Header image alt text

indonesian catholic online evangelization

Pw. S. Perawan Maria – Ratu Rosario

Posted by admin on October 7, 2019
Posted in renungan 

Lukas 10: 25-37

Senin, 07 Oktober 2019

Dari Rm Djoko Prakosa Pr
Rektor Seminari Tinggi Kentungan Yogyakarta

01. ABAIKAN DAN BAIKAN. Injil yg kita dengarkan hari ini, di satu sisi, memberi gambaran tentang sikap dua orang yang membuat pilihan ABAIKAN menolong sesama. Seorang imam yang digambarkan sebagai orang pertama yang melihat “korban perampokan” tidak mau beresiko menolong orang yang hampir mati itu karena alasan kekudusan. Orang Lewi YANG digambarkan sebagai orang kedua yang melihat “korban perampokan” itu juga melakukan hal yang sama. Mereka adalah pelayan bait Allah dan kalau mereka menyentuh orang mati, mereka najis 7 hari (bdk. Bil 19:11). Agaknya mereka khawatir menjadi repot karena dengan menolong berarti mereka harus membersihkan diri dan hal itu membutuhkan waktu yang lama. Mereka membuat pilihan “tutup mata” agar doa dan kekudusan pelayanan di bait Allah tidak tercemar dan tidak tertunda. Mereka membuat pilihan “tutup hati” terhadap korban perampokan. Mereka melewati dan melewatkan “moment” untuk berbuat baik atas nama rasa khawatir dan perhitungan banyaknya penundaan jadual yang pasti akan mengganggu pelayanan mereka.

Sementara itu, orang Samaria yang digambarkan sebagai orang ketiga yang melihat “korban perampokan” membuat pilihan BAIKAN dengan korban perampokan: Lalu datang seorang Samaria, yang sedang dalam perjalanan, ke tempat itu; dan ketika ia melihat orang itu, tergeraklah hatinya oleh belas kasihan. Ia pergi kepadanya lalu membalut luka-lukanya, sesudah ia menyiraminya dengan minyak dan anggur. Kemudian ia menaikkan orang itu ke atas keledai tunggangannya sendiri lalu membawanya ke tempat penginapan dan merawatnya.” Ia mau dibuat repot baik soal waktu, keuangan, maupun kepercayaan, dll. Ia mau menunda perjalanannya, bahkan berjanji untuk kembali mengurus korban.

Semua sepakat bahwa saat Tuhan Yesus bertanya: “Siapakah di antara ketiga orang ini, menurut pendapatmu, adalah sesama manusia dari orang yang jatuh ke tangan penyamun itu?”, jawabannya ialah: “Orang yang telah menunjukkan belas kasihan kepadanya.” Kata Yesus kepadanya: “Pergilah, dan perbuatlah demikian!”

ABAIKAN DAN BAIKAN adalah pilihan. Hari ini Tuhan mengajak kita untuk menjadi sesama dan BAIKAN dengan orang yang sedang “jatuh”. Kita diajak untuk “buka mata” dan “buka hati” bagi orang-orang yang “berkebutuhan khusus”. Membuat pilihan “BAIKAN” dan menjadi sesama yang membutuhkan berarti mau memberi waktu dan mau repot, serta mau mengubah jadual hidupnya. Itulah kasih: memberi segala yang mungkin diberikan.

02. Ketika kehidupan berjalan sesuai dengan maksud Pencipta. Santo Yohanes Maria Vianney dari Ars, pada suatu hari berjalan-jalan di sebuah lapangan bersama seorang kawannya. Pohon-pohon di lapangan itu dipenuhi burung-burung dan suaranya memenuhi udara di sekelilingnya. Romo Yohanes Maria Vianney berhenti dan mendengarkan bunyi burung-burung itu. “Ah, burung-burung kecil” katanya. “Kau diciptakan untuk bernyanyi dan kau pun menyanyi. Manusia diciptakan untuk mencintai Tuhan dan sesamanya di bumi serta seluruh ciptaan, tetapi mereka malah tidak mencintaiN(n)-ya”.

Kutipan Injil hari ini: “Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu dan dengan segenap akal budimu, dan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.”

Semoga kita mau menanggapi keprihatinan St. Yohanes Maria Vianney dengan cara menjadi sesama dan mencintai sesama kita.

Our Catholic Faith

Posted by Romo Valentinus Bayuhadi Ruseno OP on October 5, 2019
Posted in renungan  | Tagged With: ,

27th Sunday in Ordinary Time [C]

October 6, 2019

Luke 17:5-10

If there is one most powerful force in the universe, it will be faith. Jesus teaches us that even faith as small as a mustard seed can do the impossible. Jesus preaches that with this little faith, we can command a sycamore tree be uprooted and be planted in the sea. One of the smallest things on earth can move the most significant reality in the world. The sycamore tree has both deep, strong and widespread roots. It is just impossible to uproot it when it has grown mature. Yet, Jesus surprises further even by saying that we can replant this on the bed of the ocean. That makes it doubly impossible. Jesus is pushing his teaching on faith beyond natural human reasoning!

The question is whether Jesus is merely exaggerating the power of faith, or He is unveiling the deepest of truth of faith. To answer this question, we need to know first what is faith? Surely there are several definitions of faith. In the broadest sense, it is a belief in the divine, something that is much more powerful than us, something beyond us. In many religious traditions, this transcendence is a person that is called God. This faith makes us different those who claim themselves as atheists. In narrower sense, it refers to a belief in a particular set of teachings about the divine. In this sense, the Catholic faith is different from the Protestant Lutheran faith.

St. Thomas Aquinas reminds us that faith is basically an ascent of the intellect. This is precisely what faith is mighty. It does not rely on earthly possession, nor our biological nature, nor our emotions. If we base our faith on moods, every time, we feel unhappy or depressed, and we may lose our faith. Mother Teresa of Calcutta once wrote in her diary that she did not feel the presence of God in her life for almost ten years. If she had depended on her emotion, she would have lost her faith. If we place our faith in our bodily wellbeing, the moment we get sick, or our body weakens, we may lose faith. Padre Pio of Pietrelcina received the gift of stigmata and had to endure the excruciating pain of the crucifixion for more than 50 years. Had he relied on his body, he would have lost his faith long time ago.

It is the ascent of the intellect that makes faith unbelievably powerful. When I was ordained to both to the diaconate and to the priesthood, especially during the most essential part of the ceremony, the laying of bishop’s hands on my head, I confess that I did not feel anything but a little pressure on my head. Does it mean my ordination invalid? Fortunately, the validity of my ordination is not based on my feelings! It is the faith, my faith, my bishop’s faith, the faith of the people, the faith of the Church. It is the faith that allows the unseen, unfelt grace of God to transform my soul into a soul of Jesus, the priest.

Our Catholic faith is indeed the mustard seed that moves a mountain. It is the faith that make our ears to hear the Word of God in the ordinary pages of the Scriptures. It is the faith that opens our minds to see the Body of Christ in a small tiny bread. It is the faith that encourages us to be humble before God and confess our sins before a priest. It is the faith that empowers many Christians to persevere in persecutions and to readily give their blood for Jesus. It is the faith that enables us to sacrifice our lives for others and to love the end.

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

KITA BUKAN SIAPA-SIAPA TANPA ALLAH

Posted by admin on October 1, 2019
Posted in renungan 

Renungan Lubuk Hati

Rabu, 2 Oktober 2019

Peringatan Wajib Para Malaikat Pelindung

Kel. 23:20-23a; Mzm. 91:1-2,3-4,5-6,10-11; Luk. 9: 46-50

Kata: ‘ter’, telah menjadi patokan dan standar nilai dalam berbagai bidang kehidupan. Di bangku sekolah, orang akan berusaha menjadi yang terpandai. Di gelanggang olahraga, orang akan mati-matian menjadi yang terbaik. Di dunia infotainment, orang akan menampilkan diri sebagai orang yang tercantik dan tertampan. Orang-orang juga menghalalkan segala cara untuk menjadi orang yang terkaya. Seolah kata ‘ter’ ini menjadi ‘sihir’ sehingga banyak orang yang dengan segenap raga dan jiwa memperjuangkannya. Dan, sudah sejak zaman dahulu, sifat manusia memang tidak berubah, yaitu ingin menjadi lebih besar, lebih hebat, lebih berkuasa, dan lebih kaya dari yang lainnya. Pokoknya, kalau harus dibanding-bandingkan dengan orang lain, selalu ada yang bisa dibanggakan supaya terasa setingkat lebih hebat dari yang lainnya. 
Nah, ternyata para murid Yesus juga pernah bertengkar karena ingin mengetahui yang terbesar di antara mereka. Aneh memang, kalau mereka harus bertanya demikian. Kalau kita bayangkan, kalau pertanyaan seperti ini diungkapkan dalam dunia keseharian, barangkali masih sedikit wajar, namun para murid bertanya dalam konteks pelayanan dan Kerajaan Surga. Maka, Yesus menyampaikan perumpamaan tentang anak-anak kecil, yang menjadi ‘teladan’ untuk bisa masuk surga. Maksud Yesus, adalah ajakan untuk menyadari bahwa seperti anak kecil yang polos dan mudah tergantung pada orang lain, maka segala kehebatan manusia tidak ada gunanya tanpa peran Allah di sana. Manusia masih sangat tergantung pada Allah, seharusnya. Namun, banyak juga yang sombong pada kemampuan diri. Semoga kita menjadi rendah hati, kalau memang memiliki sesuatu yang ‘lebih’ dari orang lain, karena kita bukanlah siapa-siapa tanpa Allah di sana. 
Selamat pagi, selamat mensyukuri segala rahmat Tuhan hari ini. Berkah Dalem.

Translate »