“Akulah roti hidup”. Kembali bacaan Injil hari ini merupakan kelanjutan refleksi kita mengenai Manna yang baru yakni Perayaan Ekaristi. Perayaan Ekaristi sebagai Manna yang baru adalah roti harian untuk kita. Perayaan Ekaristi dimaksudkan untuk menjadi makanan yang tetap dan terus menerus dari Allah bagi kita, manna yang kita terima setiap hari yang membuat kita tetap hidup di dalam situasi “padang pasir” kehidupan.
Inilah cara baru Allah menyapa kita dengan memberikan kita setiap hari roti hidup yang menopang kita terus-menerus. Praktik Gereja Katolik merayakan Ekaristi setiap hari mendapatkan akarnya di sini. Bagaimana Perayaan Ekaristi memberi kita kekuatan harian? Perayaan Ekaristi menguatkan kita dengan kehadiranNya yang nyata. Allah Bapa memberi kita makan dengan secara fisik menyentuh dan memeluk kita di dalam perayaan Ekaristi dimana kita diperkenankan menerima Tubuh Kristus di dalam telapak tangan kita sendiri.
Bagaimana hal ini bisa dipahami? Kiranya cerita ini bisa membantu kita. Ada sebuah kisah tentang seorang anak muda Yahudi bernama Mordechai yang menolak untuk pergi ke sekolah. Ia berusia enam
tahun ketika ibunya mengantarnya pergi ke sekolah, tetapi ia menangis dan menolak, dan segera sesudah ibunya meninggalkannya di sekolah, ia lari kembali ke rumah. Orang tuanya telah mencoba segala macam cara unruk membujuk dan menerangkan pentingnya sekolah kepadanya, namun tidak membawa hasil.
Akhirnya ketika semua usaha gagal dan membuat orang tuanya putus asa, mereka membawa masalah itu ke seorang Rabbi dan mereka menjelaskan kepadanya situasi anak mereka itu. Rabbi itu hanya berkata, “jika anak itu tidak mau mendengarkan kata-kata, bawalah ia kepada saya”. Mereka membawanya ke rumah belajar milik Rabbi itu. Rabbi itu tidak berkata sepatah kata pun. Ia hanya mengangkat anak itu dan memeluknya erat di dadanya untuk waktu yang sangat lama. Kemudian, masih tanpa kata-kata, Rabbi itu mendudukkan Mordechai. Apa yang dengan kata-kata tidak bisa diraih, suatu pelukan dalam keheningan mampu meraihnya. Mordechai bukan hanya bersedia untuk pergi ke sekolah, ia menjadi seorang pintar dan seorang Rabbi.
Cerita itu hendak menggambarkan bagaimana Perayaan Ekaristi bekerja. Di dalamnya Allah Bapa memeluk kita.