Bacaan I : Wahyu 22:1-7
Bacaan Injil : Lukas 21:34-36
“The truth is . . . once you learn how to die, you learn how to live.”
– Morrie Schwartz (1916-1995), dalam buku Mitch Albom-“Tuesday with Morrie”,
Wajah renta oma yang nampak makin kurus itu bersinar sinar saat menunjukkan padaku gambar sebuah kompleks makam dengan tanda salib mencuat disana-sini. “Di sini tempat Diana, Emily, Lucy, para sahabatku, beristirahat dengan tenang. Aku sudah pesan tempat di sana, supaya nanti pada waktunya aku bisa bersama-sama lagi dengan mereka, main bridge seperti dahulu kala sambil minum kopi di senja hari”, katanya sambil terkekeh-kekeh. Police Detective Sergeant Juliana (bukan nama sebenarnya) dalam usia ke 85 masih nampak segar dengan pemikiran yang tegas tajam meski raganya perlahan digerogoti penyakit akut yang membuatnya kini harus melewatkan hari-harinya berbaring beristirahat di sebuah rumah sakit di North Sydney. Salah satu anggota komunitas misa pagi yang rajin membuka hari dengan merayakan perjamuan kudus bersama-sama sekitar 40-an umat di Gereja St Mary North Sydney ini lalu membuka halaman lain dari map berisi berkas-berkas dokumen penting hidupnya itu. “Yang ini, surat perjanjian tentang apa yang akan dituliskan di pusaraku. Bacalah…”
+
Juliana Sachy
1930 Poland – ….
Love Australia and its people
Hatiku tercekat, terasa perih teremas dan terpilin. Pikiranku sejenak berlari pergi entah kemana, terserap kedalam keheningan yang abadi. Sudah payah aku menahan air mataku supaya tidak mengalir keluar. Tetap juga, mataku basah. Untuknya. Untukku. Untuk semua orang yang belum lama ini pergi. Untuk semua orang yang akan segera pergi. Untuk semua orang yang aku cintai. Untuk semua orang yang berbagi kegelisahan dalam menghadapi misteri di balik kehidupan ini.
Nama tanpa gelar dan jabatan yang memancarkan pencapaian duniawi. Plain. Nama yang terlucuti keagungan prestasi-prestasi yang masih terasa getarannya saat dia tunjukkan potongan-potongan berita koran lama yang menyebuti namanya dengan hormat dan kagum, piagam-piagam yang mencatat pengakuan kepolisian Australia atas jasa-jasanya, foto-foto yang menghidupkan lagi masa-masa penuh gairah pengabdian pada negara dan bangsa yang begitu dicintainya, bersama orang-orang penting dan besar pada jamannya. Nama yang sederhana, kembali ke awal saat kedua orangtuanya mensepakati bagaimana mereka inginkan orang-orang nanti memanggilnya, mengenalnya. Kembali ke awal saat aku bacakan nama itu di awal sebuah misa untuk mendoakan dia yang sedang berulang tahun, tanpa mengenal siapa dia, selain “seorang oma yang hidup sendiri jauh dari saudara-saudarinya yang ada di Eropa,” kata Fausta Maric, gadis muda cantik super jangkung, lawyer berdarah Kroatia, akolit misa pagi yang menemukan figur ibu dalam sosok Juliana.
Injil hari ini berpesan tentang pentingnya berjaga-jaga, sebab Tuhan akan datang sewaktu-waktu. Mungkin memang jauh lebih mudah untuk oma Juliana, oma Maria dan para lansia lain yang saya kagumi dalam pertemuan dengan mereka, karena bukan saja mereka sudah siap dipanggil sewaktu-waktu, lebih dari itu, mereka merindukan waktu itu tiba. Mungkin kita bisa belajar dari mereka bahkan selagi usia kita cukup dini, agar kita tak mati sebelum waktunya terhadap kehidupan. Karena kehidupan sejati bukanlah ditakar dari seberapa panjang usia, seberapa banyak harta benda, seberapa tinggi karier didaki, sarana-sarana yang bisa menjebak kita berhenti dalam peziarahan hidup kita. Kehidupan sejati adalah pergerakan mendekatkan diri pada lebih dalamnya iman, lebih kuatnya harapan, lebih mesranya kasih, sebuah antisipasi atas kekekalan yang akan merengkuh kita semua, mau tidak mau. Yang lain-lain hanyalah sarana, alat bantu. Dikejar sejauh membantu, ditinggal kalau mengganggu. Kehidupan sejati adalah membiasakan diri memandang Yang Maha Benar, Baik dan Indah dalam segala, dan bukan berhenti pada yang fana, karena semua akan terlucuti kecuali kasih. Jadi, apa yang Anda usulkan tergores pada epitaph di pusara Anda? Siapkah Anda?
