19 September 2017

Timotius 3:1-13
Mazmur 101
Lukas 7:11-17

Bacaan Injil hari ini sungguh dramatis. Ketika Yesus sedang berjalan, tiba-tiba dia melihat perarakan orang meninggal yang akan dikuburkan. Entah bagaimana rupa, sikap, atau ekspresi wajah sang ibu yang berduka akan kematian anak tunggalnya, Yesus sungguh tergerak hatinya dan memutuskan untuk membangkitkan si anak saat itu juga. Yesus mempunyai kuasa untuk membangkitkan siapapun orang yang sudah mati. Kalau mau dia bisa saja mengunjungi setiap orang yang baru meninggal di setiap kota dan membangkitkan mereka. Tapi dia memilih saat itu secara khusus, dan karena tergerak melihat sang ibu itu.

Dalam Injil Lukas, kata Yunani yang diterjemahkan menjadi “tergerak hatinya”, splagxnízomai, muncul dua kali lagi: saat orang Samaria yang baik hati melihat orang Yahudi yang ditinggalkan setengah mati oleh perampok di jalan, dan saat sang ayah melihat anaknya yang hilang berjalan kembali menuju rumahnya. Akar kata Yunani itu sendiri berasal dari kata yang berarti isi perut yang paling dalam: hati, paru, jantung, ginjal. Bagi orang Yahudi, dalam perut inilah asal perasaan cinta, kasih, kemurahan hati, kasihan. Seringkali, kata Yahudi yang berhubungan erat dengan hal ini adalah rekhem. Kita pun memakai kata yang mirip yang kita ambil dari bahasa Arab: rahim. Karena itulah kita menyebut Allah yang Maharahim atau Kerahiman Ilahi (Divine Mercy). Semua ini kurang lebih menunjukkan kesamaan, bahwa perasaan belas kasihan dianggap datang dari dalam perut kita.

Hari ini kita melihat bagaimana Yesus sangat peka terhadap kesedihan kita, kesengsaraan dan keputusasaan kita. Apapun “peti mati” yang kita usung dalam hidup kita, Yesus selalu siap untuk menyentuhnya dan membangunkan kita dari kepedihan yang begitu mendalam yang menghisap semua daya hidup kita. Dia selalu siap mengundang kita untuk “bangkit”, untuk kembali meniti hidup kita dengan mengandalkan kekuatannya.

Namun sebagai pengikut Kristus yang sejati, tidak cukup kita hanya berhenti di situ. Kita pun diajak berjalan bersama Yesus di dunia ini. Kita pun dituntut peka dan memperhatikan bagaimana “perut” atau “rahim” kita bereaksi terhadap mereka korban kekerasan, kekejaman, penindasan, eksploitasi, dan semua bentuk ketidakadilan di sekitar kita. Sanggupkah kita, yang sudah mengalamai sendiri dibangkitkan oleh kuasa Yesus, menghampiri mereka, menyentuh “peti mati” mereka, dan mengulurkan tangan pada mereka dan berkata, “Aku berkata padamu, bangkitlah!”?