Header image alt text

indonesian catholic online evangelization

Tidak Haus Pujian dan Penghargaan

Posted by admin on June 19, 2018
Posted in renungan 

Rabu, 20 Juni 2018

Hari Biasa XI

Bacaan I 2Raj 2: 1. 6-14

Bacaan Injil Matius 6: 1-6. 16-18

Tidak Haus Pujian dan Penghargaan

Ketika saya masih menjadi seminaris di Seminari Mertoyudan, ada kegiatan rohani Legio Mariae setiap minggu. Yang menarik dari Legio Mariae adalah adanya tugas legioner yang harus dilakukan secara tersembunyi. Tugas itu tidaklah berat tetapi membuat kami harus kreatif dalam pelaksanaannya agar tidak ketahuan orang lain. Membantu cuci piring, koster, menyapu koridor atau ikut dalam koor yang bukan kelompoknya, adalah contoh tugas legioner. Terasa sekali bahwa menjalankan tugas legioner memiliki bobot menantang karena perihal keikhlasan dan tersembunyi. Salah satu tujuan diadakan tugas semacam itu tak lain agar kami semua belajar menjadi orang yang rendah hati. Kesuksesan dan keberhasilan dalam berpartisipasi bukanlah melulu urusan kemegahan diri melainkan sebagai tanda bakti kepada sesama dan untuk memuliakan nama Tuhan. Pola itu akhirnya menjadi habitus kami dalam bertindak, entah itu tetap sebagai calon imam atau awam yang hidup di luar tembok asrama seminari.

Memang, kebutuhan dasariah seseorang adalah ingin dipuji dan dihargai. Untuk itu, menjadi naluriah jika segala kegiatan yang dilakukan manusia terkadang lebih condong berorientasi pada pemenuhan kebutuhan dasariah itu. Kondisi inilah yang hendak diubah oleh Yesus. Bukan pujian dan penghargaan dari sesama yang membuat hidup kita berkenan kepada Allah; melainkan pujian dan penghargaan dari Allah sajalah yang seharusnya kita canangkan. Orientasi pada pujian dan penghargaan dari sesama lebih mudah membuat kita jatuh pada kesombongan, ke-aku-an dan keuntungan pribadi; apalagi jika orientasi itu diterapkan dalam tata-hidup rohani. Yesus tidak ingin hidup iman kita menjadi kotor dan penuh cela. Mengasihi dan memuliakan Allah Bapa tidak perlu muluk-muluk, karena iman itu pertama-tama urusan kemantapan hati. Letak hati saja tersembunyi sedemikian rupa dalam tubuh kita, maka kita harus mampu untuk menyembunyikan keinginan berpuas diri. Allah tidak akan menutup mata jika kita ikhlas berbuat baik. Allah akan memberi ganjaran yang jauh lebih besar daripada sekadar keinginan kita untuk dipuji dan dihargai oleh sesama. Kiranya, yang paling penting untuk bertindak baik dan taat pada perintah Allah adalah ikhlas melakukannya tanpa pamrih. Yakinlah bahwa Allah punya cara tersendiri untuk memberikan kepuasan batin kepada kita.

Pertanyaan untuk kita, kapan sajakah aku melaksanakan tindakan pengamalan iman secara tersembunyi? Sejauh mana aku puas secara batin melaksanakan ajaran iman yang ikhlas tanpa pamrih?

Masih Mampukah Aku Mengasihi?

Posted by admin on June 18, 2018
Posted in renungan 

Selasa, 19 Juni 2018

Hari Biasa XI

Bacaan I 1Raj 21: 17-29

Bacaan Injil Matius 5: 43-48

Masih Mampukah Aku Mengasihi?

Tindakan mengasihi tak pernah mengenal batasan. Kasih menjadi pendobrak batas-batas yang diciptakan manusia. Memang, sejak kecil kita diajari oleh kehidupan untuk membuat batasan tertentu. Misalnya, ketika SD diharuskan untuk tidak bergaul dengan mereka yang nakal dan urakan; ketika sudah agak besar, diwajibkan untuk memilih teman yang baik dan sopan; ketika sudah berelasi dengan masyarakat, secara naluriah kita akan mendekati mereka yang bersikap ramah kepada kita atau bahkan yang seagama dengan kita. Hidup terkotak-kotak dalam sekat yang membuat kita nyaman berada di suatu kelompok tertentu. Kalau sekadar nyaman saja sih rasanya tidak bermasalah, tetapi ada kalanya kenyamanan itu membuat kita menjadi orang yang fanatik. Fanatisme yang sempit tentu menjadi penghambat suburnya keadilan, kesejahteraan bersama dan kerukunan. Membela kelompok kita, agama kita atau saudara kita adalah reaksi yang umum untuk memperlihatkan betapa batas-batas tak pernah lepas dari kehidupan.

Hari ini Yesus mengajak kita untuk berani mendobrak batasan-batasan itu dengan perbuatan kasih. Mengasihi adalah tindakan luhur yang wajib dilakukan oleh pengikut Kristus. Karena hanya dengan kasih itulah, kita bisa merangkai keindahan hidup bersama. Poin tertinggi mengasihi terletak pada bagaimana kita mampu mengasihi mereka yang membenci kita atau katakanlah sebagai musuh kita. Ini hal tersulit dalam adegan mengasihi. Butuh keberanian, motivasi, modal dan tentu saja niat yang militan. Kasih demikian menggambarkan tentang ketiadaan pamrih. Kasih menjadi luhur karena tidak terobsesi pada keuntungan tertentu, melainkan pada citarasa pengorbanan sebagaimana telah Kristus lakukan untuk penebusan umat-Nya.

Tengok saja pengalaman para korban pengeboman oleh teroris di Surabaya sebulan silam. Mereka adalah tokoh-tokoh teladan dalam tindakan mengasihi. Dengan ikhlas dan kesungguhan hati, mereka memberi ampunan kepada para teroris. Yang membuat saya semakin trenyuh adalah seorang korban mengatakan, “Saya mengampuni mereka karena demikianlah yang diajarkan oleh Tuhan Yesus dalam agama saya”. Karena kasih yang mereka lakukan itulah, maka ajaran Yesus semakin meluas dan dipahami oleh semakiin banyak orang. Tantangan untuk mengasihi semakin kuat ketika hidup kita bertatapan dengan kesusahan dan penderitaan. Pertanyaan untuk kita renungkan yakni masih mampukah aku melihat dan merasakan kasih Tuhan dalam pengalaman-pengalaman hidup yang pahit, susah dan sulit?

Menciptakan Kebaikan

Posted by admin on June 17, 2018
Posted in renungan 

Senin, 18 Juni 2018

Hari Biasa XI

 

Bacaan I         1Raj 21: 1-16

Bacaan Injil    Matius 5: 38-42

 

Menciptakan Kebaikan

Farid Stevy Asta, seorang seniman dan musisi kota Yogyakarta, pernah menulis puisi demikian, “Di masa kau terlahir, orang-orang bersepakat bahwa ajaran terpopuler adalah membenci. Ajaran ternorak adalah mencintai. Batu, parang dan peluru adalah jajanan laris manis. Cium dan peluk adalah jualan yang tak pernah laku lagi. Semakin kita membenci, semakin kita diakui. Semakin kita mencintai, semakin kita dijauhi. Kita terlahir di masa maha benci”. Apa yang ditulis Farid menggarisbawahi tentang zona kehidupan saat ini yang mudah disulut untuk berbuat onar, jahat dan mengacaukan. Begitu gampang orang terprovokasi untuk saling membenci dan menjatuhkan sesama demi suatu kepentingan golongan tertentu. Sosok-sosok macam itu kita temukan dalam diri Izebel yang secara licik dan kejam membunuh Nabot demi membantu Ahab mencapai rencananya. Fenomena itu menggambarkan bahwa hukum rimba yang seharusnya terjadi dalam dunia kebinatangan, telah diadaptasi sedemikian rupa ke dalam dunia manusia.

Maka, kebaikan sepertinya menjadi barang yang mahal. Kendati setiap agama mengajarkan untuk berbuat baik dan menjadikan kebaikan sebagai komoditi utama ajarannya, tetapi kelestarian kebaikan sangat bergantung pada pribadi setiap pemeluk agama. Yang perlu diperhatikan adalah bagaimana cara kita untuk berbuat baik? Yesus mengajarkan bahwa berbuat baik dimulai dari keikhlasan batin untuk saling memberikan diri. “Janganlah melawan orang yang berbuat jahat kepadamu”, itulah ajaran yang perlu kita terapkan. Artinya, kejahatan tidak perlu dilawan dengan kejahatan karena jahat itu pada dasarnya memang hendak membuat kekacauan. Namun, jika kejahatan dibalas dengan tetap berbuat baik, maka kekacauan tidak akan terjadi. Ajaran-ajaran kebaikan yang tertulis dalam Injil hari ini rasa-rasanya memang ekstrim; tetapi, jika kita mau melakukannya dengan ikhlas hati, maka kita pasti akan menerima betapa mudah menciptakan harmonisasi. Bekerja ikhlas tanpa pamrih, saling perhatian, rela mengampuni, setia kawan dan mudah bersyukur adalah beberapa hal dasar untuk membangun kebaikan dalam hidup kita.

Memang, membangun kebaikan bukanlah sebuah proses instant; kebaikan disusun dari kebiasan rutin yang butuh proses pertumbuhan. Ketekunan berbuat baik adalah modal yang cukup untuk melahirkan kehidupan memasyarakat kita lebih indah. Pertanyaan bagi kita: sudahkah aku berbuat baik hari ini? Apakah aku lebih banyak berbuat baik atau justru lebih sering berbuat jahat, kasar dan keras kepala?

Mengasihi Allah (audio Podcast)

Posted by admin on June 17, 2018
Posted in Podcastrenungan 

oleh Suster Maria Aurelia PKarm

The Death of Priesthood

Posted by Romo Valentinus Bayuhadi Ruseno OP on June 16, 2018
Posted in renungan  | Tagged With: ,

(a reflection of a religious brother for three Filipino priests who recently martyred)

June 17, 2018

 

The Catholic Church in the Philippines is once again in profound grief after one of her priests was mercilessly murdered. Fr. Richmond Nilo, from the diocese of Cabanatuan was shot several times just before he celebrated the mass at a chapel in Zaragoza, Nueva Ecija. His body was laying on the floor at the foot of the image of Blessed Virgin, soaked with blood. Another disturbing and painful image. He becomes the third priest losing his life in a bloody attack in the past six months. On December 4, 2017, Fr. Marcelito Paez was ambushed in Jean, Nueva Ecija. Just a few weeks ago on April 29, Fr. Mark Ventura was also gunned down moment after celebrating the mass. We may also include Fr. Rey Urmeneta who was attacked by a hit man in Calamba, Laguna. He sustained a bullet in his body, yet he survived death.

 

Several weeks ago I wrote an emotional reflection on the death of Fr. Ventura (see “A Death of Priest) and I would never hope that I would write another one. Yet, just sometime after the priest was buried without justice being served, Fr. Nilo lost his life in the line of duty. Surely, this is not the first time a priest is killed in the Philippines. The history has witnessed the killing of both Filipino and foreign priests in this land, but to lose three lives in just six months is truly alarming. I was asking myself, “Are we now living in the perilous time for priests? Is to become a priest a dangerous vocation? What’s the point of becoming a priest if it brings nothing but persecution and death?” We have left everything for Christ, our family, our future. Should we give up our lives in this heinous manner as well?

 

These questions are valid, yet these questions also, I realize, spring from fear. Many priests and even seminarians, myself included, have lived in the comfort of our seminaries, parishes or convents. Provided with readily available basic necessities, with individual rooms, with good-quality education, with other facilities and even amenities, we are actually living as middle-class bachelors. These privileges are meant to make us better and well-formed priests for the service of the people, but getting used to these facilities, we often lose sight of their primary purpose. Our priesthood is called as the ministerial priesthood because the ordained priests are to serve the people of God, but sometimes, the priests end up being served by the people of God. At times, the virus of clericalism and careerism infect our minds. Ordinations and positions in the Church are seen as promotions, career, or prestige. A better position means better perks! If the priesthood is just another way to make us rich, we have lost the priesthood even before we die! The death of a priest is terrible sorrow, but the death of priesthood in our hearts is tragedy!

 

Bishop Pablo David, DD of Caloocan, Metro Manila, reminds seminarians who are aspiring to become priests, that if the deaths of the priests gave them discouragement, rather than inspiration, it is better for them to forget the priesthood and leave the seminary as soon as they can. Bishop David notes that they are not helpless victims, but rather martyrs that bravely choose to face the dangerous consequence of preaching the Gospel and working for justice.

 

Since the beginning of Christianity, to become Christians and especially priests are dangerous vocations because we follow Christ in His way of the Cross. Yet, the martyrdom of the three priests turns out to be a shock therapy that wakes us up from our comfortable slumber. It is a call for many of us, seminarians, religious, and priests to ask what the purpose of our priesthood is. Have we died every day to ourselves? Are we ready to give up our lives to God and His people? Are we ready to follow Christ till the end?

 

Br. Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Translate »