Header image alt text

indonesian catholic online evangelization

Menjaga Mulut

Posted by admin on February 24, 2015
Posted in renungan 

Yesaya 55:10-11
Mazmur 34
Matius 6:7-15

“Mulut tuh dijaga.”
“Lidah memang tak bertulang.”
“Jangan sembarangan omong.”
Entah berapa banyak lagi istilah atau pepatah yang kurang lebih mempunyai pesan yang sama, bahwa kata-kata yang kita ucapkan bisa mempunyai dampak yang sangat luas. Ada cerita terkenal di mana seorang pastur, ketika memberi penitensi untuk seseorang yang suka bergosip, memintanya untuk mengambil sebuah bantal bulu, merobeknya sehingga semua bulu itu diterbangkan angin ke mana-mana. Orang itu kemudian diminta untuk mengambil kembali semua bulu itu untuk dimasukkan ke dalam bantal lagi. Ketika itulah dia sadar bahwa gosip kecil yang kelihatannya tidak berarti dan cuma diceritakan ke satu orang bisa menyebar ke mana-mana dan menyakiti hati orang yang digosipkan.

Memang seringkali kita tidak sadar akan betapa kuatnya kata-kata yang kita ucapkan. Di era serba modern ini, situasinya bisa lebih parah lagi. Email dan texting bisa menimbulkan banyak arti yang tidak dikehendaki karena yang menerima tidak bisa melihat ekspresi wajah atau mendengar intonasi suara si pengirim. Suatu pernyataan yang netral bisa disalahartikan sebagai kemarahan atau sindiran. Yang terjadi kemudian adalah percekcokan yang menjadi lebih rumit.

Tapi jika kata-kata bisa mempunyai dampak negatif, sebaliknya banyak juga sisi positifnya. Nabi Yesaya mengingatkan kita akan kekuatan firman Tuhan. Dalam kisah penciptaan, firman Allah lah yang menjadikan bumi dan segala isinya. Kemudian menurut Injil Yohanes, firman Allah menjadi daging dan hidup bersama kita. Yesus, sang Firman ini, merubah dunia sedemikian hebatnya sehingga memungkinkan kita semua bisa bersatu kembali dengan Allah.

Bagi kita, kata-kata yang kita ucapkan pun juga bisa menghasilkan sesuatu yang positif. Kita bisa menggunakannya dalam doa, bentuk komunikasi kita dengan Allah. Karena itu Yesus mengajarkan doa Bapa Kami supaya kita sadar kata-kata apa yang sepantasnya kita gunakan dalam komunikasi itu. Tidak kalah penting adalah bagian dari doa itu: ampunilah kami seperti kami pun mengampuni yang bersalah kepada kami. Kata-kata pengampunan yang kita ucapkan pada orang lain mempunyai kekuatan yang luar biasa. Pengampunan yang tulus bisa melunakkan hati seseorang dan menyembuhkan luka yang dalam, bukan hanya pada orang lain itu tetapi juga pada diri kita sendiri.

Kata apa yang bisa kita ucapkan pada mereka yang kita temui hari ini? Bisakah kita memberi mereka penghiburan pada yang sakit dan sedih, penguatan pada mereka yang kesal dan putus asa, pengampunan pada mereka yang kita anggap sudah menyakiti kita, atau permintaan maaf kepada mereka yang telah kita sakiti?

Menjawab Kasih Allah

Posted by admin on February 23, 2015
Posted in renungan 

Imamat 19:1-2, 11-18
Mazmur 19
Matius 25:31-46

Pertanyaan yang sangat sering saya dengar ditujukan oleh umat kepada romo atau rohaniwan/wati kurang lebih berbunyi seperti berikut: “Romo/Bruder/Frater/Suster, kalau …… boleh nggak sih? Kalau….. dosa nggak? Apa aturannya kalau mau…. ” Kemarin ini menjelang masa Prapaskah, saya lihat banyak orang yang memasang di Facebook mereka aturan-aturan pantang dan puasa.

Peraturan dalam hidup beriman dan menggereja memang diperlukan. Tapi sayang sekali kalau fokus kita hanya berhenti di situ, sedangkan kekayaan iman kita jauh lebih besar. Gereja bukanlah asrama militer dengan segala peraturannya yang diharapkan untuk diikuti oleh semua murid tanpa kecuali. Dalam militer tidak ada tempat untuk tanya-tanya atau mencoba mengerti sebuah peraturan lebih dalam, pokoknya harus nurut. Hidup beriman seorang Kristiani sama sekali bukan seperti itu.

Dalam bacaan dari Kitab Imamat hari ini kita diingatkan kembali akan 10 Perintah Allah. Jika dilihat secara keseluruhan, dalam kitab ini ada 613 pasal peraturan untuk bangsa Israel, dari peraturan sembahyang, menyiapkan makanan, sampai perkawinan dan hubungan intim. Semua ini tidak keluar tiba-tiba. Alasan Tuhan memberi aturan-aturan ini juga pertama-tama bukan supaya dunia bisa aman, damai, dan tenteram.

Kalau kita runut lebih jauh, aturan-aturan ini, termasuk apa yang kita sebut 10 Perintah Allah, bersumber pada perjumpaan Musa dengan Tuhan di Gunung Sinai. Yang paling penting di sini bukanlah pemberian 10 “perintah” itu, tapi perjanjian Allah dengan Israel melalui Musa. Allah telah membebaskan bangsa Israel dari perbudakan di Mesir karena Ia telah memilih mereka menjadi umatNya yang paling dikasihi. Apa yang difirmankanNya kemudian bukan semata-mata “peraturan” atau “hukum”, tetapi lebih merupakan “cara hidup” umat pilihan Allah dalam hubungan cinta kasih dengan Tuhannya.

Karena itulah dalam Injil hari ini, Yesus menggambarkan bagaimana manusia, baik yang taat maupun yang tidak, tidak menyangka perbuatan macam apa yang dikehendaki Tuhan. Tidak pernah mereka mendengar ada perintah untuk memberi makan, minum, pakaian untuk orang asing. Tidak pernah ada perintah untuk mengunjungi mereka yang dipenjara. Tapi Yesus berkata, bahwa apa yang kita lakukan pada saudaraNya yang paling hina, kita melakukannya untuk Tuhan sendiri. Inilah cara hidup seseorang yang menjalankan perjanjiannya dengan Allah dalam hubungan saling mengasihi.

Jika anda menemukan suatu peraturan dari Gereja atau perintah dari Yesus dalam Alkitab, sebelum menjalankannya cobalah untuk merefleksikan lebih dalam lagi. Apakah saya menjalaninya hanya karena itu peraturan dan saya tidak mau masuk neraka? Atau karena itu jalan yang diajarkan Tuhan supaya kita bisa mempererat hubungan kita denganNya yang telah sedemikian besar mengasihi kita?

Injil

Posted by admin on February 21, 2015
Posted in renungan 

good-news

Bacaan I : Yesaya 58: 9-14
Bacaan Injil : Lukas 5: 27-32

Dunia terlalu banyak didera berita buruk. Sedari dulu. Bukan baru-baru ini saja. Tak henti kita disodori kabar yang memilukan hati. Koran kuning yang menyajikan berita seputar “dunia hitam” kriminalitas dan seks, bisa hidup dan berkembang karena banyak orang yang diam-diam menyukai berita buruk: skandal, kejahatan, nasib malang nan tragis. Ke dalam dunia yang absurd inilah Yesus hadir. Di tengah situasi manusia yang lupa akan sejati dirinya yang diciptakan untuk merayakan sukacita, untuk bahagia dan membagikannya, Ia membawa Injil. Bukan sebuah Kitab Suci yang rapi tersusun tercetak tinta emas yang turun dari langit, melainkan sebuah pengajaran yang menawarkan transformasi cara pandang dan bersikap, lewat kata, sikap dan langkah laku. Sebuah tawaran dan tantangan untuk hidup yang lebih hidup, bermakna, bermanfaat, bermartabat.

Kata Injil merupakan serapan kata dari bahasa Arab ?????? ?In??l, yang berasal dari bahasa Yunani ?????????? (euangelion) yang berarti “Kabar Baik”. Bahasa Inggris untuk Injil, Gospel, juga punya akar makna yang sama, dari bahasa Inggris Kuno g?d-spell yang berarti “kabar baik”. Setelah ajakan pertobatan, pewartaan Injil merupakan pesan utama Yesus: Bertobatlan, dan percayalah kepada Injil (Mrk 1:15). Hidupnya sendiri merupakan sebuah kabar baik. Bukan saja Ia menyembuhkan orang sakit fisik melalui mukjijat, Ia juga menyentuh mereka yang sakit secara moral maupun spiritual, baik yang sakit ringan maupun yang akut, yang sedih susah, yang berbeban berat dan kehilangan cakrawala pandang hidup. Ia mengajarkan, bukan berpikir positif dan memotivasi diri, melainkan menemukan dan memunculkan identitas dasar kita sebagai anak-anak Bapa yang dikasihi, terutama lewat kepedulian pada orang lain dan sikap ringan tangan untuk membantu, dan bukannya berpusat pada kesuksesan diri sendiri.

Injil hari ini salah satu pernyataan kabar baik tersebut. Lugas ia sampaikan: bukan orang yang sehat yang membutuhkan dokter, melainkan mereka yang sakit. Bukan untuk orang yang berperilaku terpuji Aku datang, melainkan untuk para pendosa, agar mereka berbalik dan bertobat. Jelas. Ia datang justru untuk memeluk mereka yang tersingkirkan, mencari yang hilang, membalut mereka yang luka tersayat dosa. Ia tak takut dianggap membuat skandal. Ia tak berperilaku sangat hati-hati menjaga image. Wajar saja ia membawakan diri yang peduli dan pengertian, penuh kasih sayang dan sangat berbelas kasih. Sementara orang-orang termasuk kita tak jarang sibuk memberi label dan berkasak kusuk membicarakan kelemahan dan kejatuhan orang lain sembari tak lupa memberi bumbu-bumbu analisa dan cerita yang membuat tak jelas lagi batas fakta dan imaginasi atas data.

Dalam masa Pra Paskah ini, kita dipanggil untuk lebih tekun mengikut Yesus Sang Guru. Termasuk dalam mewartakan kabar gembira. Termasuk menjadi kabar gembira. Bagi orang yang sedih. Bagi orang yang terluka. Bagi orang yang sengsara. Tak kurang jumlahnya mereka ini di sekitar kita, dan bisa jadi kita termasuk di antaranya pula! Dunia sudah terlalu banyak menggendong berita buruk. Semoga kehadiran kita bisa membuatnya sedikit lebih cerah. Lewat perhatian ekstra untuk keluarga, teman dan sesama. Lewat kemurahan dan kerelaan hati berbagi, tak hanya soal donasi materi, namun juga waktu, perhatian, daya, tenaga, pikiran, perasaan, dsb. Semoga, bersama Dia dan dalam naungan rahmatNya, kita dapat menjadi pewarta Injil yang lebih baik lagi. Lewat kata-kata, kalau perlu. Semoga.

Daging

Posted by admin on February 20, 2015
Posted in renungan 

teeth-bite-meat Bacaan I : Yesaya 58:1-9

Bacaan Injil : Mateus 9:14-15

Apakah Anda suka makan daging? Kecuali Anda vegetarian, punya masalah metabolisme tubuh atau traumas psikis, niscaya Anda akan merapatkan barisan dengan mereka yang suka daging. Daging apa saja. Ayam, babi, sapi, kambing, bebek, kelinci, kerbau, kangguru, dan lain-lain. Mengapa daging disukai? Karena enak. Nikmat. Lezat. Saya sendiri waktu kecil harus dipaksa makan sayur, sementara untuk daging, makin sering dan banyak makin senang. Itu sebabnya di Indonesia abang tukang bakso atau penjual sate termasuk orang yang paling dicari siang, sore mau pun malam.

Sayangnya, kenikmatan di dunia bisa jadi sangat berbahaya. Meski banyak kenikmatan yang bermanfaat, baik, dan secara etika moral tidak bermasalah, banyak juga kenikmatan yang bisa membelenggu, merusak kebebasan kita, bahkan menghancurkan bukan saja diri sendiri tapi juga orang lain. Mungkin dari itulah muncul ungkapan nafsu kedagingan yang berkonotasi negatif: nikmat tapi tidak “halal”. Dan lebih mendasar dari nikmatnya daging untuk dimakan, daging juga diperlawankan dengan roh seperti tubuh dengan jiwa: kenikmatan tubuh nampak mudah diraih, mudah disalahgunakan, bersifat sementara, fana, sedangkan kenikmatan jiwa lebih sulit diraih, sukar dimanipulasi, dapat bertahan lama bahkan abadi, baka. Dunia spiritual inilah ranah jelajah para rohaniwan rohaniwati dan siapa saja yang mendamba air dan roti hidup dari surga.

Demi menunjukkan kesungguhan bertobat dan menjalankan penitensi serta mengikuti teladan Sang Guru, bagian dari upaya mendisiplinkan diri dalam menghadapi godaan nikmat dunia dan meraup nikmat surga, sejak awal tumbuhnya Gereja mempersembahkan 40 hari sebelum Paskah sebagai masa pantang dan puasa. Bahkan menurut Hukum Kanonik Gereja Katolik 1983, semua hari Jumat sepanjang tahun adalah hari penitensi. Adalah bagian dari tradisi yang membentang panjang bahwa di hari Jumat sepanjang tahun orang-orang Katolik tidak makan daging, bagian ungkapan penitensi dan mati raga. Namun sudah sejak tahun 1966 Paus Paulus VI mengeluarkan Konstitusi Apostolik Paenetimini yang melonggarkan aturan puasa, mewajibkan hanya pada Rabu Abu dan Jumat Agung. Alhasil, Konferensi Uskup di banyak negara mengajukan karya amal kasih sebagai ganti pantang daging selama Jumat sepanjang tahun, meski masih cukup banyak yang memilih mempertahankan disiplin Gereja itu secara personal maupun korporal. Sayang, kebanyakan kita bukan saja tidak lagi berpantang selama Jumat sepanjang tahun, tapi juga tidak memahami lagi bahwa sebagaimana Minggu dipersembahkan sebagai hari Tuhan untuk berkumpul dalam perayaan Ekaristi Syukur, sebenarnya Jumat dipersembahkan sebagai hari pertobatan dan penitensi. Bisa didugai, laku amal kasih yang khusus pun –yang diharapkan muncul sebagai pengganti pantang- tidak banyak terjadi.

Kembali pada Yesus Sang Guru, sebagaimana sikapNya pada hukum agama secara umum, Ia lebih tertarik melihat unsur jiwa daripada pembadanan puasa. Maka tidaklah Ia menjadi risau manakala para muridNya tidak berpuasa, karena Sang Pengantin masih berada di tengah-tengah mereka. Akan tiba masanya, saat Ia pergi, mereka akan berpuasa. Ukuran puasa ada di relasi hati, bukan sekedar menjauhi makanan dan rasa kenyang ragawi, bukan sekedar urusan daging.

Dan Yesaya jelas memberi ukuran puasa yang melampaui aturan makan minum. Puasa adalah soal melayani sesama: membuka belenggu-belenggu kelaliman, melepaskan tali-tali kuk, memerdekakan orang yang teraniaya, mematahkan setiap kuk, memecah-mecah roti bagi orang yang lapar dan membawa ke rumah orang miskin yang tak punya rumah, memberi pakaian pada orang yang telanjang dan tidak menyembunyikan diri terhadap saudara sendiri. Pernyataan yang mengingatkan pada Sabda Yesus dalam Injil Mateus 25 tentang dasar Pengadilan Terakhir. Jika kita melakukan semua ini, kita melakukannya untuk Tuhan. Dengan rahmat Tuhan, semoga kita bisa memilih aksi puasa yang tepat lebih dari sekedar soal kedagingan, agar kita kemudian mendengar Tuhan bersabda pada kita: “Inilah puasa yang Kukehendaki”. Amin.

Atau

Posted by admin on February 19, 2015
Posted in renungan 

Medical-Decision-Making

Bacaan I : Ulangan 30:15-20
Bacaan Injil : Lukas 9:22-25

Indonesia tahun 1970-an. Satu-satunya stasiun televisi adalah TVRI. Hingga pertengahan dekade tersebut, televisi berwarna masihlah menjadi barang mewah yang terlalu mahal untuk ditempatkan di ruang keluarga kebanyakan orang di Indonesia. Ibu Bapak saya termasuk kelompok kebanyak ini. Toh sebagai anak kecil yang tinggal di perumahan parbik gula di desa Pangkah, Tegal, saya saat itu sudah merasa bersyukur dan senang bisa menikmati tontonan di kotak ajaib tersebut. Salah satu serial favorit saya adalah film Batman dan Robin. Dalam gaya penceritaan masa itu, di paruh pertama cerita, selalu digambarkan Batman dan Robin mengalami kesulitan besar, nyaris gagal dan kalah melawan para penjahat. Tetapi saya hafal, bahwa di paruh kedua cerita, selalu mereka akhirnya menang. Begitu jelasnya pola tersebut sampai muncul jargon “Lakon menang keri”, Sang Tokoh pasti akan menang belakangan. Karenanya, dalam menghadapi kesulitan, tantangan, kegagalan, saya suka menenangkan diri, menempatkan diri sebagai tokoh utama cerita dunia, dan berkata menghibur diri: “Lakon menang keri” (meski takjub juga, tak jarang kemenangan yang didamba akhirnya benar-benar tak datang juga, tersesat entah kemana).

Dalam cara pandang saya saat itu, dunia begitu sederhana, hanya ada logika biner untuk segalanya. Hitam putih. Baik jahat. Benar salah. Menang kalah. Sukses gagal. Dan pilihan saya jelas: jadi orang baik dan benar yang sukses dan menang dalam segala. Saat beranjak dewasa saya harus terbangun dari tidur dan mimpi-mimpi miskin warna tersebut. Dunia lebih rumit dari yang saya pahami sebelumnya. Ternyata ada warna abu-abu. Ternyata ada seribu satu warna turunan dari tiga warna RGB (red green blue). Nuansa menjadi penanda dunia dewasa yang jauh dari sederhana. Atau lebih tepatnya jauh dari kenaifan yang menolak memeluk realitas yang sering membingungkan dan memusingkan.

Dalam bacaan pertama Tuhan menyodorkan pilihan biner yang tegas dan jelas: pada hari hari ini, kepadamu kuperhadapkan kehidupan dan kematian, berkat dan kutuk. Kehidupan dan berkat bisa didapat jika memilih mencintainya, mendengarkannya, dan berpaut padaNya. Kebenaran abadi ditancapkan: kita hadir dalam medan peperangan kuasa baik dan jahat yang terus beradu, dan hidup kita adalah rangkaian pilihan untuk mengikut salah satunya. Logika kita adalah ATAU, bukan DAN.

Dalam Perjanjian Baru, Yesus memilih untuk melaksanakan kehendak Bapa, dan Ia membalik pandangan dunia sederhana hitam putih yang melekatkan penderitaan dengan dosa. Ia bahkan membentangkan tantangan yang bisa membuat para pangikutnya jeri: barang siapa hendak menjadi pengikutKu, dia harus menyangkal dirinya, memanggul salibnya setiap hari dan mengikuti Aku (Luk 9:33). “Aku” di sini bisa mengacu pada sosok Yesus secara keseluruhan, namun bisa jadi lebih langsung mengacu pada gambar suram yang diajukanNya persis sebelum sabda tersebut: “Anak Manusia harus menanggung banyak penderitaan dan ditolak oleh tua-tua, imam-imam kepala dan ahli-ahli Taurat, lalu dibunuh dan dibangkitkan pada hari ketiga (Luk 9:22).” Penderitaan dan salib, saudara-saudariku, adalah “jalan normal” orang yang menyebut diri Kristen, pengikut Kristus, entah dia Kristen katolik, Kristen Ortodoks, Kristen Anglikan, Krsiten Protestan atau apapun kelompok haluannya. Tentu bukan penderitaan asal penderitaan, namun penderitaan yang dipilih ditanggung demi kemuliaan Tuhan yang lebih besar, dalam kemanusiaan yang dimuliakan, dalam martabat semesta yang makin ditinggikan dalam rasa hormat dan cinta pada Sang Pencipta segala.

Masa Prapaskah menjadi masa melatih diri dalam menghadapi medan perang kebaikan melawan kejahatan tersebut. Kita sengaja menahan diri untuk tidak asal mengikuti kehendak hati, karena kemauan diri bisa baik bisa juga membawa kita menjauh dari tujuan kita diadakan. Maka kita sengaja memilih penderitaan, tidak makan kenyang, tidak makan daging, mengurangi jam tidur, lebih memberi hati pada orang lain dengan segala keperluannya daripada pada diri sendiri, lebih banyak berdoa dan mendengarkan Tuhan daripada diri sendiri, untuk melatih pengendaian diri. Untuk makin menjadi Tuan atas diri sendiri dan menjalankan kebebasan secara lebih bertanggung jawab.

Menariknya, dalam kesadaran meninggalkan diri sendiri, dalam pilihan saya ATAU mereka, saya ATAU Tuhan, sebenarnya kita lebih menemukan saya DAN mereka, saya DAN Tuhan. Dalam kebersamaan yang lebih intim antara kita DAN Tuhan DAN sesama, kita memilih hidup dan berkat, tanpa menolak apa yang nampak sebagai mati dan kutuk dalam kacamata dunia. Kematian dan penderitaan bisa jadi adalah ungkapan Cinta dan Hidup yang paling total dan radikal! Beranikah kita menjawab YA pada logika baru DAN yang mengintegrasikan segala dinamika kehidupan dalam rahasia cinta Tuhan itu? Semoga.

Translate »