Kel. 33:7-11; 34:5b-9.28; Mat. 13:36-43.
Di dalam kehidupan sehari-hari, kita mengalami kehadiran kebaikan dan kejahatan bersama-sama. Kita mengalami kebaikan hati orang lain dan kita berbuat baik kepada orang lain. Kita mengalami disakiti hati orang lain; kita pun juga menyakiti hati orang lain. Situasi di masyarakat pun kurang lebih sama. Kita melihat ada banyak orang yang berkehendak baik, misalnya membuka lapangan pekerjaan bagi orang-orang miskin, menyuarakan suara kaum kecil yang menderita, berdoa untuk berakhirnya korupsi, ketidakadilan, dan aborsi. Kita mengalami pergulatan antara dua kekuatan yakni kebaikan dan kejahatan.
Di dalam Injil yang dibacakan dalam Perayaan Ekaristi hari ini kita mendengar, “benih yang baik adalah anak-anak Kerajaan dan lalang ialah anak-anak si jahat”. Keduanya tumbuh bersama di dunia ini sampai pada akhir zaman. Pada waktu itu, “Anak Manusia akan mengutus malaikat-malaikat-Nya dan mereka akan mengumpulkan segala sesuatu yang menyesatkan dan semua orang yang melakukan kejahatan dari dalam kerajaan-Nya. Semuanya akan dicampakkan ke dalam dapur api. … orang benar akan bercahaya seperti matahari … “.
Bagaimanakah kita bisa menghindarkan diri dari ancaman akan dicampakkan ke dalam dapur api? Bagaimana kita bisa bercahaya bagaikan matahari? Sejak pembaptisan kita telah menjadi anak-anak terang atau benih yang baik. Namun pembaptisan itu sendiri tidak berdiri sendiri melainkan disegarkan terus-menerus dengan memupuk sikap doa pribadi dan memiliki integritas moral pribadi yang baik. Kita tahu bahwa kedua hal tadi sebenarnya belumlah cukup.
Untuk membuat benih yang baik sebagai orang Katolik kita selalu ingat akan kriteria pada akhir jaman seperti yang tertulis dalam Injil Matius bab 25: 31-43. Yakni membantu dan membela kaum miskin. Untuk menyemaikan benih yang baik dengan doa pribadi dan moralitas pribadi yang baik serta berbela rasa dan peduli dengan yang malang dan miskin, kita masih perlu memiliki iman yang dewasa yakni memiliki semangat askese atau semangat berkorban demi kepentingan sesama. Demikian juga sikap “sense of belonging” kepada suatu komunitas semacam lingkungan atau kelompok doa sebagai kelompok yang saling mendukung terciptanya rasa kebersamaan sebagai umat yang diselamatkan.
Jaman ini ditandai dengan semangat mementingkan diri sendiri. Kesadaran bahwa kita diselamatkan dalam kebersamaan mulai menipis. Hal ini bisa kita lihat dari “percentage” kehadiran umat pada Perayaan Ekaristi setiap hari Minggu. Ada keuskupan-keuskupan yang mengadakan “survey” dan menemukan hasilnya, hanya 15%; 35%; 66% saja orang Katolik yang secara rutin menghadiri Perayaan Ekaristi pada hari Minggu.
Marilah kita berubah menjadi lebih baik dengan melakukan berbagai macam askese yang perlu bagi keselamatan kita bersama.