Header image alt text

indonesian catholic online evangelization

Kunjungan Bunda Maria Fatima di St Michael Church Surabaya

Posted by admin on May 30, 2016
Posted in news 

13733066f5bd0565de88e55048f55e82 d7abfa8b27b7226103f334d056590001

Laporan kunjungan IPVS ke Indonesia

Posted by admin on May 29, 2016
Posted in news 

Team IPVS telah mendarat dengan selamat di Surabaya International Airport pada tanggal 29 Mei 2016 jam 9:40 pagi , di jemput oleh Team Panitia Lokal Indonesia .41408958fe509af2b81a47402ae1042e

Rumah

Posted by admin on May 26, 2016
Posted in renungan 

livingstone

Bacaan Injil: Markus 11:11-26

Saat menjalani tugas belajar di Sydney, saya perhatikan ada “keanehan” yang saya alami, tiap saat menjelang liburan ke tanah air dan sebelum kembali ke Sydney. Di Sydney, teman-teman suka bertanya, kapan saya pulang ke rumah dan bagaimana saya akan bertemu ibu dan saudara-saudara saya. Rumah saya, bagi mereka, adalah suatu tempat di Indonesia dimana keluarga sedarah tinggal. Saat saya bersiap angkat koper meninggalkan Indonesia, pertanyaan yang sama muncul, kapan saya pulang. Bagi mereka, kepulangan saya adalah kembali ke sebuah rumah di Sydney, dimana saya tinggal dan melewatkan sebagian besar waktu saya. Sebagai perantau, sebagaimana para perantau lain, definisi pulang tak lagi sekedar mengacu pada batasan fisik suatu lokasi dengan koordinat tertentu dan bangunan bersekat tembok dengan ruang-ruang publik dan pribadi. Rumah sebagai tujuan kepulangan saya merujuk lebih dari sekedar “house”. Haru biru perasaan yang menyertai setiap perjalanan panjang pulang pergi dari dan ke rumah, setiap kalinya mendalamkan pemahaman dan penghargaan batin akan “home”. Rumah adalah leburan ruang dan waktu dimana dan saat mana diri menjadi aman, nyaman, asli, harmoni.

Saat Tuhan Yesus menyaksikan Bait Allah di Yerusalem yang penuh dengan pedagang di pelatarannya, Ia meradang. Bait Allah, adalah rumah doa, selayaknya diisi dengan apa saja yang benar membantu perjumpaan dengan Yang Ilahi, BapaNya yang Mulia. Bait Allah, seharusnya menjadi tempat di mana baris-baris doa didaraskan, dan pikiran serta hati di arahkan pada ketinggian, kedalaman dan keluasan hal rohani. Yang terjadi, perdagangan, yang menjadi bagian dari persiapan segala ritual keagamaan, lebih menyita perhatian dan selalu ada dalam bahaya menyajikan “Allah yang lain”, yang bisa menjadi lebih dipentingkan daripada Allah benar yang hendak dipuji dan dipuja. Rumah doa, telah menjadi sarang penyamun. Rumah doa, dimana orang semestinya merasa aman, nyaman, khusuk merenung dan berwawanhati dengan Yang Maha Kudus, telah menjadi pelataran kecurangan, ketidakadilan dan pemerasan diam-diam oleh mereka yang berpunya atas para pejiarah rohani dan jasmani.

Kekecewaan dan kemarahan di rumah Tuhan itu, menghujam kepada penghayatan “home” yang menjadi jiwa dari “house”. Kiranya itu juga inti dari cerita kecil tentang pohon ara yang tidak berbuah yang mengapit insiden di Bait Allah ini: dari pohon buah-buahan wajar diharapkan adanya buah, kalau tidak pohon itu kehilangan jati dirinya, alasan keberadaannya. Dari Rumah Allah, wajar diharapkan suasana yang mendukung pertemuan intim mesra dengan Tuhan, kalau tidak Bait Suci itu kehilangan nilai pentingnya dan makna dasarnya. Dari sini, kita bisa menapaki logika hidup rohani: dari hati kita, dimana Allah semestinya bersemayam dan bertahta di pusatnya, wajar diharapkan rasa hormat dan devosi akan hidup dan cinta, belas kasih dan pengampunan, dan darinya mengalir buah damai dan sukacita, kerukunan dan pengertian. Persoalannya, tidak mudah menjaga hati kita untuk tidak menjadi pasar dimana nafsu segala rupa bertiwikrama menjadi raksasa durjana yang menyedot perhatian kita jauh lebih dari yang sewajarnya.

Dalam hening bening doa, mari kita bertanya: masih cukup bersih jernihkah hatiku untuk bisa bertemu denganNya? Apakah yang perlu kulakukan untuk menjaga hatiku tidak menjadi “sarang penyamun” dimana aneka transaksi hal-hal duniawi mengambil tempat jauh melebihi yang semestinya? Dalam kesadaran kelemahan kita, rahmat apakah yang perlu kuminta agar berani dan mampu membersihkan segala kotoran ruang batinku?

Mulia

Posted by admin on May 24, 2016
Posted in renungan 

your-majesty-ring-holder_1

Markus 10:32-45

Shakespeare menyatakan “All the word’s a stage. All the men and women merely players; They have their exits and their entrances. And one man in his time plays many parts,… At first, the infant, mewling and puking in the nurse’s arms… then a souldier, full of strange oaths and bearded like the pard, jealous in honour, sudden and quick in quarrel, seeking the bubble reputation even in the canon’s mouth…last scene of all… is second childishness and mere oblivion, Sans teeth, sans eyes, sans taste, sans everything.”

Dunia ini panggung sandiwara, demikian versi Ahmad Albar dari group musik God Bless, ceritanya mudah berubah. Merenungkan hidup dengan kacamata ini, kita dibawa pada kesadaran kesementaraan segala sesuatu di dunia, sebagaimana disematkan kata “fana” sebagai kontras akan “baka”. Penulis kitab Pengkotbah dengan ekstrim menyatakan: kesia-siaan belaka, segala sesuatu adalah sia-sia” (Pkh 1:2). Segala sesuatu yang duniawi adalah sia-sia.

Para guru spiritual selalu mengajak kita memandang melampaui horizon kesementaraan kita dan mengajak kita mencari yang esensial, yang fundamental, tanpa menjadi kaku dan beku. Guru muda dari Galilea yang kita ikuti bukanlah pengecualian. Ia menantang pemahaman para muridnya yang sibuk berdebat dan berharap mendapatkan kemuliaan dunia. Barangkali dibenak Sang Guru terpikir: Ah… murid-muridku… kalian diciptakan untuk sesuatu yang jauh lebih bermakna, mengapa bertikai menguras energi dan emosi untuk sesuatu yang rapuh dan cepat luruh? Kembangkan sayapmu! Mari terbang meninggalkan dataran kesia-siaan ini!

Mudah bagi kita untuk menilai kekurangdewasaan para murid yang bertengkar untuk mendapatkan posisi yang paling penting, besar dan berkuasa di dunia. Sulit bagi kita untuk menerima, sebenarnya mereka cermin kita juga yang suka alpa memaksakan ego kita dan menempatkan harga diri kita begitu tinggi, meletakkan diri di pusat semesta. Alhasil, kita mudah tersinggung, mudah merana, sukar memahami dan menerima orang lain, suka menuntut dan sukar dituntut. Kemuliaan fana dimulai dari kelupaan sederhana bahwa kita bisa salah dan hanya dengan merendahkan diri sajalah kita bisa efektif belajar untuk mengangkat harkat diri lebih tinggi, dan dengannya dimampukan memandang ketinggian yang lebih lagi sulit terpahami, dimasuki dan dirasuki.

Siapakah yang tak mau hidup mulia? Tak ada. Pertanyaan selanjutnya adalah bagian tugas pencarian kita dalam perjalanan di dunia fana: kemuliaan macam apa yang mau kuraih? Hidup kita bisa jadi ditentukan oleh satu pertanyaan ini saja. Apa jawab Anda?

Sederhana

Posted by admin on May 23, 2016
Posted in renungan  | 1 Comment

simple

Bacaan Injil: Mrk 10:28-31

Seorang Ibu berperawakan kecil dan pendek, berambut perak dengan tatap mata tajam dan senyum terkulum diwajahnya yang berkerut dan berwibawa datang menemuiku setelah misa harian pagi di sakristi Gereja St Mary North Sydney. “Father, do you know that you made mistake in the way you pronounced the word ‘devil’ when you read the Gospel?”. Lalu dia mulai mengajarku bagaimana cara yang benar mengucapkan kata itu. Ah… barangkali karena aku tidak menganggap setan sebagai temanku maka aku salah mengejanya… ha ha…

Bukan pertama kalinya Sang Ibu menyodorkan koreksi atas caraku mengucapkan beberapa kata Inggris. Tentu saja, sebagai native speaker Ibu berdarah Inggris itu tahu persis cara berbahasa Inggris yang baik dan benar. Belakangan aku tahu, sewaktu muda dia adalah seorang lawyer yang cukup disegani, dan ayahnya adalah seorang jaksa agung yang berkarya di tingkat nasional. Semua rekam jejak itu tak nampak saat dia dengan anggun melayani imam sebagai akolit di altar. Dia seperti akolit-akolit lain yang masing-masing punya keunikan sendiri-sendiri. Semua anggota komunitas misa pagi harian jam 7 di St Mary’s tak ada yang nampak sungguh istimewa.

Dalam pembicaraan di ruang makan pasturan, aku baru menyadari. Begitu banyak orang-orang besar –umumnya sudah pensiun- yang suka menghadiri misa dengan langkah laku yang bersahaja, sungguh biasa. Ternyata diantara mereka banyak tokoh ahli hukum, dokter, insinyur, pelaku bisnis, pemimpin politik dsb. Saat sekali aku berkesempatan dinner bersama mereka, baru aku bisa sungguh melihat dari cara mereka berbicara dan topik pilihan dan minat mereka, mereka ini “bukan orang biasa”.

Tidak mudah meninggalkan segala sesuatu dan mengikuti Yesus. Tidak semua diantara kita dipanggil untuk meninggalkan segala sesuatu dn memeluk bentuk hidup pengabdian yang total seperti Petrus dkk. Namun janji Tuhan Yesus untuk memberi berkat melimpah kiranya juga ditujukan untuk siapa saja yang rela mengosongkan diri dan mengikuti Dia lewat jalan hidup masing-masing. Yang ditinggalkan mungkin bukan rumah dan keluarganya, tetapi kebanggaan profesi, kenyamanan fasilitas, rasa aman, berkuasa dan berjasa, kerinduan menjadi pusat perhatian dunia. Kerendahan hati menjadi salah satu perwujudan semangat yang mengalir dari disiplin kemuridan: yang utama dan pertama adalah Sang Guru. Biar dia sajalah yang luar biasa, dan kita menjadi makin kecil dan biasa, sembari terus mengerjakan yang terbaik yang kita bisa.

Cara manakah yang lebih baik diambil seorang murid daripada membaktikan diri pada Sang Guru lewat kerendahan hati dan pelayanan penuh cinta, jika Sang Guru telah melakukan itu semua secara total, dan mengundang para muridnya melakukan hal yang sama “sebagai peringatan akan Daku”? Banyak orang yang terdahulu akan menjadi yang terakhir dan yang terakhir akan menjadi yang terdahulu. Pada akhirnya, yang penting untuk kita adalah “hidup sebagai anak-anak yang taat.. menjadi kudus di dalam seluruh hidup sama seperti Dia yang kudus yang telah memanggil kita”, juga kalau itu dipandang sebagai “yang terakhir”. Gelar, kedudukan sosial ekonomi, semua hanyalah sarana untuk melayani. Bukan tujuan. Semoga kita pun berani tampil bersahaja, apa adanya, jujur sederhana. Karena bukan banyaknya gelar, harta, kuasa yang menentukan nilai hidup kita, melainkan kedekatan dengan sang Maha Kuasa.

Translate »