Sabtu, 23 September 2017
Hari Raya Peringatan Santo Padre Pio dari Pietrelcina

Padre Pio
Timotius 6:13-16
Mazmur 100
Lukas 8:4-15
Pada tahun novisiat, saya menawarkan diri untuk merawat pohon-pohon mawar yang tumbuh di salah satu bagian gedung novisiat. Karena sebagian gedung itu baru direnovasi, tanah di sekitar barisan pohon mawar itu penuh dengan batu dan sisa semen. Ilalang banyak tumbuh dan berlomba menarik nutrisi dari tanah. Nampaknya juga, tidak ada yang menyiram tanaman-tanaman itu. Akibatnya keadaan mereka kelihatan tidak sehat dan tidak ada bunga yang keluar.
Sampai saat itu, seumur-umur belum pernah saya berkebun, apalagi merawat mawar. Tapi saya coba belajar dari internet dan mulai merawat perlahan-lahan. Pertama saya mencoba membersihkan tanah sekitar dari batu dan ilalang. Selain itu saya potong juga batang yang sudah kering atau yang tumbuhnya tidak benar. Lalu saya bikin sistim irigasi dengan selang kecil sehingga dengan membuka satu keran, semua pohon mawar mendapatkan air. Akhirnya setelah beberapa minggu, bunga-bunga mawar mulai keluar.
Perumpamaan Yesus tentang benih yang jatuh di tanah yang berbeda-beda sudah sering kita dengar. Penjelasan yang paling gampang sudah ditawarkan Lukas dalam ayat-ayat berikutnya. Yang mendengar sabda Tuhan tapi terpengaruh iblis adalah seperti benih yang jatuh di pinggir jalan. Yang tidak menanamkan ajaran Tuhan adalah seperti benih yang jatuh di batu. Yang terpengaruh cinta uang, kenikmatan hidup, atau kekuatiran adalah seperti benih di semak duri. Dan yang mendengar, mencamkan, dan menjalankan sabda Tuhan adalah seperti benih yang jatuh di tanah subur dan berbuah.
Tetapi kita kadang lupa bahwa realitas hidup tidaklah selalu semudah itu. Seperti pengalaman saya di novisiat, membuat tanaman untuk berbunga memerlukan kerja keras. Tanah yang subur semata bukanlah jaminan tumbuh dan berbunga. Jika tidak dirawat dengan baik, tidak akan ada hasilnya.
Demikian juga kita tidak bisa menepuk dada karena sudah merasa seperti tanah yang subur dan membuahkan hasil. Mungkin ada saat dalam hidup kita di mana kita menjadi lebih seperti tanah berduri karena kekuatiran hidup. Atau kita termakan tipu daya dan melupakan hubungan kita dengan Tuhan seperti benih yang diambil burung. Atau mungkin juga hati kita mengeras seperti batu dan kita mengacuhkan perintah Tuhan.
Jika hal-hal itu terjadi, itu sudah menjadi kodrat manusia. Tetapi seperti orang yang berkebun atau bertani, kita diingatkan selalu untuk merawat kembali pohon iman kita. Karena itulah penting untuk “menyirami” kembali hidup iman kita dengan retret, rekoleksi, kontemplasi, ziarah, atau cara-cara lain. Jika anda mengalami masa kering saat ini, ada baiknya anda berbuat sesuatu yang dapat memulihkan kembali hubungan anda dengan Tuhan, sang pokok pohon dan sumber air hidup.
Hari ini kita mengenang Santo Padre Pio, seorang Fransiskan Kapusin. Dia terkenal karena mendapat stigmata dan mujizat-mujizat penyembuhan. Namun, ia juga adalah orang yang taat berdoa dan menyatukan diri dengan Allah. Hidup doanya inilah yang menjadi sumber kekuatannya dalam segala penderitaan dan karya misinya. Setelah dia meninggal, banyak orang masih merasakan kehadirannya ketika berdoa dengan perantaraan namanya. Tandanya? Mereka bisa mencium bau mawar yang harum. Padre Pio, dengan merawat hidup imannya dengan siraman rohani terus menerus benar-benarmenghasilkan bunga yang harum.