Header image alt text

indonesian catholic online evangelization

Life Of Hermite By Fr Zacheus

Posted by admin on February 18, 2015
Posted in videocast 

Abu

Posted by admin on February 18, 2015
Posted in renungan  | 2 Comments

AshesMed2P1210554

Bacaan I : Yoel 2:12-18
Bacaan II : 2 Kor 5:20-6:2
Bacaan Injil : Matius 6:1-6, 16-18

Di dalam Kitab Kejadian, dikisahkan Allah mencari Adam dan Hawa dan berseru, “Dimanakah engkau?” (Kej 3:9). Memasuki masa Prapaskah, Allah bertanya hal yang sama pada kita, “Dimanakah engkau?”. Ya. Di manakah kita sekarang? Di manakah kita dalam hidup rohani kita? Kita masuki masa persiapan Paskah, untuk bersama-sama mereorientasi hidup kita pada orient yang benar, Timur yang sejati, Sang Maha Terang yang terbit di Timur jagad rohani kita.

Hari ini kita rundukkan kepala dan membenamkan diri dalam tradisi purba, menandai diri dengan abu seraya mengingat sekali lagi Sabda yang Ilahi pada leluhur kita Adam dan Hawa: Engkau debu dan engkau akan kembali menjadi debu (Kej 3:19). Kita akui, kita masih terus mengulang kisah pemberontakan Adam dan Hawa, manakala kita memilih untuk mengikuti kemauan diri dan tak peduli nurani yang mendesak untuk memutar haluan ke jalan yang benar. Abu yang ditorehkan di dahi kita mengingatkan, kita ini insan fana. Masih beruntung bisa tegak berjalan berkelana menapaki bumi. Kita tahu persis, akan tiba saatnya kata yang sama diucapkan di dekat pusara kita: Engkau debu dan engkau akan kembali menjadi debu. Dan manakala saat itu tiba, dalam rupa debu, tak lagi bisa kita membeda: mana Budi, mana Susi, mana Bambang, mana Mayang. Juga tidak lagi terbedakan debu orang kaya dan miskin, pandai dan bodoh, penguasa dan rakyat jelata. Dalam debu, kita bahkan tak beda dengan sejuta pasir di pantai, atau tumpukan batu di gunung!

Hari ini, saatnya kita menapaki jalan-jalan kerohanian yang sudah terbentang ribuan tahun dan ditapaki berjuta peziarah rohani: doa, puasa, amal kasih. Doa membantu kita membangun keintiman dengan Yang Ilahi. Puasa mengarahkan kita untuk memusatkan diri pada yang esensi, yang pokok, yang mendasar, melatih pengendalian diri. Amal kasih melatih kita untuk menjadi murah hati seperti Bapa murah hati dan tak henti mengasihi. Semua akhirnya juga menegasi apa yang ditawarkan dunia dengan penuh coba dan goda: harta, kuasa, dan nikmat dunia.

Hari ini, kita menolak dikendalikan hal-hal yang nampak. Kita mau menyelam sampai ke dasar makna. Kita tahu, yang sungguh bernilai tidaklah kasat mata. Seperti harta yang tersembunyi, hal-hal paling penting dalam hidup kita tidaklah nampak, melainkan tersembunyi di hati, tersemayam di jiwa. Bahkan abu pun menjadi bermakna manakala kisah dibalik eksistensinya menyentuh ingatan, hati dan budi.

Di manakah kalian (Kej 3:9)? Berbaliklah kepadaKu dengan segenap hatimu (Yoel 2:13)! Mulailah berjalan. Sekarang.

Masuk dalam masa Pra Paskah

Posted by admin on February 17, 2015
Posted in Podcast 

lent-2

Bah

Posted by admin on February 17, 2015
Posted in renungan  | 3 Comments

noahs-ark

 

Bacaan I : Kejadian 6:5-8, 7:1-5,10
Bacaan Injil : Markus 8:14-21

Kisah Nabi Nuh, banjir besar dan bahtera raksasa bisa jadi adalah salah satu kisah kitab suci paling populer untuk anak-anak, seperti kisah Nabi Yunus yang ditelan ikan. Ada unsur perentangan cerita yang jauh melampaui batas imaginasi yang membuat kisah seperti ini memacu gairah dan mengasyikkan. Persoalannya, kenyataan banjir besar seperti tsunami di Aceh, atau banjir tahunan yang menerjang Jakarta, sama sekali tidak lucu. Dalam kenyataan hidup, kehadiran air bah membawa serta duka derita dan menghentakkan kesadaran, bahwa kita ini bukan apa-apa di hadapan kuasa alam, apalagi kuasa Pencipta Semesta.

Kisah Nuh dan air bah mengingatkan kita akan merajalelanya kejahatan manusia. Tak henti kita dihentak kenyataan kuasa kegelapan yang melampaui kemampuan kita membayangkan bahwa kebrutalan semacam itu bisa ada, seperti pemenggalan 21 orang Mesir di Libya oleh ISIS baru-baru ini, hanya semata karena mereka pengikut Kristus, orang-orang Kristen Koptik. Atau munculnya kembali perbudakan dan penjualan manusia terutama anak-anak dan perempuan oleh kelompok yang sama. Dalam medan yang lebih debatable, nurani kita pasti juga jeri, nyeri dan ngeri menyaksikan bagaimana negara melaksanakan salah satu kuasa tertinggi Yang Ilahi: menentukan saat kematian seseorang lewat hukuman mati. Dan kejahatan di hati itu begitu merajalela dalam aneka rupa, dan terus mewujud di segala waktu dan tempat, membuat kita lelah dan sadar diri: tanpa campur tangan Kuasa Langit, segala usaha kita sia-sia.

Tak heran para leluhur iman kita berefleksi, banjir besar diperlukan untuk membasuh muka bumi dari kotoran-kotoran kedegilan manusia. Seperti badan kita menjadi segar setelah mandi dan membilas bersih tubuh dengan air, demikian alam termasuk manusia di dalamnya perlu dibersihkan dengan air bah. Penderitaan kadang diperlukan untuk mengguncang dan membangunkan kita, untuk menandai permulaan baru. Tuhan kiranya tidak dengan sengaja membuat manusia sengsara dan menderita. Dalam refleksi iman via Kitab Suci, seringkali penderitaan jelas muncul sebagai akibat pilihan-pilihan hidup yang salah, yang melawan kehendak Yang Ilahi. Konsekuensinya, penderitaan. Karenanya tak jarang kita terjebak mengeneralisir: kalau ada orang menderita, pasti karena dia punya dosa.

Kehadiran Yesus menantang cerita tunggal tersebut. Penderitaan dapat dipilih justru sebagai jalan melawan kuasa dosa dan maut. Atau paling tidak, Tuhan bisa menarik garis lurus dari bengkokan garis yang kita torehkan dalam hidup kita: Tuhan bisa menggunakan penderitaan yang sudah ada untuk memurnikan jiwa dan membuat kita lebih tersedia untuk menjadi penyalur berkatNya. Dan dari kisah Nabi Nuh kita tahu, apa pun yang terjadi dalam hidup kita, Tuhan selalu menyediakan bahtera penyelamat untuk kita. Menyadari hal ini tidak mudah untuk dicecapi dan dihayati, mari kita mohon rahmat kebesaran hati, kekuatan dan kebijaksanaan. Pada akhirnya, kita selalu bisa berharap pelangi akan terbentang di akhir hari, mengingatkan perjanjian kekal Yang Ilahi: Apapun yang terjadi dengan kita, Dia peduli.

Darah

Posted by admin on February 16, 2015
Posted in renungan  | 2 Comments

darah

Bacaan I: Kejadian 4:1-15,25
Bacaan Injil: Markus 8:11-13

Tuhan bertanya pada Kain, “Di manakah saudaramu Habel?… Dengarlah jeritan darah saudaramu, ratapan yang menikam dari tanah basah memerah tempatnya tertumpah …!” Mungkin Tuhan juga bertanya pada kita, di manakah saudara-saudara kita yang terluka atau terabaikan… oleh orang lain atau oleh diri kita. Sungguh menyakitkan hati membayangkan bagaimana Kain tega menumpahkan darah saudara kandungnya sendiri, Habil. Sungguh menyayat hati mendengar berita terorisme, perang, perdagangan manusia, perbudakan, pertikaian, yang terjadi di dunia saat ini, tidak kunjung berhenti. Sungguh membuat hati mengharu biru menyadari bahwa kisah Kain dan Habil terus berulang di tengah keluarga, di sekolah, di tempat kerja, di jalan-jalan desa dan kota, bahkan di tengah Gereja dan kelompok-kelompok agama dan kemanusiaan. Drama ketegangan antar pribadi dan kelompok terus terjadi, dan mungkin saat ini kita menjadi salah satu pelakunya!

Kitab Kejadian menyatakan bahwa Kain memendam iri, dengki, sakit hati. Tuhan sudah mengingatkan, muka muram dan hati panas menandakan bahwa dosa sudah mengintip di depan pintu. Sayang, kegelapan sudah begitu mencekam mata hati Kain, membutakan, menulikan, membebalkan nurani dan akal budi. Hati yang terluka memicu deru amarah, membangkitkan kebencian, dan akhirnya kekerasan. Pada Kain, kekerasan memuncak dalam kekerasan fisik berujung pembunuhan. Pada kita, mungkin berujung pada kekerasan kata-kata yang menyakitkan dan menghancurkan. Fitnah. Gosip. Rerasan. Mengobar-ngobarkan ketidakpuasan dan melancarkan kritik yang bertujuan semata menjatuhkan.

Kita tahu istilah “pembunuhan karakter”, yang mengacu pada serangan berupa kata-kata dengan tujuan menghancurkan atau merusak reputasi atau kepercayaan diri seseorang. Sekali dilancarkan, tindakan ini sering sulit ditarik kembali atau diperbaiki. Karenanya tindakan ini bisa disamakan dengan pembunuhan manusia dalam arti yang sesungguhnya, karena dampak kerusakan bahkan kehancuran yang terjadi tak jarang harus ditanggung seumur hidup. Kita mungkin telah membunuh seseorang dengan kata-kata kita dan tak pernah merasa bersalah, tak pernah sadar bahwa kita telah melakukan dosa berat terhadap saudara-saudari kita, tak sadar bahwa sakit hati bisa menjadi kanker yang menggerus kerohanian dan moralitas kita.

Darah Habil masih menggenang di rumah kita, di sekolah-sekolah, di kantor-kantor, di Gereja, di tempat-tempat konflik di dunia. Darah Habil masih terus menjerit pilu meminta perhatian, belas kasihan dan keadilan. Tuhan masih terus bertanya juga “Di manakah saudaramu?”, mengajak kita peka pada penderitaan orang-orang yang terdekat dengan kita. Mungkin kita bisa menjawab Tuhan dengan menghentikan rantai sakit hati dan balas dendam. Kita sungguh membutuhkan rahmat Tuhan, karena memaafkan sungguh tidak mudah. Mari runduk berdoa, semoga darah yang menggelegak menjadi tenang,dan air bah kata-kata pahit menjadi terkendali, dimulai dari diri kita sendiri. Damai di bumi, damai di hati.

Translate »