Lubuk Hati 31 Mei 2018
Pesta SP Maria Mengunjungi Elisabet.
Lukas 1:39-56
Nyuwun (Nuwun) Sewu ala “Koh Glodok”!
Ketika berada di Novisiat St. Stanislaus, Girisonta, Ungaran, Jawa Tengah, saya ditugaskan untuk belajar merasul di sebuah kampung terpencil setiap hari Senin. Novisiat adalah tempat awal seorang religius dibina sesuai dengan semangat ordo atau konggregasi. Saya, yang berasal dari Flores, diminta untuk belajar bahasa Jawa karena saya berada di lingkungan Jawa dan di tempat saya merasul, desa Kalisalak, orang-orangnya tak bisa berbahasa Indonesia, dan di desa itu, hanya sedikit rumah yang menikmati layanan listrik. Dari beberapa teman novis, saya tahu kondisi umat Kalisalak yang hanya tinggal beberapa orang tua saja karena orang-orang muda mereka tidak mendapatkan pendidikan iman Katolik dan sapaan dari gereja yang dibutuhkan oleh mereka sehingga mereka pindah menganut agama lain. Para orang tua tersebut, di tengah situasi yang suram tersebut, tetap melihat harapan dengan kedatangan para Frater Novis Yesuit di kampung mereka selama bertahun-tahun.
Saya teringat pengalaman awal saya ketika memasuki Kalisalak pada tahun 2003. Saya bersepeda selama 40 menit sebelum menitipkan sepeda saya di sebuah desa lain dan berjalan kaki ke Kalisalak sejauh 20 menit. Ketika hari sudah malam, saya memasuki sebuah rumah di desa Kalisalak, saya menjumpai orang-orang tua yang tersenyum akibat melihat wajah “Koh Glodok” (Tionghoa) saya. Hanya ada dua lampu tembok di rumah pertemuan itu membuat ruang tamu itu suram namun hati 8 orang tua itu tak mengikuti suramnya ruangan tersebut. Saya mengenang perjumpaan dengan orang-orang tua tersebut karena penerimaan mereka terhadap saya yang melebihi pemahaman bahasa. Hari pertama saya memberi pelajaran agama, saya memulai dengan kata-kata, “Nyuwun sewu, kulo mboten saget kromo. Kulo saget ngoko (Permisi, saya tak bisa bahasa jawa halus, saya bisa yang kasar).” Kalimat saya dengan serta-merta dibalas dengan senyum oleh mereka dan salah seorang dari orang tua tersebut membalas, “Mboten nopo-nopo, Frater (Tidak apa-apa, Frater).” Bagi saya, itu adalah tanda bahwa saya bisa berbahasa “ngoko” dan sejak saat itu, walau teks di tangan dipersiapkan dengan bahasa “kromo” tapi perbincangan kami selalu terjadi dalam bahasa ngoko. Saya masih mengenang ruangan suram
namun penuh dengan canda-tawa di sela-sela merenungkan Sabda Tuhan. Tidak ada yang peduli “kromo” atau “ngoko” lagi, yang penting adalah Sabda Tuhan dan kegembiraan yang dibagikan bersama. Saya ingat, suatu hari saya mencadai mereka. Ketika saya pamit pulang, tanpa sengaja saya nyeletuk, “Nyuwun sewu Bapak-bapak.” Nyuwun sewu bisa berarti “permisi” tapi juga bisa berarti “minta seribu.” Seorang bapak mengeluarkan dompetnya dan memberi saya uang seribu rupiah. Saya tertegun dan baru sadar betapa Si Bapak memahaminya secara harfiah dan langsung memberi saya uang. Saya pun menimpali, “nyuwun rongewu (minta dua ribu).” Kata-kata itu mengakhiri pertemuan kami dengan tawa lepas. Para Bapak yang sudah ompong itu tertawa lepas karena mereka memahami candaan saya. Pengalaman Kalisalak itu adalah pengalaman bagaimana Tuhan itu mendatangi orang kecil melalui hamba-Nya tetapi juga pengalaman bagaimana Tuhan itu justru menunjukkan diri-Nya hadir melalui orang-orang kecil dan sederhana.
Hari ini kita merayakan Pesta Maria mengunjungi Elisabet yang mengandung di hari tuanya. Sungguh sebuah kebahagiaan bahwa seorang saudari dari jauh datang untuk menunjukkan kebahagiaan dan kegembiraannya kepada seorang perempuan tua yang sedang hamil. Jalan terjal dan berliku yang dilalui Maria menunjukkan bahwa Tuhan memampukan seseorang yang hatinya diresapi Sabda Ilahi menjadi sumber kegembiraan bagi yang menerimanya. Orang yang hatinya dikuasai oleh Roh Allah, Roh Kudus, tak perlu menggunakan bahasa yang baik dan benar untuk dipahami karena bahasa kasih sudah tertanam dalam hati dan mulutnya, dan bahasa kasih dimengerti oleh semua orang. “Sebab sesungguhnya, ketika salammu sampai kepada telingaku, anak yang di dalam rahimku melonjak kegirangan.” Bayi di kandungan Elisabet boleh saja tidak mengerti bahasa manusiawi Maria, namun bahasa kasih-nya itu membuat sukacita dan kegembiraan ilahi dialami oleh Si Bayi.
Hari ini, ketika kita merayakan Pesta Maria mengunjungi Elisabet, kita diingatkan bahwa Tuhan itu sangat berkenan kepada mereka yang kecil dan sederhana. Juga, Tuhan hendak memakai kita untuk menjadi pewarta Sabda Gembira kepada mereka yang kecil dan sederhana. Apapun kekurangan kita, Tuhan pasti bisa memakai kita menjadi saluran kegembiraan asalkan hidup kita terarah kepada Tuhan dan menghayati hidup ini dalam naungan kasih Tuhan. Hatiku memuliakan Tuhan karena “Ia menurunkan orang-orang yang berkuasa dari takhtanya dan meninggikan orang-orang yang rendah; Ia melimpahkan segala yang baik kepada orang yang lapar, dan menyuruh orang yang kaya pergi dengan tangan hampa.”