Bacaan Injil: Mrk 10:28-31
Seorang Ibu berperawakan kecil dan pendek, berambut perak dengan tatap mata tajam dan senyum terkulum diwajahnya yang berkerut dan berwibawa datang menemuiku setelah misa harian pagi di sakristi Gereja St Mary North Sydney. “Father, do you know that you made mistake in the way you pronounced the word ‘devil’ when you read the Gospel?”. Lalu dia mulai mengajarku bagaimana cara yang benar mengucapkan kata itu. Ah… barangkali karena aku tidak menganggap setan sebagai temanku maka aku salah mengejanya… ha ha…
Bukan pertama kalinya Sang Ibu menyodorkan koreksi atas caraku mengucapkan beberapa kata Inggris. Tentu saja, sebagai native speaker Ibu berdarah Inggris itu tahu persis cara berbahasa Inggris yang baik dan benar. Belakangan aku tahu, sewaktu muda dia adalah seorang lawyer yang cukup disegani, dan ayahnya adalah seorang jaksa agung yang berkarya di tingkat nasional. Semua rekam jejak itu tak nampak saat dia dengan anggun melayani imam sebagai akolit di altar. Dia seperti akolit-akolit lain yang masing-masing punya keunikan sendiri-sendiri. Semua anggota komunitas misa pagi harian jam 7 di St Mary’s tak ada yang nampak sungguh istimewa.
Dalam pembicaraan di ruang makan pasturan, aku baru menyadari. Begitu banyak orang-orang besar –umumnya sudah pensiun- yang suka menghadiri misa dengan langkah laku yang bersahaja, sungguh biasa. Ternyata diantara mereka banyak tokoh ahli hukum, dokter, insinyur, pelaku bisnis, pemimpin politik dsb. Saat sekali aku berkesempatan dinner bersama mereka, baru aku bisa sungguh melihat dari cara mereka berbicara dan topik pilihan dan minat mereka, mereka ini “bukan orang biasa”.
Tidak mudah meninggalkan segala sesuatu dan mengikuti Yesus. Tidak semua diantara kita dipanggil untuk meninggalkan segala sesuatu dn memeluk bentuk hidup pengabdian yang total seperti Petrus dkk. Namun janji Tuhan Yesus untuk memberi berkat melimpah kiranya juga ditujukan untuk siapa saja yang rela mengosongkan diri dan mengikuti Dia lewat jalan hidup masing-masing. Yang ditinggalkan mungkin bukan rumah dan keluarganya, tetapi kebanggaan profesi, kenyamanan fasilitas, rasa aman, berkuasa dan berjasa, kerinduan menjadi pusat perhatian dunia. Kerendahan hati menjadi salah satu perwujudan semangat yang mengalir dari disiplin kemuridan: yang utama dan pertama adalah Sang Guru. Biar dia sajalah yang luar biasa, dan kita menjadi makin kecil dan biasa, sembari terus mengerjakan yang terbaik yang kita bisa.
Cara manakah yang lebih baik diambil seorang murid daripada membaktikan diri pada Sang Guru lewat kerendahan hati dan pelayanan penuh cinta, jika Sang Guru telah melakukan itu semua secara total, dan mengundang para muridnya melakukan hal yang sama “sebagai peringatan akan Daku”? Banyak orang yang terdahulu akan menjadi yang terakhir dan yang terakhir akan menjadi yang terdahulu. Pada akhirnya, yang penting untuk kita adalah “hidup sebagai anak-anak yang taat.. menjadi kudus di dalam seluruh hidup sama seperti Dia yang kudus yang telah memanggil kita”, juga kalau itu dipandang sebagai “yang terakhir”. Gelar, kedudukan sosial ekonomi, semua hanyalah sarana untuk melayani. Bukan tujuan. Semoga kita pun berani tampil bersahaja, apa adanya, jujur sederhana. Karena bukan banyaknya gelar, harta, kuasa yang menentukan nilai hidup kita, melainkan kedekatan dengan sang Maha Kuasa.

Happy Birthday romo Ardi. Enjoy the blessed day 24.5.16
Greetings!