Header image alt text

indonesian catholic online evangelization

MEMANCARKAN TERANG KASIH ALLAH

Posted by admin on September 24, 2017
Posted in renungan 

Senin, 25 September 2017

[Ezr. 1:1-6; Mzm. 126:1-2ab,2cd-3,4-5,6; Luk. 8:16-18]

 

MEMANCARKAN TERANG KASIH ALLAH

 

Paus Fransiskus pernah mengeluarkan sebuah surat apostolik berjudul: Evangelii Gaudium, yang dalam bahasa Indonesia berarti: “Sukacita Injil” Namun, kalau dicermati, judul ini agak ‘aneh’, karena pada dasarnya Injil sendiri berarti: ‘kabar sukacita’, sehingga terkesan ada pendobelan, dan secara harafiah, Evangelii Gaudium berarti: ‘sukacita kabar sukacita’. Benar kan? Terkesan berlebihan. Namun, bisa jadi Paus Fransiskus hendak menggemakan lagi arti makna dari Injil itu sendiri, yaitu kabar keselamatan akan Kerajaan Allah adalah sungguh kabar sukacita penuh kegembiraan. Barangkali, selama ini, ‘sukacita Injil’ kurang nampak dan kurang greget dalam kehidupan orang kristiani. Kehidupan, rasa-rasanya kehidupan kita masih didominasi oleh salib, alias penderitaan. Mungkin kita lupa bahwa setelah salib ada kebangkitan, dan itu berarti ada keselamatan yang membawa sukacita. Seolah-olah ada sesuatu yang disembunyikan dan tidak ditonjolkan, dan Paus Fransiskus, hendak mengajak Gereja dan umat Allah untuk mewartakan sukacita yang selama ini masih saja ‘tersembunyi’ tersebut.

 

Hari ini Yesus menyampaikan perumpamaan tentang pelita: “Tidak ada orang yang menyalakan pelita lalu menutupinya dengan tempayan atau menempatkannya di atas kaki dian, supaya semua orang yang masuk ke dalam rumah dapat melihat cahayanya. Sebab tidak ada sesuatu yang tersembunyi yang tidak dinyatakan dan tidak ada sesuatu yang rahasia yang tidak akan diketahui dan diumumkan.” Kabar keselamatan akan Kerajaan Allah, bukanlah sesuatu yang hendak disimpan untuk diri sendiri jika kita memang sudah memilikinya, namun hendaknya diwartakan seluas-luasnya kepada siapa pun, lewat pikiran, perkataan dan perbuatan kita; dan dalam berbagai kesempatan yang kita miliki. Hidup kita selalu bersinggungan dengan berbagai macam pengalaman dan peristiwa, dan harapannya setiap pengalaman dan peristiwa itu dapat menghadirkan kehadiran Kerajaan Allah, karena kita yang turut ambil bagian dalam pewartaanNya. Semoga, hati dan jiwa kita makin terang, karena terang kasih Allah sendiri yang menjadi kekuatannya.

 

Selamat pagi, selamat menjadi terang kasih Allah di mana pun. GBU.

Selamat Datang para Romo, Frater dan Suster

Posted by admin on September 24, 2017
Posted in news 

Selamat Datang Para Romo , Frater dan Suster yang baru bergabung di Lubukhati.

Terima kasih atas kesediaanya untuk karya penginjilan ini. Semoga berkat Tuhan melimpah untuk Para Romo, Frater dan Suster

Salam dan Doa kami,

Romo:

Rm. Effendi SJ, Rm Nana OSC, Rm. Juliwan SCJ, dan Rm. Yuwono MSF

Frater:

Fr. Didik; Fr. Widiarko; Fr. IA, & Fr. Juhas

Suster:

Sr.Aurelia PKarm

 

Unworthy, yet Called

Posted by Romo Valentinus Bayuhadi Ruseno OP on September 23, 2017
Posted in renungan 

Unworthy, yet Called

25th Sunday in Ordinary Time

September 24, 2017

Matthew 20:1-16a

They answered, ‘Because no one has hired us.’ He said to them, ‘You too go into my vineyard.’ (Mat 20:1-16)

Jesus is the storyteller genius. The parable he shares to us today does not only surprise us with its unexpected ending, but it also creates a sense of puzzlement and wonder. We expect that the workers who labored the whole day would get the better wage compared to those who came late. Yet, it did not happen. All got the same wage regardless of their working hours. The vineyard owner was right to explain that he did not violate the agreement with his laborers, but deep inside us, there is something quite off. If we were militant enough, we would stage a rally to protest the vineyard owner’s decision.

This sense of puzzlement and perhaps discontent are born because we can easily identify ourselves with the laborers who came early and worked the whole day, perhaps under the scourging sun and bearing heavy load. Many of us are workers who spend 8 hours or more in the workplace, working hard, just to get something to eat and little to save. Or some of us are students who have to study hard for hours just to pass a subject. Surely, we will feel resentment and even anger when we know that some unqualified workers with less work hours or productivity, receive the same and even higher amount of salary. We, students, will get totally disappointed knowing some lazy students, with their substandard, “copy-paste” assignments, get higher grade than us. It just violates our sense of justice.

However, do we really have to identify ourselves with the laborers who worked the whole day? Who knows they are actually not representing us. In God’s eyes, all of us may be like those people who were standing idle the whole day perhaps because no other vineyard owners think that we deserve the job. Indeed, in the final analysis, we are all but unworthy sinners. Pope Francis is loved by many and working hard for the Church. In his visit to Colombia, when he greeted the people on the streets, he got tripped, his eyebrow was slightly cut, and blood came out. Yet, instead calling off the activity, he proceeded. After receiving quick medical treatment, he insisted to continue greeting the people. Despite the pain, he met the people of God even with brighter smile. Pope Francis is like one of the laborers who came early in vineyard. Once he was asked by reporters to describe himself in one word, he answered he was a sinner! If this loving and holy Pope considers himself a sinner, who are we to think that we are the righteous?

Too much focus on ourselves, we often miss the obvious actions of the vineyard owner. He exerts effort to look for laborers, not just once, but four times. This defies the business logic. Why would you hire more if you have enough workers for the day? Why would you spend much for those worked only for one hour? That’s perfect recipe for bankruptcy! The point is not really about business and profit, but about seeking diligently and embracing those who are the lost, the less and the last. It is about us sinners, unworthy of Him, yet God remains faithful in looking for us.

It is truly humbling experience to know that we are “the people idle on the streets” yet God wants us to be part of His family. Now, it is our duty to respond to his Mercy with commitment and love for others. Like the last workers, we have only “one hour”, and it is time to make the best of it for He who has been very merciful.

Br. Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Berbunga

Posted by admin on September 22, 2017
Posted in renungan 

Sabtu, 23 September 2017

Hari Raya Peringatan Santo Padre Pio dari Pietrelcina

Padre Pio

Timotius 6:13-16
Mazmur 100
Lukas 8:4-15

Pada tahun novisiat, saya menawarkan diri untuk merawat pohon-pohon mawar yang tumbuh di salah satu bagian gedung novisiat. Karena sebagian gedung itu baru direnovasi, tanah di sekitar barisan pohon mawar itu penuh dengan batu dan sisa semen. Ilalang banyak tumbuh dan berlomba menarik nutrisi dari tanah. Nampaknya juga, tidak ada yang menyiram tanaman-tanaman itu. Akibatnya keadaan mereka kelihatan tidak sehat dan tidak ada bunga yang keluar.

Sampai saat itu, seumur-umur belum pernah saya berkebun, apalagi merawat mawar. Tapi saya coba belajar dari internet dan mulai merawat perlahan-lahan. Pertama saya mencoba membersihkan tanah sekitar dari batu dan ilalang. Selain itu saya potong juga batang yang sudah kering atau yang tumbuhnya tidak benar. Lalu saya bikin sistim irigasi dengan selang kecil sehingga dengan membuka satu keran, semua pohon mawar mendapatkan air. Akhirnya setelah beberapa minggu, bunga-bunga mawar mulai keluar.

Perumpamaan Yesus tentang benih yang jatuh di tanah yang berbeda-beda sudah sering kita dengar. Penjelasan yang paling gampang sudah ditawarkan Lukas dalam ayat-ayat berikutnya. Yang mendengar sabda Tuhan tapi terpengaruh iblis adalah seperti benih yang jatuh di pinggir jalan. Yang tidak menanamkan ajaran Tuhan adalah seperti benih yang jatuh di batu. Yang terpengaruh cinta uang, kenikmatan hidup, atau kekuatiran adalah seperti benih di semak duri. Dan yang mendengar, mencamkan, dan menjalankan sabda Tuhan adalah seperti benih yang jatuh di tanah subur dan berbuah.

Tetapi kita kadang lupa bahwa realitas hidup tidaklah selalu semudah itu. Seperti pengalaman saya di novisiat, membuat tanaman untuk berbunga memerlukan kerja keras. Tanah yang subur semata bukanlah jaminan tumbuh dan berbunga. Jika tidak dirawat dengan baik, tidak akan ada hasilnya.

Demikian juga kita tidak bisa menepuk dada karena sudah merasa seperti tanah yang subur dan membuahkan hasil. Mungkin ada saat dalam hidup kita di mana kita menjadi lebih seperti tanah berduri karena kekuatiran hidup. Atau kita termakan tipu daya dan melupakan hubungan kita dengan Tuhan seperti benih yang diambil burung. Atau mungkin juga hati kita mengeras seperti batu dan kita mengacuhkan perintah Tuhan.

Jika hal-hal itu terjadi, itu sudah menjadi kodrat manusia. Tetapi seperti orang yang berkebun atau bertani, kita diingatkan selalu untuk merawat kembali pohon iman kita. Karena itulah penting untuk “menyirami” kembali hidup iman kita dengan retret, rekoleksi, kontemplasi, ziarah, atau cara-cara lain. Jika anda mengalami masa kering saat ini, ada baiknya anda berbuat sesuatu yang dapat memulihkan kembali hubungan anda dengan Tuhan, sang pokok pohon dan sumber air hidup.

Hari ini kita mengenang Santo Padre Pio, seorang Fransiskan Kapusin. Dia terkenal karena mendapat stigmata dan mujizat-mujizat penyembuhan. Namun, ia juga adalah orang yang taat berdoa dan menyatukan diri dengan Allah. Hidup doanya inilah yang menjadi sumber kekuatannya dalam segala penderitaan dan karya misinya. Setelah dia meninggal, banyak orang masih merasakan kehadirannya ketika berdoa dengan perantaraan namanya. Tandanya? Mereka bisa mencium bau mawar yang harum. Padre Pio, dengan merawat hidup imannya dengan siraman rohani terus menerus benar-benarmenghasilkan bunga yang harum.

Konflik Internal

Posted by admin on September 21, 2017
Posted in renungan 

Jumat, 22 September 2017

Timotius 6:2-12
Mazmur 49
Lukas 8:1-3

Paulus menulis surat pada salah satu muridnya, Timotius yang adalah salah satu pemimpin umat di Efesus. Pada saat itu, Efesus adalah kota yang sangat terpandang. Kaisar Augustus menjadikannya ibukota provinsi dan setelah itu Efesus berkembang menjadi salah satu pusat pemerintahan dan perdagangan paling penting di Kekaisaran Romawi. Bisa jadi banyak orang kaya dan terpandang yang tertarik untuk menjadi Kristen. Tingkah laku mereka membuat Paulus menulis surat ini pada Timotius. Dari pesan Paulus dapat kita simpulkan bahwa ada umat di Efesus yang hanya suka beradu argumen dan memecah belah Gereja. Ada juga yang lebih mementingkan kekayaannya daripada menjalankan hidup sebagai murid Yesus yang sejati. Bahkan Paulus berpesan keras bahwa cinta akan uang adalah akar dari segala kejahatan.

Sayangnya, tidak banyak yang berubah sejak zaman itu. Di gereja-gereja kita pun, terlebih di kota-kota besar, perpecahan, percekcokan, curiga, iri hati masih sering mewarnai hubungan antar umat. Bahkan dalam kelompok umat Katolik Indonesia yang ada di luar negeri, yang semestinya bisa lebih erat karena senasib sepernanggungan di negeri orang, percekcokan terjadi juga. Para romo yang melayani umat pun terkadang terjerat ke dalam perselisihan ini dan tidak dapat lagi mengayomi seluruh umat. Ada juga yang sampai stress melihat ketidakakuran umatnya.

Surat Paulus hari ini tidak hanya ditujukan pada Timotius atau umat di Efesus 2000 tahun yang lalu, tetapi pada setiap diri kita saat ini juga. Sudahkah kita mengutamakan keadilan, hidup doa, iman, kasih, kesabaran, dan kelembutan dalam relasi kita dalam hidup menggereja? Atau masihkah kita mengejar uang, kekuasaan, atau keuntungan lain dari posisi kita dalam Gereja? Bagaimanakah kita mampu menyebarkan Injil kepada semua bangsa kalau di dalam kita sendiri masih saling bertengkar?

Translate »