Kis 4:13-21
Mzm 118
Mark 16:9-15
Pada Sinode Keluarga di Vatikan tahun lalu, Paus Fransiskus menghimbau para uskup untuk berbicara dengan parrhesia dalam berdiskusi tentang masalah-masalah yang dihadapi keluarga-keluarga masa kini. Beliau tidak mau kalau sinode cuma acara formal yang membahas hal-hal yang terlalu dangkal atau netral, asal bapak (Paus) senang. Beliau menginginkan para uskup benar-benar berbicara dari hati mereka dan pengalaman mereka. Kalau tidak setuju, katakan tidak setuju dan bukannya cuma mengangguk-angguk supaya dari luar kelihatannya semua rapi, semua uskup harmonis satu suara.
Dalam bacaan dari Kisah Para Rasul hari ini, di ayat 13 dikatakan bahwa para pemuka agama Yahudi melihat “keberanian” atau boldness Petrus dan Yohanes. Dalam bahasa Yunani aslinya, kata ini adalah parrhesia tadi. Lebih dari berani, parrhesia berarti berbicara dengan keyakinan penuh akan apa yang dikatakan dengan tidak merasa takut akan segala akibat atau konsekuensinya. Seorang ahli filsafat terkenal, Charles Foucault menyatakan:
“Parrhesia adalah aktivitas verbal di mana sang pembicara menyatakan hubungan pribadinya dengan kebenaran, dan mempertaruhkan hidupnya karena dia percaya bahwa menyatakan kebenaran adalah sebuah kewajiban untuk membangun orang lain dan dirinya sendiri. Dengan parrhesia, si pembicara menggunakan kebebasannya dan memilih untuk berbicara seadanya daripada mencoba membujuk, memilih kebenaran daripada isu yang tidak benar atau diam saja, mengambil resiko dibunuh daripada hidup yang nyaman, memilih dikritik daripada puji-pujian, dan memilih kewajiban moral daripada kepentingan diri sendiri dan ketidakpedulian akan moralitas.”
Petrus dan Yohanes berbicara memberi kesaksian di hadapan para pemuka agama Yahudi dengan parrhesia karena mereka sudah melihat dan mendengar sendiri semua tentang Yesus. Bagi mereka tidaklah mungkin untuk berdiam diri lagi. Walaupun ada resiko mereka ditangkap dan mungkin dibunuh juga seperti Yesus, mereka tidak takut.
Berbicara tentang hal ini saya jadi ingat Gubernur DKI yang sekarang, Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok. Terlepas dari setuju atau tidak setuju akan kebijakannya, bisa kita katakan bahwa dia berbicara dengan parrhesia, dengan ceplas-ceplos, seadanya, atau bahasa Jawanya tanpa tedeng aling-aling. Caranya berbicara ini menyebabkan dia mempunyai banyak musuh dan kritik, bahkan sampai ancaman pembunuhan. Tapi dia tidak gentar karena dia benar-benar percaya bahwa semuanya untuk Jakarta yang lebih baik. Dia pernah mengatakan bahwa dia siap kalau tidak terpilih lagi sebagai gubernur, dia siap kalau sampai mati sekalipun.
Adakah kita juga dapat menunjukkan parrhesia dalam hidup iman kita, karena kita benar-benar percaya kabar baik itu, bahwa Kristus yang telah sengsara dan bangkit untuk menyelamatkan dunia?