Bacaan Injil : Mateus 9:14-15
Apakah Anda suka makan daging? Kecuali Anda vegetarian, punya masalah metabolisme tubuh atau traumas psikis, niscaya Anda akan merapatkan barisan dengan mereka yang suka daging. Daging apa saja. Ayam, babi, sapi, kambing, bebek, kelinci, kerbau, kangguru, dan lain-lain. Mengapa daging disukai? Karena enak. Nikmat. Lezat. Saya sendiri waktu kecil harus dipaksa makan sayur, sementara untuk daging, makin sering dan banyak makin senang. Itu sebabnya di Indonesia abang tukang bakso atau penjual sate termasuk orang yang paling dicari siang, sore mau pun malam.
Sayangnya, kenikmatan di dunia bisa jadi sangat berbahaya. Meski banyak kenikmatan yang bermanfaat, baik, dan secara etika moral tidak bermasalah, banyak juga kenikmatan yang bisa membelenggu, merusak kebebasan kita, bahkan menghancurkan bukan saja diri sendiri tapi juga orang lain. Mungkin dari itulah muncul ungkapan nafsu kedagingan yang berkonotasi negatif: nikmat tapi tidak “halal”. Dan lebih mendasar dari nikmatnya daging untuk dimakan, daging juga diperlawankan dengan roh seperti tubuh dengan jiwa: kenikmatan tubuh nampak mudah diraih, mudah disalahgunakan, bersifat sementara, fana, sedangkan kenikmatan jiwa lebih sulit diraih, sukar dimanipulasi, dapat bertahan lama bahkan abadi, baka. Dunia spiritual inilah ranah jelajah para rohaniwan rohaniwati dan siapa saja yang mendamba air dan roti hidup dari surga.
Demi menunjukkan kesungguhan bertobat dan menjalankan penitensi serta mengikuti teladan Sang Guru, bagian dari upaya mendisiplinkan diri dalam menghadapi godaan nikmat dunia dan meraup nikmat surga, sejak awal tumbuhnya Gereja mempersembahkan 40 hari sebelum Paskah sebagai masa pantang dan puasa. Bahkan menurut Hukum Kanonik Gereja Katolik 1983, semua hari Jumat sepanjang tahun adalah hari penitensi. Adalah bagian dari tradisi yang membentang panjang bahwa di hari Jumat sepanjang tahun orang-orang Katolik tidak makan daging, bagian ungkapan penitensi dan mati raga. Namun sudah sejak tahun 1966 Paus Paulus VI mengeluarkan Konstitusi Apostolik Paenetimini yang melonggarkan aturan puasa, mewajibkan hanya pada Rabu Abu dan Jumat Agung. Alhasil, Konferensi Uskup di banyak negara mengajukan karya amal kasih sebagai ganti pantang daging selama Jumat sepanjang tahun, meski masih cukup banyak yang memilih mempertahankan disiplin Gereja itu secara personal maupun korporal. Sayang, kebanyakan kita bukan saja tidak lagi berpantang selama Jumat sepanjang tahun, tapi juga tidak memahami lagi bahwa sebagaimana Minggu dipersembahkan sebagai hari Tuhan untuk berkumpul dalam perayaan Ekaristi Syukur, sebenarnya Jumat dipersembahkan sebagai hari pertobatan dan penitensi. Bisa didugai, laku amal kasih yang khusus pun –yang diharapkan muncul sebagai pengganti pantang- tidak banyak terjadi.
Kembali pada Yesus Sang Guru, sebagaimana sikapNya pada hukum agama secara umum, Ia lebih tertarik melihat unsur jiwa daripada pembadanan puasa. Maka tidaklah Ia menjadi risau manakala para muridNya tidak berpuasa, karena Sang Pengantin masih berada di tengah-tengah mereka. Akan tiba masanya, saat Ia pergi, mereka akan berpuasa. Ukuran puasa ada di relasi hati, bukan sekedar menjauhi makanan dan rasa kenyang ragawi, bukan sekedar urusan daging.
Dan Yesaya jelas memberi ukuran puasa yang melampaui aturan makan minum. Puasa adalah soal melayani sesama: membuka belenggu-belenggu kelaliman, melepaskan tali-tali kuk, memerdekakan orang yang teraniaya, mematahkan setiap kuk, memecah-mecah roti bagi orang yang lapar dan membawa ke rumah orang miskin yang tak punya rumah, memberi pakaian pada orang yang telanjang dan tidak menyembunyikan diri terhadap saudara sendiri. Pernyataan yang mengingatkan pada Sabda Yesus dalam Injil Mateus 25 tentang dasar Pengadilan Terakhir. Jika kita melakukan semua ini, kita melakukannya untuk Tuhan. Dengan rahmat Tuhan, semoga kita bisa memilih aksi puasa yang tepat lebih dari sekedar soal kedagingan, agar kita kemudian mendengar Tuhan bersabda pada kita: “Inilah puasa yang Kukehendaki”. Amin.
