Header image alt text

indonesian catholic online evangelization

Bertobat, tanda kerendahan hati

Posted by admin on July 16, 2018
Posted in renungan 

Selasa, 17 Juli 2018

Bertobat, tanda kerendahan hati

Matius 11:20-24

Dalam kehidupan kita sehari-hari, bahasa cinta kasih yang ditujukan kepada anak-anak tidaklah selalu bernada “memuji dan mengapresiasi” tetapi bahasa cinta kasih itu juga perlu bernada teguran dan peringatan yang menggugah kesadaran. Di dalam Injil hari ini, kita mendengarkan bagaimana Yesus memberi teguran keras kepada kota Khorazim dan Betsaida beserta penduduknya. “Celakalah engkau, Khorazim! Celakalah engkau, Betsaida!” Seperti kita ketahui dua kota yang disebut oleh Yesus adalah kota penting, dimana Yesus pergi dan mewartakan Kabar Gembira juga melakukan banyak mujizat. Yesus pun membandingkan dua kota yang lain, yaitu Tirus dan Sidon, yang dikenal sebagai daerah orang-orang yang tidak percaya kepada Yesus. Ia membuat pengandaikan jika kota Tirus dan Sidon menerima pewartaan Kabar Gembira, maka para penduduknya juga akan mengalami pertobatan karena merasakan kasih Allah.

Mengapa Yesus meratapi dua kota, Khorazim dan Betsaida dengan ungkapan ‘celakalah’? Karena orang-orang di daerah di mana Yesus mewartakan Kabar Gembira, menanggapi kehadiran dan Karya Yesus dengan sikap acuh tak acuh dan hati yang dingin. Mereka tidak tergerak hatinya untuk bertobat, mengakui kesalahan dan dosanya sehingga mereka berbalik kepada Allah. Pada akhirnya mereka bahkan membunuh dan menyalibkan Yesus. Dalam bacaan Injil hari ini, kita diundang untuk memahami dan menyadari betapa pentingnya pertobatan yang menuntun kita kepada suatu perubahan sikap dan mentalitas hidup kita menjadi lebih baik dan sesuai dengan kehendak Allah. Pertobatan menuntut suatu perubahan hati dan cara hidup. Sabda Allah memberikan kehidupan dan menyelamatkan kita dari kehancuran kehancuran : hati nurani dan kehancuran akal sehat. Yesus mengundang kita untuk berjalan dan mengikuti kehendak Allah. Dalam kasihNya, Ia memanggil kita dalam kebenaran dan kebebasan, rahmat dan belas kasih, keadilan dan kekudusan. Untuk itulah kita tidak bisa lagi bersikap suam-suam kuku dan berhati dingin dalam menanggapi cinta dan belas kasih Allah yang begitu besar.

Seringkali kesombongan dan keangkuhan kita menghalangi kita untuk merendahkan diri dan bertobat. Tak jarang berkat yang kita terima dari Allah bisa menjadikan diri kita lupa untuk bersyukur dan terus menerus berbenah diri. Berapa kali Yesus mencintai kita dan menghendaki kita senantiasa dekat dengan hatiNya. Cinta dan belas kasihNya mengubah hidup kita.

“Allah Bapa yang Maha Kasih, terangilah kegelapan hati kami dan curahkanlah Roh KudusMu dalam hati dan pikiran kami sehingga kami mampu melakukan segala sesuatu yang hanya memuliakan namaMu dan melakukan seturut kehendakMu”

Berdoa,Berharap dan jangan kuatir(audio podcast)

Posted by admin on July 16, 2018
Posted in Podcast 

Damai bukan berarti “mudah”, “tidak ada perderitaan”

Posted by admin on July 15, 2018
Posted in renungan 

Senin, 16 Juli 2018

Damai bukan berarti “mudah”, “tidak ada perderitaan”

Matius 10:34- 11:1

Ketika kita membaca Injil hari ini untuk pertama kali, kita mengalami kesulitan untuk memahaminya. Bagaimana kita bisa memahami Sabda Yesus bahwa misiNya datang ke dunia bukan untuk membawa damai tetapi pedang. Bagaimana memahami sabda ini ? Bukankah Yesus adalah pembawa damai seperti yang dikatakan oleh Nabi Yesaya. “Sebab seorang anak telah lahir untuk kita, seorang putera telah diberikan untuk kita; lambang pemerintahan ada di atas bahunya, dan namanya disebutkan orang: Penasihat Ajaib, Allah yang Perkasa, Bapa yang Kekal, Raja Damai” (Yesaya 9:6). Yesus bersabda kepada paraa Murid bahwa Dia tidak datang untuk membawa damai, melainkan membawa pedang (Mat 10:34). Kata benda “pedang” dalam bacaan ini tidak diartikan sebagai sebilah pedang secara fisik, melainkan suatu senjata rohani yang bisa membelah sumber dari kejahatan dan dosa manusia. Sabda Allah juga digambarkan sebagai sebuah”pedang bermata dua” yang mampu membelah dan memilah pikiran dan isi hati kita sehingga kita mampu membedakan segala sesuatu dengan pertimbangan dan pemikiran hati kita (Ibr 4:12). Dengan demikian Yesus datang untuk menyelamatkan kita dan membawa kita menuju hidup yang bebas sebagai anak-anak Allah yang damai dan penuh suka cita Roh Kudus (Rm 14:17).

Itulah misi yang dibawa oleh Yesus yaitu membebaskan manusia dari kuasa dosa dengan senjata Sabda Allah yang hidup, yaitu Yesus sendiri. Yesus menempati tempat pertama dalam hati kita sehingga Ia pun menuntut sikap totalitas sebagai pengikutNya, “Barangsiapa mengasihi bapa atau ibunya lebih daripada-Ku, ia tidak layak bagi-Ku. Dan barangsiapa mengasihi puteranya atau puterinya lebih daripada-Ku, ia tidak layak bagi-Ku” Selanjutnya Yesus lebih lanjutmengundang kita untuk memikul salib dan mengikutiNya.

Bacaan Injil hari ini sungguh menantang kita untuk berani menghadapi kesulitan dan penderitaan dalam kehidupan kita sehari-hari. “Damai” yang dimaksud oleh Yesus bukanlah suatu kondisi yang tanpa hadirnya kesulitan dan penderitaan atau segalanya menjadi mudah. Yesus tidak pernah menjanjikan hal yang mudah tetapi Ia berjanji membantu kita dalam menghadapi situasi sulit. Menjadi tugas kita untuk senantiasa berpegang teguh pada SabdaNya, Sabda kebenaran dan kehidupan. Ketika menghadapi suatu persoalan dan kesulitan yang berat, tak jarang kita berputus asa dan kehilangan harapan. Sabda Tuhan hari ini seolah menguatkan kita untuk berani menghadapi kesulitan dan penderitaan karena Allah menyertai kita dan mempersenjatai kita dengan senjata rohani yaitu Sabda Allah. Kita bertanya kepada diri kita masing-masing, sudahkah kita mempunyai kebiasaan membaca dan merenungkan dan melaksanakan Sabda Allah ?

“Tuhan Allah kami, seringkali kita tidak mampu melihat, mendengar dan merasakan kehadiranMu karena kami terlalu kawatir dan takut menghadapi kesulitan dan penderitaan. Buatlah hati kami berkobar dengan nyala Roh KudusMu untuk mampu mencintaiMu dengan sepenuh hati, pikiran dan kekuatan kami dan juga menyalakan api cinta kasih dalam hati kami untuk mampu mencintai sesama kami.”

Shake the Dust Off Your Feet

Posted by Romo Valentinus Bayuhadi Ruseno OP on July 14, 2018
Posted in renungan  | Tagged With: ,

The fifteenth Sunday in Ordinary Time

July 15, 2018

Mark 6:7-13

 

Whatever place does not welcome you or listen to you, leave there and shake the dust off your feet in testimony against them. (Mk. 6:11)

 

Our Gospel today speaks of the mission of the Twelve. They are sent to perform the threefold task: to exorcise the evil spirits, to heal the sick and to preach repentance. This threefold missionary duty reflects Jesus’ mission also in the Gospel according to Mark. To facilitate their preaching ministry, they need to travel light. No extra baggage, no extra burden. They need to travel two by two as a sign of communal and ecclesial dimension of the mission. They shall depend also their sustenance on the generosity of the people. And, when they face rejection, they shall shake the dust off their feet as a symbolic judgment against those who reject them. In ancient time, the Jews shake the dust off their feet when they reenter the Israel soil from the Gentile territories, as a sign of disowning and disapproval of the Gentiles nations.

 

I am presently having a clinical pastoral education in one of the hospitals in Metro Manila. The program trains me to become a good and compassionate chaplain. One of the basic tasks of a chaplain is to visit the patients, and during our visit, we are to listen to the patients and journey with them as a companion of the sick. To a certain extent, I feel that I am participating in the mission of the twelve Jesus’ disciples, especially in the ministry of healing the sick. However, unlike Jesus’ disciples, I am aware that I do not have the gift of miraculous healing. I often pray for and together with the patients, but so far there is no instantaneous healing, and patients continue to struggle with their sickness. However, the healing is not limited only to physical and biological aspects. It is holistic and includes the emotional and spiritual healing. Our doctors, nurse, and other hospital staffs have done their best to cure their patients’ illness, or at least to help them to bear their illness with dignity. I do believe that they are essentially and primarily Jesus’ co-workers in the ministry of healing. However, with so much load work they carry and limited time and energy, they have to focus on what they are trained for. The chaplains are there to fill in the gaps, to tie the loose ends, to attend to the emotional and spiritual needs.

 

In my several visits, I am grateful that many are welcoming my presence. However, at times, I feel also unwelcome. At this kind of moment, I am tempted to “shake the dust off my feet” as the testimony against them. After all, the disciples are instructed to do that. However, at the second thought, I try to understand why the patient is not so welcoming. Perhaps, they are in pain. Perhaps, they need rest. Perhaps, the medication affects their emotional disposition. Perhaps, they still have some serious issues that they need to deal with. With this awareness, I cannot simply judge them as “bad guy”. Trying to understand them and empathize with them, I also “shake the dust off my feet”, but this time, it is not the testimony against them, but it is to shake the “dust” of misunderstanding, rash judgment, and apathy. A chaplain is one who carries the mission of Christ to bring healing, and if I address rejection and difficulty with anger and hatred, then I just create more pain and illness.

 

Whether we are medical professionals or not, all of us are called to participate in this healing ministry of Jesus Christ. All of us are wounded and in pain with so many problems and issues we have in life. Thus, it is our call to bring healing to our family, to our friends, to our society, to our natural environment, and to our Church. This begins with our willingness to “shake the dust off our feet”, the dust of fear and wrong pre-judgment, the dust of rush emotional reactions in the face of challenging situations.

 

Br. Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

SRAWUNG

Posted by admin on July 11, 2018
Posted in renungan 

Image result for srawung

Srawung adalah kata bahasa jawa yang berarti “berteman” atau “perkumpulan.” Kalau anda hidup di sebuah apartemen dan tidak kenal dengan tetangga samping kiri atau kanan berarti anda tidak “srawung.”  Sekarang ini betapa banyak keluhan kalau orang memiliki tetangga yang tidak srawung, tak mau mengerti keadaan sekitar dan memilih hidup sendiri. Sampai-sampai ketika ada teroris ditangkap, orang ribut karena ternyata tetangganya adalah teroris. Tapi mereka tak mengenalnya karena sang tersangka teroris tak pernah srawung.

Minggu lalu saya menghadiri perayaan Ekaristi perdana di sebuah wilayah di Kulon Progo. Sesudah selesai misa, saya terkejut karena ada Bupati Kulon Progo, Kapolsek, Lurah, Ketua RT/RW, dan wakil desa datang ikut merayakan pesta imam baru. Mereka bukan katolik, tapi sangat senang berelasi dengan semua orang. Mereka “Srawung.”

Pak Bupati memberi sambutan singkat, berterima kasih bahwa ada warganya yang menjadi seorang pastor. Pastor dan para pemimpin agama adalah orang yang berperan dalam mengubah mental masyarakat, katanya. Revolusi mental bermula dari tempat ibadah dan kantor pemerintah! Mental untuk berubah dari seorang yang berkuasa memakai senjata, menjadi seorang “nata” yang melayani warga. Semua orang manggut-manggut menikmati kata-kata Bupati yang indah ini.

Sabda Yesus yang dibacakan hari ini bertema tentang mewartakan Kerajaan Allah. “Pergilah, sembuhkan orang sakit, melekanlah orang buta, tahirkan orang kusta. Kalian telah diberi dengan cuma-cuma, maka berikanlah dengan cuma-cuma.” Mewartakan Kerajaan Allah adalah tindakan SRAWUNG. Orang diajak mengenal tetangga, tahu persoalan dan kesulitan hidup orang lain.

Pak Bupati dan pengurus dewa menengok warga minoritas dan berbicara dengan kami. Mereka mengenal dan mau mendengarkan sehingga bisa melayani kebutuhan warga dengan baik. Meski hanya hadir sebentar, kehadiran mereka membekas di ingatan karena persaudaran dan kehangatan srawung.

Mari kita srawung, tidak hanya jadi jago kandang!  Agar kita bisa mewartakan nilai baik dan contoh hidup untuk banyak orang. Biarlah semakin banyak orang non Katolik makin mengenal bahwa Kerajaan Allah hadir lewat tindakan dan kebaikan kita.

Translate »