Medical-Decision-Making

Bacaan I : Ulangan 30:15-20
Bacaan Injil : Lukas 9:22-25

Indonesia tahun 1970-an. Satu-satunya stasiun televisi adalah TVRI. Hingga pertengahan dekade tersebut, televisi berwarna masihlah menjadi barang mewah yang terlalu mahal untuk ditempatkan di ruang keluarga kebanyakan orang di Indonesia. Ibu Bapak saya termasuk kelompok kebanyak ini. Toh sebagai anak kecil yang tinggal di perumahan parbik gula di desa Pangkah, Tegal, saya saat itu sudah merasa bersyukur dan senang bisa menikmati tontonan di kotak ajaib tersebut. Salah satu serial favorit saya adalah film Batman dan Robin. Dalam gaya penceritaan masa itu, di paruh pertama cerita, selalu digambarkan Batman dan Robin mengalami kesulitan besar, nyaris gagal dan kalah melawan para penjahat. Tetapi saya hafal, bahwa di paruh kedua cerita, selalu mereka akhirnya menang. Begitu jelasnya pola tersebut sampai muncul jargon “Lakon menang keri”, Sang Tokoh pasti akan menang belakangan. Karenanya, dalam menghadapi kesulitan, tantangan, kegagalan, saya suka menenangkan diri, menempatkan diri sebagai tokoh utama cerita dunia, dan berkata menghibur diri: “Lakon menang keri” (meski takjub juga, tak jarang kemenangan yang didamba akhirnya benar-benar tak datang juga, tersesat entah kemana).

Dalam cara pandang saya saat itu, dunia begitu sederhana, hanya ada logika biner untuk segalanya. Hitam putih. Baik jahat. Benar salah. Menang kalah. Sukses gagal. Dan pilihan saya jelas: jadi orang baik dan benar yang sukses dan menang dalam segala. Saat beranjak dewasa saya harus terbangun dari tidur dan mimpi-mimpi miskin warna tersebut. Dunia lebih rumit dari yang saya pahami sebelumnya. Ternyata ada warna abu-abu. Ternyata ada seribu satu warna turunan dari tiga warna RGB (red green blue). Nuansa menjadi penanda dunia dewasa yang jauh dari sederhana. Atau lebih tepatnya jauh dari kenaifan yang menolak memeluk realitas yang sering membingungkan dan memusingkan.

Dalam bacaan pertama Tuhan menyodorkan pilihan biner yang tegas dan jelas: pada hari hari ini, kepadamu kuperhadapkan kehidupan dan kematian, berkat dan kutuk. Kehidupan dan berkat bisa didapat jika memilih mencintainya, mendengarkannya, dan berpaut padaNya. Kebenaran abadi ditancapkan: kita hadir dalam medan peperangan kuasa baik dan jahat yang terus beradu, dan hidup kita adalah rangkaian pilihan untuk mengikut salah satunya. Logika kita adalah ATAU, bukan DAN.

Dalam Perjanjian Baru, Yesus memilih untuk melaksanakan kehendak Bapa, dan Ia membalik pandangan dunia sederhana hitam putih yang melekatkan penderitaan dengan dosa. Ia bahkan membentangkan tantangan yang bisa membuat para pangikutnya jeri: barang siapa hendak menjadi pengikutKu, dia harus menyangkal dirinya, memanggul salibnya setiap hari dan mengikuti Aku (Luk 9:33). “Aku” di sini bisa mengacu pada sosok Yesus secara keseluruhan, namun bisa jadi lebih langsung mengacu pada gambar suram yang diajukanNya persis sebelum sabda tersebut: “Anak Manusia harus menanggung banyak penderitaan dan ditolak oleh tua-tua, imam-imam kepala dan ahli-ahli Taurat, lalu dibunuh dan dibangkitkan pada hari ketiga (Luk 9:22).” Penderitaan dan salib, saudara-saudariku, adalah “jalan normal” orang yang menyebut diri Kristen, pengikut Kristus, entah dia Kristen katolik, Kristen Ortodoks, Kristen Anglikan, Krsiten Protestan atau apapun kelompok haluannya. Tentu bukan penderitaan asal penderitaan, namun penderitaan yang dipilih ditanggung demi kemuliaan Tuhan yang lebih besar, dalam kemanusiaan yang dimuliakan, dalam martabat semesta yang makin ditinggikan dalam rasa hormat dan cinta pada Sang Pencipta segala.

Masa Prapaskah menjadi masa melatih diri dalam menghadapi medan perang kebaikan melawan kejahatan tersebut. Kita sengaja menahan diri untuk tidak asal mengikuti kehendak hati, karena kemauan diri bisa baik bisa juga membawa kita menjauh dari tujuan kita diadakan. Maka kita sengaja memilih penderitaan, tidak makan kenyang, tidak makan daging, mengurangi jam tidur, lebih memberi hati pada orang lain dengan segala keperluannya daripada pada diri sendiri, lebih banyak berdoa dan mendengarkan Tuhan daripada diri sendiri, untuk melatih pengendaian diri. Untuk makin menjadi Tuan atas diri sendiri dan menjalankan kebebasan secara lebih bertanggung jawab.

Menariknya, dalam kesadaran meninggalkan diri sendiri, dalam pilihan saya ATAU mereka, saya ATAU Tuhan, sebenarnya kita lebih menemukan saya DAN mereka, saya DAN Tuhan. Dalam kebersamaan yang lebih intim antara kita DAN Tuhan DAN sesama, kita memilih hidup dan berkat, tanpa menolak apa yang nampak sebagai mati dan kutuk dalam kacamata dunia. Kematian dan penderitaan bisa jadi adalah ungkapan Cinta dan Hidup yang paling total dan radikal! Beranikah kita menjawab YA pada logika baru DAN yang mengintegrasikan segala dinamika kehidupan dalam rahasia cinta Tuhan itu? Semoga.