Header image alt text

indonesian catholic online evangelization

MELAWAN KERAGUAN

Posted by admin on March 8, 2021
Posted in renungan 

Allah telah mengutus para nabi untuk mengajak bangsa Israel kembali percaya kepada-Nya.
Namun semua nabi ditolak mereka, bahkan Yesus Kristus sendiri juga ditolak hingga mereka menyalibkan-Nya. Penolakan adalah bentuk ketidakpercayaan. Oleh karena itu, kebaikan apapun yang telah dibuat oleh Tuhan di depan mata mereka tidak akan berpengaruh dan tidak akan menyentuh mereka. “Mereka bangun, lalu menghalau Y esus ke luar kota dan membawa Dia ketebing gunung, tempat kota itu terletak, untuk melemparkan Dia dari tebing itu.”(Lukas 4: 29).
Dengan demikian hambatan yang terbesar dalam relasi dengan Allah adalah ketidakpercayaan. Bagaimana mengatasi ketidakpercayaan diri seseorang? Kepercayaan tidak bisa disamakan dengan sebuah prestasi manusia, karena dalam kepercayaan tersebut terdapat unsur Ilahi, yaitu peran Allah dan unsur insani; jawaban dari manusia. Ketika Allah telah mengulurkan tangan kasihNya, pada saat itu juga diperlukan sambutan dari manusia. “Aku berkata kepadamu: Ia akan segera mebenarkan mereka. Akan tetapi jika Anak manusia itu datang, adakah Ia mendapati iman dibumi.”(Luk 18:8). Jawaban seseorang muncul dari dalam hatinya, yaitu suatu jawaban dan keputusan pribadi yang bebas tanpa ada paksaan dari manapun juga, sehingga iman atau kepercayaannya tersebut didasarkan pada kerinduan untuk mengikuti dan bersatu dengan Kristus.
“Percayalah kepada-Ku, bahwa Aku di dalam Bapa dan Bapa di dalam Aku, atau setidak-tidaknya, percayalah karena pekerjaan-pekerjaan itu sendiri.”(Yoh 14:11).
Ketika seseorang telah memutuskan untuk percaya kepada Kristus, ia telah menerima Kristus sebagai jalan, kebenaran dan sumber hidupnya dan sekaligus diterima di menjadi milik Allah. “Tetapi kamu adalah miliki Kristus dan Kristus adalah milik Allah.”(1 Kor 3:23). Kata Yesus kepadanya: “Akulah jalan dan kebenaran dan hidup. Tidak ada seorang pun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku.”(Yoh 14:6). Oleh karena itu segala yang diucapkan dan yang dilakukan bersumber dari imannya kepada Kristus, sehingga Tuhan sendiri yang hidup di dalam dirinya. “Namun aku hidup, tetapi bukan lagi aku sendiri yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku. Dan hidupku yang kuhidupi sekarang di dalam daging, adalah hidup oleh iman dalam Anak Allah yang telah mengasihi aku dan menyerahkan diri-Nya untuk aku.”(Galatia 2:20).
Karena mereka sudah menjadi milik Allah, maka mereka menerima martabat yang baru, yaitu sebagai anak-anak Allah. “Sebab kamu tidak menerima roh perbudakan yang membuat kamu menjadi takut lagi, tetapi kamu telah menerima Roh yang menjadikan kamu anak Allah.”(Roma 8:16). Hidup mereka bukan dikuasai oleh kepentingan-kepentingan duniawi, karena mereka tidak lagi milik dunia, sebaliknya hidup mereka telah dikhususkan atau dikuduskan oleh Kristus. “Dan Aku menguduskan diri-Ku bagi mereka, supaya mereka pun dikuduskan dalam kebenaran.”(Yoh 17:19). Jika mereka tetap setia pada Kristus, maka ia akan selalu menjadi tanda dan berkat yang menghadirkan damai, kemurahan hati dan sukacita bagi sesamanya. Iman yang dihayati setiap murid Kristus akan terns berkembang, sejalan dengan kesetiaanya tinggal di dalam Kristus. Tidak ada keraguan lagi, karena ia selalu terbuka dan mendengarkan bimbingan Roh Kudus. “Jikalau kamu tinggal di dalam Aku dan Firman-Ku tinggal di dalam kamu, mintalah apa saja yang kamu kehendaki, dan kamu akan menerimanya.”(Yoh 15:7).
Paroki, St Montfort Serawai, ditulis oleh Rm. A. Didik Setiyawan, CM

Jesus, the New Temple of God

Posted by Romo Valentinus Bayuhadi Ruseno OP on March 6, 2021
Posted in renungan  | Tagged With: , ,

3rd Sunday of Lent

March 7, 2021

John 2:13-25

We, modern readers, often misunderstand today’s Gospel. This particular Jesus’ story becomes a basis for some to refuse the church building and parish vicinities for non-religious activities, however good its intention is. I personally agree that the inside of the Church’s building is a place set aside for worship and prayer. This is the sacred ground for people to encounter God and experience heaven.

However, today’s Gospel is more complicated than it seems. We tend to assume that Jesus cleansed the Temple from the animal vendors and money traders because Jesus saw them as not originally part of the Temple, but suddenly they were not mushrooming in the Temple’s area. Yet, if we go back to the time of Jesus, animal vendors and coin traders were part of the Temple’s system. The pilgrims from different parts of Palestine and the world streamed to the Temple every day, and though bringing their animal sacrifice was possible, it was not practical. The animals certainly would add inconvenient burdens, and they might get some brushes or injuries along the way. With the wounds or damages, the animals were no longer fit for the sacrifice. Thus, to offer a solution to these weary pilgrims, vendors in Jerusalem were ready to help by providing a healthy and worthy animal sacrifice.

Money changers are also tied to the Temple. To support the upkeep of the Temple, pilgrims were to donate some money, yet the Temple did not accept the Roman coins. Temple’s authority perceived the coins were a sign of foreign oppression. They are also considered blasphemous because the coin recognized Caesar as divine. Meanwhile, the Jews were not allowed to mint their coins. As a solution, they were accepting coins from the neighboring city of Tyre. Here comes the role of the coin traders. Without animal sellers and money exchange service, the Temple of Jerusalem would not perform as it should be. We can imagine how difficult it is to produce our own wine and bread for the celebration of the Eucharist.

Ordinarily, the animal vendors and coin traders were located near but outside the Temple. Yet, the problem began when the Temple’s authorities allowed these sellers to be inside the temple area, especially around the court of the gentiles. Jesus was doing what is right. However, farthest from the inner sanctuary, the court of the gentiles is still an integral part of the Temple and remains a place of prayer, especially for those non-Jewish people who believed in the God of Israel.

Jesus wanted to protect the house of God as a house of prayer and worship and desired that the Gentiles have a place in this house of prayer. While unfortunately, the Temple of Jerusalem was destroyed in 70 AD by the Roman empire, Jesus’ vision lives on. His desire to unite the nations in prayer and worship of the true God is realized and achieved perfection in His body, the new Temple of God.

Where do we find now the Body [and Blood] of Christ? It is in the Eucharist. In the Eucharist, people from different nations and languages gather to offer worthy worship to the true God. Every time we celebrate the Eucharist, we become the living testimony of this Jesus’ vision of worship for all nations. We can worship the true God because Jesus prepares the place for us.

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Photocredit: John Applegate

Yesus, Bait Allah yang Baru

Posted by Romo Valentinus Bayuhadi Ruseno OP on March 6, 2021
Posted in renungan  | Tagged With: ,

Minggu Prapaskah ke-3

7 Maret 2021

Yohanes 2: 13-25

Sebagai pembaca modern, kita sering gagal paham akan Injil hari ini. Kisah Yesus yang satu ini sering menjadi dasar bagi sebagian dari kita untuk menolak penggunaan bangunan gereja untuk kegiatan non-keagamaan, apalagi untuk keperluan untuk mencari untung. Saya pribadi setuju bahwa bagian dalam gedung Gereja merupakan tempat yang dikhususkan untuk peribadatan dan doa. Ini adalah daerah suci bagi umat untuk bertemu dengan Tuhan dan mengalami surga.

Namun, Injil hari ini lebih kompleks dari apa yang sering kita pahami. Kita cenderung berasumsi bahwa Yesus membersihkan Bait Suci dari para pedagang hewan dan penukar uang karena Yesus melihat mereka sebelumnya bukan bagian dari Bait Allah, tetapi tiba-tiba mereka menjamur di area Bait Suci. Namun, jika kita kembali ke zaman Yesus, pedagang hewan dan penukar koin adalah bagian dari sistem penyembahan dari Bait Suci. Para peziarah dari berbagai belahan Palestina dan dunia berdatangan ke Bait Allah setiap hari, dan meskipun membawa hewan kurban mereka sendiri itu bisa dilakukan, hal ini tidaklah praktis. Hewan-hewan ini akan menambah beban perjalanan dan hewan-hewan ini mungkin mendapatkan cacat atau cedera di sepanjang jalan. Dengan luka atau kerusakan tersebut, hewan-hewan tersebut tidak layak lagi untuk dipersembahkan. Karenanya, sebuah solusi bagi para peziarah yang lelah ini hadir: para pedagang di Yerusalem siap membantu dengan menyediakan hewan kurban yang sehat dan layak.

Penukar uang juga terikat ke Bait Allah. Untuk mendukung pemeliharaan Bait Allah, para peziarah harus menyumbangkan sejumlah uang, namun Bait Allah tidak menerima koin Romawi. Otoritas Bait Allah menganggap koin itu sebagai tanda penindasan asing. Koin Romawi juga dianggap menghujat karena koin itu mengakui Kaisar sebagai dewa. Sementara itu, orang Yahudi tidak diperbolehkan mencetak koin mereka. Sebagai solusinya, mereka menerima koin dari kota tetangga, Tirus. Di sinilah peran para penukar koin. Tanpa penjual hewan dan layanan penukaran uang, Bait Allah Yerusalem tidak akan berfungsi sebagaimana mestinya. Sama halnya seperti jika kita perlu memproduksi anggur dan roti sendiri untuk perayaan Ekaristi.

Biasanya, pedagang hewan dan pedagang koin berada di dekat tetapi di luar Bait Allah. Namun, masalah bermula ketika otoritas Bait Allah mengizinkan para penjual ini berada di dalam area Bait Allah, terutama di sekitar pelataran bangsa-bangsa [yang diperuntukkan bagi bangsa non-Yahudi]. Pelataran bangsa-bangsa, meskipun terjauh dari tempat yang paling suci, masih merupakan bagian integral dari bait suci dan tetap menjadi tempat berdoa, terutama bagi orang-orang non-Yahudi yang percaya kepada Tuhan Israel.

Yesus tidak hanya ingin melindungi rumah Tuhan sebagai rumah doa dan penyembahan, tetapi Dia juga ingin agar orang-orang bukan Yahudi mendapat tempat di rumah doa ini. Sayangnya, Bait Allah Yerusalem dihancurkan pada 70 M oleh kekaisaran Romawi. Namun, bukan berarti visi Yesus tetap sirna. Keinginan-Nya untuk mempersatukan bangsa-bangsa dalam doa dan penyembahan kepada Tuhan yang benar terwujud dan mencapai kesempurnaan dalam tubuh-Nya, yakni Bait Allah yang baru.

Di manakah kita sekarang menemukan Tubuh [dan Darah] Kristus? Tentunya, ada dalam Ekaristi. Dalam Ekaristi, orang-orang dari berbagai bangsa dan bahasa berkumpul untuk mempersembahkan ibadat yang layak kepada Tuhan yang benar. Setiap kali kita merayakan Ekaristi, kita menjadi saksi hidup dari visi penyembahan Yesus untuk semua bangsa. Kita bisa menyembah Tuhan yang benar karena Yesus menyiapkan tempat untuk kita.

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

RINDU AKAN BELAS KASIH-NYA

Posted by admin on March 6, 2021
Posted in renungan 

Sabtu, 6 Maret 2021

Lukas 15:1-3,11-32

            Yesus menjelaskan kepada para murid-Nya bahwa Allah Bapa adalah Allah yang Murah hati, yang mau menerima kembali anak-anak-Nya yang telah meninggalkan-Nya dan ingin bertobat. Karena kemurahan hati tersebut, maka Allah memberikan pengampunan tanpa batas kepada manusia, asalkan mereka mau kembali atau bertobat. Satu orang saja yang bertobat, maka seluruh isi sorga ikut bersukacita, apalagi yang kembali lebih dari satu orang. “Aku berkata kepadamu: Demikian juga akan ada sukacita pada malaikat-malaikat Allah karena satu orang berdosa yang bertobat.”(Luk 19:6). Sekali lagi, terjadilah kegembiraan dan membahagiakan ketika seseorang diterima oleh Allah yang Maha Rahim. Kegembiaraan tidak hanya bagi manusia, namun juga Allah Bapa juga bersama para malaikat-Nya dan semua orang kudus di sorga. “Kita patut bersukacita dan bergembira karena adikmu telah mati dan menjadi hidup Kembali, ia telah hilang dan didapat kembali.”(Luk 15:32).

Mengapa Allah Bapa murah hati kepada manusia? Semua karena Dia mengasihi setiap pribadi manusia, ciptaan-Nya dan Dia tidak bisa mengingkari diri-Nya yang adalah Kasih. “Allah adalah kasih, dan barangsiapa tetap berada di dalam kasih, ia tetap berada di dalam Allah dan Allah di dalam dia.”(1 Yoh 4:16). Dia juga akan selalu setia mengasihi anak-anak-Nya. “Jika kita tidak setia, Dia tetap setia, karena Dia tidak dapat menyangkal diri-Nya.”(2Timotius 2:13). Puncak penyataan kasih Allah ditunjukkan lewat Putera-Nya, Yesus Kristus yang rela menderita dan di salibkan demi pengampunan dan penebusan dosa-dosa manusia. “Yesus berkata: “Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat.”(Lukas 23:34).

            Jika seseorang percaya bahwa Allah adalah kasih, setia dan murah hati, maka ia akan berani datang kepada-Nya, sebab ia yakin Allah tidak akan menolaknya. “ Aku akan bangkit dan pergi kepada bapaku dan berkata kepadanya: Bapa, aku telah berdosa terhadap sorga dan terhadap bapa, aku tidak layak lagi disebut anak bapa; jadikanlah aku sebagai salah seorang upahan bapa.”(Luk 15: 18-19).  Kasih Allah menjadi alasan mengapa seseorang harus bertobat. Dengan demikian seseorang datang kepada Yesus, bukan karena takut dihukum dan ditolak, bukan juga karena dipaksa oleh hukum, dan bukan karena formalitas atau kewajiban, tetapi karena dorongan hati yang rindu menerima belas kasih dari Allah.  

               Dengan demikian, Yesus ingin para murid-Nya melandasi hidup dan karyanya dengan kasih Allah. Kasih menjadi alasan dan memotivasi untuk bangkit kembali, untuk setia dalam kebaikan, dan untuk dibagikan kepada sesama, terutama bagi mereka yang papa dan menderita.  Mengapa? Karena Allah telah terlebih dahulu mengasihi manusia, bahkan sekalipun manusia jatuh berdosa berkali-kali, namun pintu belas kasih-Nya tidak akan pernah ditutup. Tidak selayaknya sebagai orang yang telah ditebus dosa-dosanya, seseorang kemudian melupakan apa yang telah dilakukan Allah. Akan tetapi dengan kasih Allah, seseorang memiliki semangat dan energi untuk terus melakukan segala sesuatu dengan baik dan benar seturut kehendak-Nya. “Kita mengasihi, karena Allah lebih dahulu mengasihi kita.”(1 Yoh 4:19).   

                                                                                Paroki St. Montfort Serawai, ditulis oleh Rm. A. Didik Setiyawan, CM  

BELAJAR BERSYUKUR

Posted by admin on March 5, 2021
Posted in renungan 

Jumat, 5 Maret 2021

Matius 21: 33-43.45-46

Allah menganugerahkan kehidupan dan iman kepada setiap murid-murid Kristus. Apa yang dianugerahkan tersebut adalah bentuk kepercayaan yang diserahkan kepada mereka, agar bisa menjadi pancaran belas kasih Allah kepada dunia. “Demikianlah hendaknya terangmu bercahaya di depan orang, supaya mereka melihat perbuatanmu yang baik dan memuliakan Bapamu yang di sorga.”(Mat 5:16). Nilai kepercayaan dari Alllah tidak ternilai harganya karena begitu sangat mulia. Oleh karena itu jika seseorang menyadari hal tersebut, ia akan sangat bersyukur, menjaga anugerah iman dari Allah itu, dan mengembangkannya, untuk kedamaian seluruh umat manusia dan untuk meluhurkan dan meninggikan Nama Allah.

Sementara itu, apakah masing-masing orang yang mengaku sudah dibaptis, menyadari nilai yang tinggi dari panggilannya? Jika seseorang ingin mengetahuinya, bisa melihat bagaimana cara hidupnya. Jika cara hidupnya didasarkan pada nilai-nilai Injil atau iman yang ia pegang, maka dengan sendirinya ia mensyukuri dan bertanggung jawab atas kepercayaan yang telah dianugerahkan oleh Allah.  Seperti seorang penggarap ladang yang telah diserahi oleh tuannya untuk menggarap ladangnya, jika ia setia menggarap dengan baik, maka ia telah menjaga kepercayaan dari tuannya, dan sebaliknya, jika kepercayaan itu disia-siakan dengan hidup yang tidak disiplin, hanya mengejar kesenangan-kesenangan semata,  dan  mengabaikan nilai-nilai iman, maka apa yang diterima akan diambil kembali. “Kata mereka kepada-Nya: “Ia akan membinasakan orang-orang jahat itu dan kebun anggurnya akan disewakannya kepada penggarap-penggarap lain, yang akan menyerahkan hasilnya kepadanya pada waktunya.”(Mat 21:41).

Sebagai orang beriman, apakah hidupnya sudah sejalan dan seturut iman tersebut?  Bukan berarti terjadi perubahan dalam sekejap.  Pertumbuhan iman sama seperti pertumbuhan makhluk  hidup. Melalui proses tahap demi tahap, seseorang akan diproses lewat peristiwa-peristiwa hidup ; yang menggembirakan  dan yang tidak, yang pada akhirnya iman tersebut akan dewasa dan berbuah dalam karya cinta kasih dan kesetiaan. Namun yang penting adalah seseorang mampu bersyukur atas imannya dan setelah itu mau berjuang untuk melaksanakannya. Tanpa kehendak atau dorongan dari hati yang kuat, maka hal itu tidak akan pernah terjadi. “Berbahagialah hamba, yang didapati tuannya melakukan tugasnya itu, ketikan tuannya itu datang. Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya tuannya itu akan mengangkat dia menjadi pengawas segala miliknya.”(Mat 24: 46-47).

Dengan demikian yang dibutuhkan untuk mengembangkan iman adalah pertama-tama bersyukur atas hidup dan pengenalan dan kepercayaan kepada Kristus Penyelamat. “Bersukacitalah senantiasa. Tetaplah berdoa. Mengucap syukur dalam segala hal, sebab itulah yang dikehedaki Allah di dalam Kristus Yesus bagi kamu.”( 1Tesalonika 5:16-18).  Jika seseorang mampu bersyukur, maka ia akan bisa bersukacita dalam semua peristiwa, dan ia akan terus setia untuk mengikuti Kristus. Sebaliknya jika seseorang tidak mau bersyukur, ia akan menjadi “buta hatinya” dalam melihat kehadiran Allah dalam hidupnya. Dengan bersyukur seseorang percaya akan kebaikan Tuhan, karena jika tidak percaya, ia tidak ada alasan untuk bersyukur kepada-Nya. Dengan demikian ia lebih percaya pada dirinya sendiri. Dalam kondisi seseorang lepas dari Tuhan, maka ia rentan dikuasai dosa dan dosa inilah yang akan menjadikan ia “buta hatinya”. “Karena itu setiap orang yang tetap berada di dalam Dia, tidak berbuat dosa lagi. Setiap orang yang tetap berbuat dosa, tidak melihat dan tidak mengenal Dia.”(1 Yoh 3:6).

                                                                 Paroki St Montfort Serawai, ditulis oleh Rm. A. Didik Setiyawan, CM

Translate »