Header image alt text

indonesian catholic online evangelization

Peringatan Wajib Santo Vincentius a Paulo

Posted by admin on September 26, 2014
Posted in renungan  | 1 Comment

 

Bacaan I               : Pengkotbah 11: 9-12:8

Injil                         : Lukas 9: 43b-45

 

Tuhan yang Menderita

Mungkin bagi kebanyakan orang apalagi orang yang tidak meyakini Yesus sebagai Tuhan sang Juru Selamat akan sulit memahami bahwa Yesus menderita dan wafat di Kayu Salib. Mereka akan menyangsikan kealahan Yesus. Bagaimana mungkin Tuhan menderita dan mati. Bukankah Tuhan tidak bisa menderita dan tak bisa mati? Allah bagaimanakah yang demikian ini? Pertanyaan ini memang sulit untuk dinalar, namun di balik pertanyaan ini ada sebuah berkah yang sungguh tersembunyi bagi kita. Dalam sengsara dan wafatNya di Kayu Salib, kita melihat Allah kita sebagai Allah yang lemah, Allah yang bisa merasakan sakit, Allah yang solider pada kelemahan kita. Justru kita bersyukur, karena dengan sengsara dan kematianNya Yesus menunjukkan kepada kita bahwa Ia sebagai Allah tidak hanya tinggal diam melihat kelemahan, kedosaan dan penderitaan kita. Ia mau ikut merasakan kelemahan dan penderitaan kita.

Jika Yesus yang adalah Allah mau ikut merasakan penderitaan kita, kitapun juga diminta untuk memiliki semangat yang sama, yaitu mau ikut solider serta mau ikut merasakan penderitaan, kelemahan dan kemiskinan saudara-saudara kita. Santo Vincentius a Paulo, rasul kaum miskin mengajari kita akan hal ini. Ia tidak tinggal diam melihat penderitaan banyak kaum miskin. Ia mau berbuat banyak bagi mereka. Di sekitar kita banyak sekali orang miskin di jaman moderen ini. Mereka bukan miskin materi, namun miskin hati, miskin kasih, miskin perhatian dan juga miskin sosial. Maka kitapun juga diminta oleh Tuhan untuk memberikan hati kita, telinga kita, perhatian kita untuk membantu mereka semua. Semoga Tuhan tetap membantu kita untuk mewujudkan niatan baik ini. Amin.

Gambaran Diri dan Gambaran Allah

Posted by admin on September 25, 2014
Posted in renungan 

Bacaan I               : Pengkotbah 3: 1-11

Injil                         : Lukas 9: 18-22

 

Gambaran diri kita atas diri kita ternyata berhubungan pula dengan gambaran kita akan Allah. Jika kita memiliki gambaran diri yang baik maka kitapun akan memiliki gambaran yang baik pula tentang Allah, sebaliknya bila kita memiliki gambaran diri yang kurang baik maka kitapun akan memiliki gambaran yang kurang baik pula tentang Allah. Mengapa bisa demikian? Santa Teresia dari Avila, Santo Yohanes dari Salib dan kita yakin banyak orang kudus lain juga mengajarkan demikian, yaitu bahwa kita bisa mengenal Allah kalau kita mengenal diri kita, tanpa mengenal diri maka kita tidak akan bisa menganal Allah, dan sebaliknya, kalau kita menganal Allah maka kita akan bisa mengenal diri kita.

Tuhan dengan sangat jelas bertanya kepada para murid tentang siapakah diriNya. Pertus mewakili para muridmengatakan bahwa Yesus adalah Mesias (yang diurapi). Pertus bisa mengatakan demikian karena ia mengenal Yesus. Ia mengatakan demikian karena ia tahu bahwa Allah telah bekerja banyak dalam dirinya melalui Yesus sang guru. Dengan demikian kitapun juga diberi pertanyaan yang sama oleh Yesus. Siapakah Yesus menurut kita. Pertanyaan ini meminta kita agar kita mau merenungkan perbuatan-perbuatan Tuhan dalam diri kita yang membuat kita menyadari bahwa Yesus adalah sungguh sang Mesias bagi hidup kita.

Takut

Posted by admin on September 24, 2014
Posted in renungan 

Kamis 25 September 2014

Bacaan I               : Pengkotbah 1: 2-11

Injil                         : Lukas 9: 7-9

 

Freud, seorang psikoanalis, mengatakan bahwa rasa takut adalah dasar bagi kita manusia untuk berkembang. Tanpa rasa takut maka kita sulit untuk berkembang. Benarkah demikian? Ia mengatakan, karena takut mati maka orang makan, karena takut gagal maka orang belajar dan berusaha keras, karena takut akan konsep neraka maka orang menciptakan konsep surga supaya tidak takut mati dan lain sebagainya. Sekali lagi benarkah demikian? Ternyata tidak. Tidak semua hal yang kita lakukan adalah melulu didasarkan pada rasa takut. Sebaliknya didasarkan pada cinta yang tulus. Sebagai contoh, orang tua kita merawat dan membesarkan kita serta mendidik kita karena mereka sungguh mencintai kita. Demikian pula kita, mau belajar dan bekerja bukan melulu karena takut ini dan itu, namun karena kita mau mengembangkan diri kita supaya bisa berguna bagi diri kita dan sesama. Kita mau belajar karena kita mencintai diri kita, karena kita ingin mengembangkan diri kita supaya bisa menjadi pribadi yang bernilai.

Segala sesuatu yang kita lakukan hanya karena rasa takut tidak akan menghasilkan buah yang baik bagi diri kita maupun sesama kita. Contoh nyata adalah Herodes. Ia sungguh takut dengan kemunculan Yesus yang dikatakan melakukan banyak sekali perbuatan hebat. Bahka ia menyangka bahwa Yesus adalah Yohanes yang bangkit dari mati karena ia penggal kepalanya. Terdorong oleh raa takut maka ia berusaha untuk mencari tahu siapakah Yesus itu sebenarnya. Pertanyaannya adalah, apakah Herodes berubah jadi baik setelah mengetahui siapakah Yesus sebenarnya? Sama sekali tidak. Ia tetap Herodes yang culas, licik dan oportunis. Perjumpaannya dengan Yesus tidak mengubah sedikitpun perangainya, karena ia ingin bertemu dengan Yesus melulu karena ia takut bukan karena ia mencintai Yesus. Maka kita pun juga pantas bertanya pada diri kita masing-masing. Apakah kita ingin berjumpa Yesus hanya karena rasa takut atau karena kita sungguh-sungguh mencintai Dia. Amin.

Bebas Merdeka

Posted by admin on September 23, 2014
Posted in renungan 

Bacaan I               : Amsal 30: 5-9

Injil                         : Lukas 9: 1-6

 

Betapa banyak orang saat sekarang ini menginginkan kebebasan dan kemerdekaan. Namun sayangnya banyak dari mereka sekedar memaknainya terbatas pada fisik belaka. Jarang yang sampai memaknai kemerdekaan sebagai kemerdekaan batin maun jiwa mereka. Kalau kita melihat iklan di TV maupun media cetak kita akan sungguh terperanjat betapa banyak orang yang masih terkungkung dengan perbudakan khususnya perbudakan mental. Sebagai contoh, kita akan dianggap bahagia bila kita punya benda ini atau benda itu. Kita akan dianggap cantik kalau punya badan ramping dan kulit putih. Atau kita akan dianggap macho kalau kita punya perut six packs. Ternyata semua hal tadi hanya membuat kita menjadi orang-orang yang sakit mental, karena kita begitu terobsesi dengan hal-hal yang melulu lahiriah. Orang yang sedemikian ingin tampil ramping jatuh dalam bulimia maupun anorexia. Mereka yang ingin six packs menjadi maniak olah raga dan body building. Sungguh menyedihkan, ternyata sebagaian besar dari kita masih terbelenggu oleh hal-hal demikian. Ternyata kebebasan dan kemerdekaan kita masih dibatasi oleh pandangan-pandangan tersebut. Harga diri maupun jati diri kita dibatasi oleh pandangan-pandangan sempit seperti telah dikatakan di atas.

Hari ini Tuhan mengajari kita untuk mau melepaskan diri kita dari kungkungan hal-hal tadi. Tuhan dalam Injil meminta kita untuk berani tidak membawa apa-apa dalam perjalanan (hidup) kita. Tujuannya adalah agar kita bisa menjadi orang yang bebas, tidak tegantung pada berbagai pandangan yang menyesatkan diri kita. Tuhan ingin agar kita hanya bergantung pada Tuhan semata. Harga diri kita tidak tergantung pada apa yang kita miliki, pada apa yang melekat pada diri kita, namun pada kebebasan kita dalam Tuhan. Maksud Tuhan adalah sungguh jelas, bahwa kita diharapkan untuk bisa menjadi total dalam melayani, menjadi total dalam mengabdi Tuhan dan tidak bergantung pada penilaian-penilaian yang dilakukan oleh orang lain atas diri kita. Selain itu, kebahagiaan dan kebebasan kita tidak bergantung pada apa yang kita miliki, pada apa yang melekat pada diri kita. Semoga Tuhan membuat kita sekalian menjadi orang yang bebas merdeka serta bahagia, bukan karena apa yang kita miliki namun karena kemampuan kita untuk mengambil jarak dari apa yang melekat pada diri kita.

Peringatan Wajib Santo Padre Pio dari Pietrelcina

Posted by admin on September 22, 2014
Posted in renungan 

 

Bacaan I               : Amsal 21: 1-6. 10-13

Injil                         : Lukas 8: 19-21

 

Latar Belakang

Bapa Bangsa kita, Gus Dur, pernah berujar demikian, “Jika engkau berbuat baik dan benar bagi sesamamu, orang tidak akan bertanya apa agamamu, apa sukumu”. Ternyata memang benar bahwa perbuatan baik menghapuskan sekat-sekat yang dibuat oleh manusia, katakanlah agama, suku, ras dan lain sebagainya. Pengelompokan-pengelompokan seperti ini hanya menjadikan kita terkotak-kotak dan bahkan terpisah satu sama lain. Tuhan mengajari kita bahwa perbuatan baik dapat meleburkan kita dalam satu iktan tanpa pembatas-pembatas.

Hari ini Tuhan bersabda bahwa sudara dan saudarainya serta ibunya adalah mereka semua yang mendengarkan firman Tuhan dan melaksanakannya. Artinya semua orang yang berbuat baik dan benar seturut firman Tuhan adalah saudara-dan saudarinya. Tuhan tidak memandang siapakah dia atau siapakah mereka. Tuhan juga tidak memandang latar belakang mereka. Selama mereka berbuat baik dan benar selama itu pula mereka adalah saudara-saudari se-Bapa, yaitu Allah Tuhan kita. Perbuatan baik tidak mengenal golongan, tidak mengenal ikatan darah. Perbuatan baik bukan milik golongan tertentu. Perbuatan baik adalah milik Allah sendiri, jadi semua orang yang berbuat baik dan benar adalah anak-anak Allah, dan di dalam Allah semua orang adalah sama. Jadi sama seperti yang dikatakan Tuhan, bahwa saudara dan saudari kita adalah semua orang yang berbuat baik dan benar seturut firman Tuhan. Amin.

Translate »