Header image alt text

indonesian catholic online evangelization

Ambil Jarak 

Posted by admin on May 24, 2015
Posted in renungan 

Bacaan I : Sirakh 17: 24-29

Injil : Markus 10: 17-27

Penulis Kitab Sirakh dengan tegas dan lantang mengatakan kepada para pembacanya: “Kembalilah kepada Yang Mahatinggi dan berpalinglah dari yang durjana”. Perkataan ini disampaikan oleh sang penulis kepada bangsa Israel yang saat itu sedang mengalami disorientasi iman. mereka adalah orang-orang yang beriman kepada Yahwe. Namun karena terjajah oleh bangsa Yunani maka mereka mulai berpaling kepada nilai-nilai Yunani yang dianggap sedemikian materialistis. Allah mereka ganti dengan materi, dengan berhala berupa patung maupun uang. Materialisme memang sungguh menyesatkan bila kita tidak berhati-hati dalam menyikapinya.

Hari ini Tuhan juga mengingatkan kita dalam percakapanNya dengan seorang anak muda yang kaya raya. Anak muda ini begitu ingin menjadi baik, dan menurut Tuhan menjadi baik berarti berani untuk mengambil jarak dari harta benda yang kita miliki. Artinya harta benda adalah baik, namun manusia bukanlah hamba harta benda, sebaliknya harta benda dimiliki oleh manusia sebagai hasil usahanya. Namun jangan samai harta benda kita justru mengendalikan kita, mengontrol hidup kita. Harta benda adalah untuk manusia dan bukan manusia untuk harta benda. Tuhan memberikan harta benda kepada kita agar kita dapat hidup dengan layak. Namun sekali lagi kita tidak diciptakan oleh Tuhan untuk menjadi hamba harta benda. Harta adalah baik namun bukan segala-galanya.

Berdasarkan pada kesadaran ini maka marilah kita mohon kepada Tuhan agar kita diberi kekuatan untuk selalu dapat mengendalkan Tuhan dalam hidup kita dan bukan hanya melulu mengandalkan harta benda kita yang sewaktu-waktu dapat hilang dari genggaman dan pandangan kita. Sebaliknya kita diminta oleh Tuhan untuk mengandalkan Dia yang tidak akan hilang ataupun lekang oleh apapun juga. Tuhan tidak akan pernah hilang dari gengaman maupun hidup kita. Amin.

Sabtu, 23 Mei 2015

Posted by admin on May 22, 2015
Posted in renungan 

Petikan Injil hari ini sangat bagus untuk membantu kita merefleksikan Bagaimana hubungan kita dengan sesama khususnya dengan mereka yang dekat dengan kita, entah anggota keluarga, anggota sebuah kelompok doa atau pun anggota sesama umat di lingkungan. Seringkali kita terpaksa harus menghadapi perbedaan pendapat, perselisihan, konflik, irihati, dan gossip.

Yesus berkata kepada Petrus yang bertanya tentang apa yang akan terjadi dengan muris yang dikasihi Yesus.”Tuhan, apakah yang akan terjadi dengan dia ini?” marilah kita bertanya dalam benak kita, apa yang membuat Petrus melontarkan pertanyaan itu? Mungkinkah ia merasa irihati? Ataukah Petrus merasa bahwa panggilan untuk mengikuti Yesus hanya ditujukan kepadanya saja? Mungkinkah Petrus merasa tidak percaya diri untuk mencintai Yesus dengan mengikutiNya, sehingga diam-diam Petrus menginginkan teman seperjalanan?

Jawaban Yesus sangat mengejutkan, “jikalau Aku menghendaki supaya ia tinggal hidup sampai Aku datang, itu bukan urusanmu. Tetapi engkau, ikutlah Aku.” Barangkali Petrus mulai bertanya-tanya dalam hatinya, apa kaitannya antara “hidup sampai Ia datang kembali” dengan “ikutlah Aku”? Dari sejarah kita mengetahui bahwa Petrus mati sebagai martir pada sekitar tahun 64-67 SM di Roma sedangkan Yohanes meninggal secara alamiah pada tahun 90an.

Kiranya bukanlah masalah irihati, konflik, dan gossip yang terjadi dalam petikan Injil tadi. Melainkan suatu panggilan untuk menghidupi hidup mereka dengan cara tertentu. Para murid generasi pertama memiliki panggilan masing-masing untuk mewartakan Injil secara unik sesuai tempat di mana mereka hidup. Namun mereka memiliki satu kesatuan, saling hormat menghormati dalam mewartakan iman akan Yesus Kristus penyelamat dunia. Pernah terjadi perbedaan pendapat dan perselisihan khususnya masalah dengan Paulus dan Barnabas, nanum akhirnya semua itu bisa diselesaikan dalam pertemuan di Yerusalem. Kuasa Roh Kudus memberi mereka karunia kebijaksanaan.

Dalam hidup berkeluarga, bermasyarakat, berkumpul dalam kelompok doa, dan hidup bersama dalam jemaat selingkungan, seringkali kita terlalu memusatkan perhatian pada konflik dan perselisihan yang semakin diperparah dengan meluasnya gossip. Marilah kita berubah dengan memusatkan diri pada tugas dan panggilan kita masing-masing.

Jumat, 22 Mei 2015

Posted by admin on May 21, 2015
Posted in renungan  | 1 Comment

Saya masih ingat ketika menghadapi ujian akhir di Seminari sebelum ditahbiskan sebagai seorang imam. Ujian tersebut bernama “Ad audiendas confessions” yaitu ujian kasus-kasus di ruang pengakuan dosa. Seorang Vikjen bersama dua dosen theology moral menguji kecakapan calon-calon imam. Setelah selesaikan beberapa kasus, Vikjen merangkum hasil ujian dengan mengatakan bahwa saya terlalu lunak

kepada penitent. Terlalu mudah kepada penitent itu tidak baik. Saya disarankan untuk lebih “strict” terhadap umat. Jangan terlalu mengikuti keinginan umat. “Kebenaran akan membebaskan kamu.”

Sesudah saya ditahbiskan, saya ditugaskan melayani umat di Papua New Guinea. Ketika belajar Bahasa daerah dan mengikuti introduksi pastoral, saya dibimbing oleh seorang imam berusia tujuh puluh tiga tahun bernama Arnie. Saya bertanya padanya, jika pastor dilahirkan kembali, apakah pastor akan tetap bertindak sama dengan umat seperti yang sudah pastor lakukan? Ia menjawab, “absolutely not. Saya tidak akan terlalu “strict” kepada umat.

Yesus mengabarkan kabar gembira bahwa Allah mencintai kita. Kabar gembira bukanlah nasehat-nasehat moral yang baik, memang mengandung beberapa instruksi moral. Kebenaran akan membebaskanmu, namun kebenaran bahwa Allah sangat mencintai dan maha Rahim kepada umatNya. Bukan Allah yang terlalu “strict” kepada umatNya. Pada waktu Yesus dibangkitkan dari kematian, kitab suci menggambarkan terjadi gempa bumi dan “curtain veil” di bait Allah terbelah. “Curtain veil” adalah batas antara orang-orang umum dan tempat yang paling suci. Pada hari Yesus dibangkitkan, salibNya membelah batas itu, sehingga orang-orang biasa bisa memasuki tempat Allah yang paling suci.

Tantangan bagi kita yang telah mengalami dicintai Tuhan adalah bagaimana kita mencintai Tuhan? Para martir melihat bahwa kalau Yesus bersedia mati secara mengerikan bagi saya, maka saya juga bersedia untuk mati secara mengerikan bagi Kristus. Petrus yang pernah mengkhianati Yesus berjanji untuk mencintai Yesus, dan cintanya kepada Yesus terwujudkan juga melalui kematian sebagai seorang martir. Kita tidak mengalami penganiayaan mengerikan seperti jaman para martir itu, namum kita juga tetap dipanggil untuk mencintai Tuhan melalui kemartiran tanpa menumpahkan darah, artinya memiliki hati yang tak terbagi kepada Tuhan.

Kamis, 21 Mei 2015

Posted by admin on May 20, 2015
Posted in renungan 

 

Petikan Injil hari ini (Yoh 17:2-26) mengingatkan saya akan uskup agung keuskupan Madang, Papua New Guinea yang mengatakankepada kami para imam agar mendoakan umat yang dilayani oleh para pastor. Kami diingatkan untuk tidak hanya mengeluh mengenai situasi umat yang dirobek-robek oleh perselisihan antar kampung atau suku yang tidak jarang berakhir dengan perkelahian yang membawa korban jiwa. Bahkan seringkali di antara korban jiwa itu terdapat wanita dan anak-anak.

Kita memang hidup dalam situasi konflik dan perselisihan. Kebudayaan patologis individualis memenuhi kehidupan kita. Semangat pengorbanan dan cinta kehidupan telah kehilangan daya pengaruhnya. Dalam situasi ini kita ingat akan doa Yesus dalam petikan Injil hari ini, “Bapa yang kudus, bukan untuk mereka ini (pada murid generasi pertama Kekristenan) saja Aku berdoa, tetapi juga untuk orang-orang, yang percaya kepadaKu oleh pemberitaan mereka; supaya mereka menjadi satu, …”

Menjadi percaya kepada Kristus dan dibaptis bukanlah jaminan otomatis untuk terwujudnya kesatuan persaudaraan Kristiani yakni saling menopang, menolong dan hidup rukun dalam damai dengan yang lain. Semua itu harus diperjuangkan dengan gigih melawan kecenderungan egoism-mementingkan keperluan diri sendiri. Kapankah kita bisa merasakan bahwa Kristus berdoa untuk kita. Dalam perayaan Ekaristi pertama-tama kita mengalami didoakan oleh Kristus yang mencintai kita.

Kita hendaknya yakin bahwa melalui peryaan Ekaristi, perdamaian adalah sesuatu yang tidak mustahil. Tuhan akan mengubah situasi perselisihan dalam keluarga dan komunitas. Bagaimana perubahan itu terjadi, kita tidak mengetahuinya. Yang diharapkan dari kita adalah kesediaan untuk menggantungkan diri dengan hati tak terbagi pada Sakramen Ekaristi termasuk di dalamnya Adorasi di hadapan Sakramen Maha Kudus secara regular.

Baru kurang lebih setelah Sembilan tahun saya berdoa memohon perdamaian untuk dianugerahkan pada umat paroki yang saya layani selama dua belas tahun di Papua New Guinea, saya bisa merasakan perubahan dalam situasi umat dimana tampak frekwuensi perkelahian antar kampong mulai berkurang secara siknifikan. Tentu saja tidak hanya berdoa Adorasi dan prosesi Sakramen Maha Kudus namun juga memberi masukan lewat retreat di kampung-kampung penduduk mengenai “Conflict-Resolution” yang pada dasarnya berkat Sakramen Maha Kudus perdamaian antar suku adalah sesuatu yang mungkin. Yang ilahi menguatkan usaha kita semua untuk bersedia menghentikan perselisihan, menyalurkan kemarahan dengan cara yang tepat dan bersedia mengampuni mereka yang bersalah kepada kita.

 

Bersatu dengan Yesus Kristus

Posted by admin on May 19, 2015
Posted in Podcast  | 1 Comment

jn-17-11-19
Translate »