Bacaan Injil: Markus 11:11-26
Saat menjalani tugas belajar di Sydney, saya perhatikan ada “keanehan” yang saya alami, tiap saat menjelang liburan ke tanah air dan sebelum kembali ke Sydney. Di Sydney, teman-teman suka bertanya, kapan saya pulang ke rumah dan bagaimana saya akan bertemu ibu dan saudara-saudara saya. Rumah saya, bagi mereka, adalah suatu tempat di Indonesia dimana keluarga sedarah tinggal. Saat saya bersiap angkat koper meninggalkan Indonesia, pertanyaan yang sama muncul, kapan saya pulang. Bagi mereka, kepulangan saya adalah kembali ke sebuah rumah di Sydney, dimana saya tinggal dan melewatkan sebagian besar waktu saya. Sebagai perantau, sebagaimana para perantau lain, definisi pulang tak lagi sekedar mengacu pada batasan fisik suatu lokasi dengan koordinat tertentu dan bangunan bersekat tembok dengan ruang-ruang publik dan pribadi. Rumah sebagai tujuan kepulangan saya merujuk lebih dari sekedar “house”. Haru biru perasaan yang menyertai setiap perjalanan panjang pulang pergi dari dan ke rumah, setiap kalinya mendalamkan pemahaman dan penghargaan batin akan “home”. Rumah adalah leburan ruang dan waktu dimana dan saat mana diri menjadi aman, nyaman, asli, harmoni.
Saat Tuhan Yesus menyaksikan Bait Allah di Yerusalem yang penuh dengan pedagang di pelatarannya, Ia meradang. Bait Allah, adalah rumah doa, selayaknya diisi dengan apa saja yang benar membantu perjumpaan dengan Yang Ilahi, BapaNya yang Mulia. Bait Allah, seharusnya menjadi tempat di mana baris-baris doa didaraskan, dan pikiran serta hati di arahkan pada ketinggian, kedalaman dan keluasan hal rohani. Yang terjadi, perdagangan, yang menjadi bagian dari persiapan segala ritual keagamaan, lebih menyita perhatian dan selalu ada dalam bahaya menyajikan “Allah yang lain”, yang bisa menjadi lebih dipentingkan daripada Allah benar yang hendak dipuji dan dipuja. Rumah doa, telah menjadi sarang penyamun. Rumah doa, dimana orang semestinya merasa aman, nyaman, khusuk merenung dan berwawanhati dengan Yang Maha Kudus, telah menjadi pelataran kecurangan, ketidakadilan dan pemerasan diam-diam oleh mereka yang berpunya atas para pejiarah rohani dan jasmani.
Kekecewaan dan kemarahan di rumah Tuhan itu, menghujam kepada penghayatan “home” yang menjadi jiwa dari “house”. Kiranya itu juga inti dari cerita kecil tentang pohon ara yang tidak berbuah yang mengapit insiden di Bait Allah ini: dari pohon buah-buahan wajar diharapkan adanya buah, kalau tidak pohon itu kehilangan jati dirinya, alasan keberadaannya. Dari Rumah Allah, wajar diharapkan suasana yang mendukung pertemuan intim mesra dengan Tuhan, kalau tidak Bait Suci itu kehilangan nilai pentingnya dan makna dasarnya. Dari sini, kita bisa menapaki logika hidup rohani: dari hati kita, dimana Allah semestinya bersemayam dan bertahta di pusatnya, wajar diharapkan rasa hormat dan devosi akan hidup dan cinta, belas kasih dan pengampunan, dan darinya mengalir buah damai dan sukacita, kerukunan dan pengertian. Persoalannya, tidak mudah menjaga hati kita untuk tidak menjadi pasar dimana nafsu segala rupa bertiwikrama menjadi raksasa durjana yang menyedot perhatian kita jauh lebih dari yang sewajarnya.
Dalam hening bening doa, mari kita bertanya: masih cukup bersih jernihkah hatiku untuk bisa bertemu denganNya? Apakah yang perlu kulakukan untuk menjaga hatiku tidak menjadi “sarang penyamun” dimana aneka transaksi hal-hal duniawi mengambil tempat jauh melebihi yang semestinya? Dalam kesadaran kelemahan kita, rahmat apakah yang perlu kuminta agar berani dan mampu membersihkan segala kotoran ruang batinku?
