your-majesty-ring-holder_1

Markus 10:32-45

Shakespeare menyatakan “All the word’s a stage. All the men and women merely players; They have their exits and their entrances. And one man in his time plays many parts,… At first, the infant, mewling and puking in the nurse’s arms… then a souldier, full of strange oaths and bearded like the pard, jealous in honour, sudden and quick in quarrel, seeking the bubble reputation even in the canon’s mouth…last scene of all… is second childishness and mere oblivion, Sans teeth, sans eyes, sans taste, sans everything.”

Dunia ini panggung sandiwara, demikian versi Ahmad Albar dari group musik God Bless, ceritanya mudah berubah. Merenungkan hidup dengan kacamata ini, kita dibawa pada kesadaran kesementaraan segala sesuatu di dunia, sebagaimana disematkan kata “fana” sebagai kontras akan “baka”. Penulis kitab Pengkotbah dengan ekstrim menyatakan: kesia-siaan belaka, segala sesuatu adalah sia-sia” (Pkh 1:2). Segala sesuatu yang duniawi adalah sia-sia.

Para guru spiritual selalu mengajak kita memandang melampaui horizon kesementaraan kita dan mengajak kita mencari yang esensial, yang fundamental, tanpa menjadi kaku dan beku. Guru muda dari Galilea yang kita ikuti bukanlah pengecualian. Ia menantang pemahaman para muridnya yang sibuk berdebat dan berharap mendapatkan kemuliaan dunia. Barangkali dibenak Sang Guru terpikir: Ah… murid-muridku… kalian diciptakan untuk sesuatu yang jauh lebih bermakna, mengapa bertikai menguras energi dan emosi untuk sesuatu yang rapuh dan cepat luruh? Kembangkan sayapmu! Mari terbang meninggalkan dataran kesia-siaan ini!

Mudah bagi kita untuk menilai kekurangdewasaan para murid yang bertengkar untuk mendapatkan posisi yang paling penting, besar dan berkuasa di dunia. Sulit bagi kita untuk menerima, sebenarnya mereka cermin kita juga yang suka alpa memaksakan ego kita dan menempatkan harga diri kita begitu tinggi, meletakkan diri di pusat semesta. Alhasil, kita mudah tersinggung, mudah merana, sukar memahami dan menerima orang lain, suka menuntut dan sukar dituntut. Kemuliaan fana dimulai dari kelupaan sederhana bahwa kita bisa salah dan hanya dengan merendahkan diri sajalah kita bisa efektif belajar untuk mengangkat harkat diri lebih tinggi, dan dengannya dimampukan memandang ketinggian yang lebih lagi sulit terpahami, dimasuki dan dirasuki.

Siapakah yang tak mau hidup mulia? Tak ada. Pertanyaan selanjutnya adalah bagian tugas pencarian kita dalam perjalanan di dunia fana: kemuliaan macam apa yang mau kuraih? Hidup kita bisa jadi ditentukan oleh satu pertanyaan ini saja. Apa jawab Anda?