengedepankan peraturan-peraturan yang lebih duniawi. Para guru agama ini mengutamakan ritual agama Yahudi seperti aturan makan minum, sunat, hari raya, atau hari Sabat. Umat Kristiani harus menanggalkan pakaian lama dan hidup dalam Kristus. Tidak ada lagi perbedaan antara Yahudi dan bukan Yahudi, budak atau orang bebas, semuanya hidup dalam Tubuh Kristus. Daripada berkutat pada hukum duniawi, hendaknya kita mengutamakan hidup dalam kasih, belas kasihan, kemurahan, kerendahan hati, kelemahlembutan dan kesabaran. 
Ajaran ini bisa kita lihat langsung dalam peristiwa yang digambarkan Lukas dalam Injil hari ini. Orang Farisi mengecam murid-murid Yesus yang melakukan hal yang dilarang pada hari Sabat. Yesus menjawab dengan mengingatkan mereka akan cerita bagaimana Raja Daud pernah mengambil roti yang dikhususkan hanya bagi para imam Bait Allah. Kebutuhan para serdadunya yang kelaparan adalah prioritas yang lebih utama bagi Daud saat itu.
Salah satu topik yang paling panas di Amerika Serikat saat ini adalah imigrasi. Banyak orang yang berpegang teguh pada hokum. Orang-orang yang melewati perbatasan tanpa dokumentasi dan ijin dianggap melanggar hukum. Karena itu mereka pantas dipenjara atau diperlakukan sedemikian rupa sehingga hidup mereka sengsara. Sebagai umat Kristiani, kita tunduk pada hukum negara kita. Tetapi bukan berarti hak atau martabat mereka yang melanggar hukum bisa semena-mena diinjak-injak. Mereka tetaplah anak-anak Allah, diciptakan menurut gambar dan rupaNya. Martabat ini tidak boleh diabaikan oleh siapapun dan oleh alasan apapun.Di dunia di mana hak asasi manusia terancam, semoga kita berani mengingatkan hukum utama hakikat manusia dalam Allah.

Perlukah Yesus Datang?

Posted by admin on September 5, 2019
Posted in renungan 

Jumat, 6 September 2019

Kolose 1:15-20
Mazmur 100
Lukas 5:33-39
Kalau Adam dan Hawa tidak berbuat dosa, apakah Yesus akan tetap datang ke dunia?
Banyak dari kita yang mungkin akan menjawab negatif. Logikanya, kalau kita berpendapat Yesus datang ke dunia hanya untuk menebus dosa, maka kalau tidak ada dosa dia tentu tidak perlu datang. Inkarnasi Allah Putra menjadi manusia yang lahir di Yudea 2000 tahun lalu tidak perlu terjadi. 
Tapi surat dari Paulus kepada jemaat di Kolose hari ini menginspirasi beberapa tokoh Gereja awal untuk berpendapat lain. Pendapat mereka dikuatkan dan dijabarkan secara lebih teratur dan mendalam oleh para Fransiskan di abad pertengahan, terutama oleh Beato Yohanes Duns Scotus (1266-1308). Scotus terutama merujuk pada ayat dari Kolose di mana tertulis, "[Kristus] ada terlebih dahulu dari segala sesuatu dan segala sesuatu ada di dalam Dia" (1:17). Saudara Fransiskan Adrianus Sunarko, mantan guru besar di STF Driyakara dan provinsial Fransiskan Indonesia, sekarang Uskup Pangkalpinang, menulis: 
"Berbeda dari pendapat tradisional pada masanya yang secara konstitutif mengkaitkan inkarnasi dengan penebusan dosa, Scotus menegaskan, bahwa Kristus akan datang ke dunia tidak sebagai penebus seandainya manusia tidak berdosa. Inkarnasi tidak ditentukan oleh adanya dosa Adam, melainkan dipandang sebagai sesuatu yang pada dirinya sendiri baik, karena mengalir dari kasih bebas Allah akan ciptaan. Motif dari inkarnasi di sini adalah kasih dari kehendak ilahi untuk mengkomunikasikan diri. Inkarnasi tidak tergantung pada jatuhnya manusia dalam dosa. Ia sudah selalu merupakan bagian dari rencana Allah. Dengan kata lain, pandangan bahwa dosa manusia merupakan prasyarat bagi inkarnasi ditolak Scotus. Inkarnasi bukanlah koreksi kemudian atas karya penciptaan. Sebaliknya harus dikatakan: penciptaan manusia dan dunia merupakan persiapan bagi inkarnasi." (dari buku "Menyapa Bumi Menyembah Hyang Ilahi" terbitan Kanisius 2008)
Sungguh merupakan suatu kabar baik. Yesus datang pertama-tama karena cinta Allah pada kita dan ingin bersama-sama dengan kita, bukan semata-mata karena dosa yang kita perbuat. Jika ini sikap Allah kepada manusia, maka hendaklah kita pun juga bersikap demikian pada orang lain. Mengabarkan Injil bukan terutama untuk menghakimi orang lain dan menunjukkan dosa mereka, tetapi mengabarkan bagaimana kasih Allah begitu besarnya, dan dosa tidak dapat mengalahkan kasih itu.

Tuhan, Pergilah dari Padaku!

Posted by admin on September 4, 2019
Posted in renungan 

Kamis, 5 September 2019

Kolose 1:9-14
Mazmur 98
Lukas 5:1-11
Menurut saya, salah satu tragedi paling besar di dunia sekarang ini bukan orang tidak percaya Tuhan, tetapi orang tidak percaya bahwa mereka disayang Tuhan. Mereka tidak percaya bahwa dengan segala kekurangan dan kesalahan mereka, Tuhan tetap mengasihi mereka. Sama seperti Petrus, mereka seakan berkata, "Pergilah dari padaku, aku ini orang berdosa. Aku tidak pantas dikasihi."
Siapakah mereka di antara kita yang merasa tidak pantas menerima kasih Tuhan, kasih orang tua dan keluarga, atau kasih dari pasangan, teman, atau orang lain?
Seorang anak perempuan yang hamil di luar nikah?
Seorang anak yang gay atau lesbian?
Seorang perempuan yang merasa aborsi adalah satu-satunya jalan keluar?
Seorang yang pernah berselingkuh?
Seorang yang meninggalkan orangtuanya dengan penuh kebencian?
Dunia kita penuh dengan orang-orang yang merasa tidak pantas dikasihi. Kita sendiri pun bisa jadi merasakan hal itu juga. Sayangnya banyak dari ktia umat Kristiani yang lebih siap untuk menghakimi dan meneruskan mitos bahwa mereka tidak pantas menerima cinta Tuhan. Tapi kalau kita mau sungguh melanjutkan misi Kristus, kita harus bisa memberitakan kepada dunia: "Apapun situasimu, apapun yang sudah kau perbuat, Tuhan tidak akan pernah pergi darimu. Tuhan akan selalu mengasihimu. Jangan takut!"
Translate »