Kamis, 5 Juli 2018
Hari Biasa (H)
[Am. 7:10-17;  Mzm. 19:8,9,10,11;  Mat. 9:1-8]
KATA-KATA PENUH PENGAMPUNAN
‘Perang’ di media sosial, adalah perang era kini. Tidak memerlukan sebuah perjumpaan, ‘face to face’, cukup mengutarakan pendapat, argumen dan komentar yang ditujukan kepada pemikiran orang lain. Beberapa saat lalu, saya hanya bisa geleng-geleng kepala, ketika di salah satu grup WA yang saya ikuti, ada salah satu anggota grup yang mengutarakan rasa kesal dan kecewa kepada orang lain. Bahasa anak sekarang: ‘curcol’ alias curhat colongan. Kadang, tidak bijak juga sih kalau mengumbar masalah pribadi di hadapan orang banyak apalagi ditambahi dengan kata-kata yang tidak sepantasnya. Seolah-olah dirinya lah yang paling benar, dan orang lain adalah yang paling salah. Inilah pentingnya sebuah introspeksi. Bahwa sebelum mengatakan sesuatu, apalagi disampaikan di media sosial, kita perlu menimbang efek dan resikonya, dan menilik ke dalam diri sendiri, bahwa apakah yang dikatakan sudah sesuai dengan kenyataan.
Hari ini kita belajar tentang kisah Yesus yang menyembuhkan orang yang lumpuh, namun ahli Taurat justru ‘berkomentar’ dengan sangat tidak mengenakkan. Yesus mengetahui isi hati mereka dan berkata: “Mengapa kamu memikirkan hal-hal yang jahat di hatimu? Manakah yang lebih mudah mengatakan: Dosamu sudah diampuni, atau mengatakan: Bangunlah dan berjalanlah?” Berhadapan dengan situasi yang tak berpihak, kita kadang lebih dahulu berpikiran buruk dan jahat, daripada mencoba memahami atau mengerti keadaan orang lain. Karena hanya dengan demikianlah, kita mudah mengontrol kata-kata yang akan kita ungkapkan. Semoga kata-kata kita, terlebih yang kita ‘lempar’ di media sosial, juga di jejaring pertemanan, sungguh hasil ‘instropeksi’ diri, bukan karena mengikuti kehendak, nafsu dan kepentingan pribadi. Semoga juga kata-kata yang kita ungkapkan, adalah kata-kata penuh pengampunan yang menenteramkan hati, bukan kata-kata umpatan yang penuh kebencian.
Selamat pagi, selamat menemukan berinstrospeksi diri. GBU.