Bacaan I: Kejadian 4:1-15,25
Bacaan Injil: Markus 8:11-13
Tuhan bertanya pada Kain, “Di manakah saudaramu Habel?… Dengarlah jeritan darah saudaramu, ratapan yang menikam dari tanah basah memerah tempatnya tertumpah …!” Mungkin Tuhan juga bertanya pada kita, di manakah saudara-saudara kita yang terluka atau terabaikan… oleh orang lain atau oleh diri kita. Sungguh menyakitkan hati membayangkan bagaimana Kain tega menumpahkan darah saudara kandungnya sendiri, Habil. Sungguh menyayat hati mendengar berita terorisme, perang, perdagangan manusia, perbudakan, pertikaian, yang terjadi di dunia saat ini, tidak kunjung berhenti. Sungguh membuat hati mengharu biru menyadari bahwa kisah Kain dan Habil terus berulang di tengah keluarga, di sekolah, di tempat kerja, di jalan-jalan desa dan kota, bahkan di tengah Gereja dan kelompok-kelompok agama dan kemanusiaan. Drama ketegangan antar pribadi dan kelompok terus terjadi, dan mungkin saat ini kita menjadi salah satu pelakunya!
Kitab Kejadian menyatakan bahwa Kain memendam iri, dengki, sakit hati. Tuhan sudah mengingatkan, muka muram dan hati panas menandakan bahwa dosa sudah mengintip di depan pintu. Sayang, kegelapan sudah begitu mencekam mata hati Kain, membutakan, menulikan, membebalkan nurani dan akal budi. Hati yang terluka memicu deru amarah, membangkitkan kebencian, dan akhirnya kekerasan. Pada Kain, kekerasan memuncak dalam kekerasan fisik berujung pembunuhan. Pada kita, mungkin berujung pada kekerasan kata-kata yang menyakitkan dan menghancurkan. Fitnah. Gosip. Rerasan. Mengobar-ngobarkan ketidakpuasan dan melancarkan kritik yang bertujuan semata menjatuhkan.
Kita tahu istilah “pembunuhan karakter”, yang mengacu pada serangan berupa kata-kata dengan tujuan menghancurkan atau merusak reputasi atau kepercayaan diri seseorang. Sekali dilancarkan, tindakan ini sering sulit ditarik kembali atau diperbaiki. Karenanya tindakan ini bisa disamakan dengan pembunuhan manusia dalam arti yang sesungguhnya, karena dampak kerusakan bahkan kehancuran yang terjadi tak jarang harus ditanggung seumur hidup. Kita mungkin telah membunuh seseorang dengan kata-kata kita dan tak pernah merasa bersalah, tak pernah sadar bahwa kita telah melakukan dosa berat terhadap saudara-saudari kita, tak sadar bahwa sakit hati bisa menjadi kanker yang menggerus kerohanian dan moralitas kita.
Darah Habil masih menggenang di rumah kita, di sekolah-sekolah, di kantor-kantor, di Gereja, di tempat-tempat konflik di dunia. Darah Habil masih terus menjerit pilu meminta perhatian, belas kasihan dan keadilan. Tuhan masih terus bertanya juga “Di manakah saudaramu?”, mengajak kita peka pada penderitaan orang-orang yang terdekat dengan kita. Mungkin kita bisa menjawab Tuhan dengan menghentikan rantai sakit hati dan balas dendam. Kita sungguh membutuhkan rahmat Tuhan, karena memaafkan sungguh tidak mudah. Mari runduk berdoa, semoga darah yang menggelegak menjadi tenang,dan air bah kata-kata pahit menjadi terkendali, dimulai dari diri kita sendiri. Damai di bumi, damai di hati.

Thanks romo for reminding me to get myself prepared for the upcoming Ash Wednesday…
Selamat menjalani masa Prapaskah – masa pertobatan.