Header image alt text

indonesian catholic online evangelization

Celebrities

Posted by admin on September 3, 2019
Posted in renungan 

Rabu, 4 September 2019

Kolose 1:1-8
Mazmur 52
Lukas 4:38-44
Saya terkadang kasihan kalau melihat acara di TV di mana celebrities dikejar-kejar paparazzi. Mereka tidak peduli tempatnya, apa lagi santai di pantai atau lagi basah keringatan sehabis jogging atau sedang jemput anak di sekolah. Ada yang berpendapat itu sudah resiko orang yang terkenal, tidak lagi punya privacy.
Dalam Injil hari ini bias kita bayangkan Yesus semacam sosok celebrity yang dikejar-kejar oleh paparazzi dan para penggemarnya. Yesus yang lagi mencari ketenangan di tempat yang sepi tetap saja dicari-cari orang banyak. Ketika mereka menemukan dia, mereka berusaha menahannya supaya tinggal di kota mereka. Berita tentang karya penyembuhannya sudah menyebar luas dan orang banyak datang padanya meminta kesembuhan. 
Di lingkungan Katolik Indonesia pun seringkali kita dapati celebrities: orang-orang, baik romo atau awam, yang dipercaya diberi kuasa khusus untuk bisa menyembuhkan. Orang berbondong-bondong datang ke mereka. Retret-retretnya selalu habis terjual. Agenda mereka setiap hari penuh dengan panggilan untuk berkarya di seluruh penjuru tanah air.
Tuhan tentu saja bebas memberikan kuasa kepada orang-orang yang dipilihnya untuk menjalankan misi khusus di dunia. Tetapi terkadang kita terlalu memuja-muja orang tertentu itu dan menganggap mereka semacam tuhan-tuhan juga. Yang menjadi lebih penting bukan lagi Kristus tetapi para celebrities itu. Mungkin ini juga pembawaan dari kepercayaan tradisional kita, di mana ada dukun yang dianggap lebih sakti dari yang lainnya.
Saya ingat satu saat ketika berkunjung ke Cikanyere. Romo Yohanes Indrakusuma, yang terkenal dengan misi penyembuhannya, mengingatkan semua orang yang hadir saat itu: "Bapak, Ibu, jangan lupa yang menyembuhkan anda adalah Yesus. Bukan saya. Saya hanyalah alat yang dipakai Yesus." Saya sangat menghargai kerendahan hati beliau dan peringatannya yang sangat penting. Semoga kita pun selalu diingatkan untuk selalu terfokus kepada Yesus sang penyembuh sejati.

Damai dan Aman

Posted by admin on September 2, 2019
Posted in renungan 

Tuesday, 3 September 2019
Hari Raya Peringatan Santo Gregorius Agung, Paus dan Pujangga Gereja

1 Tesalonika
Mazmur 27
Lukas 4:31-37
Siapa yang tidak mau damai? Semua orang pasti mau keadaan negara dan dunia yang damai, supaya setiap orang bisa beraktivitas sehari-hari tanpa rasa takut. Tapi bagaimanakah kita bisa mencapai perdamaian itu? Dunia seakan mengatakan bahwa perdamaian hanya bisa dicapai dengan kekuatan, dengan ancaman senjata. Senjata digunakan untuk mengancam supaya jangan ada orang yang mencoba mengganggu perdamaian.
Ketika Paulus menggunakan istilah "damai dan aman" di dalam suratnya kepada jemaat di Tesalonika, dia menyindir slogan yang digunakan kekaisaran Roma. Wilayah Romawi pada saat itu sudah sedemikian luasnya, sampai ke wilayah Yunani, Israel, dan Afrika Utara. "Pax Romana" menjamin kedamaian di semua jajahan Roma dengan mengandalkan kekuatan legiun Romawi seperti yang dipimpin oleh Ponsius Pilatus di Yudea. Setiap orang yang membangkang, yang mencoba mengganggu kedamaian, akan berhadapan dengan prajurit Romawi.
Paulus mengingatkan bahwa damai yang dijanjikan oleh kekaisaran Roma adalah damai yang semu. Bencana atau musibah dapat datang setiap saat. Kita tidak punya kendali. Tapi kita yang percaya pada Kristus tidak hidup dalam kegelapan. Menjadi pengikut Kristus bukan berarti hidup kita akan bebas dari kesulitan. Yang dijanjikan Yesus adalah bahwa dia akan selalu beserta kita dalam segala hal. Terang Kristus membuat kita untuk siap menghadapi segala cobaan.  
Di saat dunia kita saat ini melalui berbagai bencana alam, peperangan, dan konflik antar kelompok, di mana para politikus berlomba-lomba menjanjikan damai dan aman melalui kekuatan atau ancaman kekerasan, semoga kita tidak akan pernah lupa Sang Damai dan Aman yang sejati. "Tuhan adalah terang dan keselamatanku. Kepada siapakah aku harus takut?" (Mazmur 27)

Missio Dei

Posted by admin on September 1, 2019
Posted in renungan 

2 September 2019

1 Thesalonika 4:13-18
Mazmur 96
Lukas 4:16-30
Kita orang Indonesia memang sering minder, kurang percaya diri. Kalau ada 2 barang di toko, yang satu buatan Indonesia dan yang satu lagi buatan luar negeri, hamper selalu kita akan memilih yang buatan luar, walaupun harganya jauh lebih mahal. Sudah menjadi prinsip umum bahwa barang buatan Indonesia kualitasnya kalah dengan buatan luar, cepat rusak. 
Yesus, waktu kembali ke kota asalnya, Nazaret, untuk mengajar di bait Allah, mengalami hal yang serupa. Orang-orang lokal tidak percaya dia bisa mengajar dengan baik. Mereka menantangnya untuk membuat mujizat-mujizat seperti yang dilakukannya di tempat lain. Karena ketidak-percayaan mereka itulah Yesus kemudian menjawab dengan menggunakan cerita dari Kitab Suci. Nabi Elia dan Elisa, dua nabi besar bangsa Israel, dikirim Tuhan untuk menyembuhkan orang-orang non-Israel. Bahkan Naaman yang disembuhkan Elisa adalah seorang jendral dari Siria, musuh bangsa Israel. Jelas saja orang-orang yang mendengarkan Yesus marah besar. Mereka merasa Yesus mengabaikan mereka, bahwa Tuhan menjalankan misi keselamatanNya untuk orang lain dan bukan untuk mereka. Lukas seperti mau menyindir para orang Yahudi jamannya yang keras kepala menentang ajaran Kristus sedangkan orang-orang non-Yahudi lebih mudah menerima.
Kita pun pasti kecewa jika kita merasa dilewati dan tidak diperhatikan Tuhan. Apalagi kita yang merasa sudah Katolik taat, mengikuti semua aturan Gereja. Tapi kenapa hal-hal baik atau mujizat terjadinya hanya dalam hidup orang lain? 
Kalau memang anda sudah menjadi anggota Katolik yang baik dan masuk dalam persekutuan Gereja, bersukacitalah. Bukan berarti hidup akan selalu menjadi lebih mudah, tapi anda sudah masuk dalam hubungan yang intim dengan Allah. Tidak perlu merasa cemburu dengan membanding-bandingkan dengan orang lain, seperti si putra sulung yang iri dengan kemurahan ayahnya yang memberikan pesta pada adiknya yang telah kembali setelah hilang beberapa lama. Maukah kita justru ikut bergabung dengan Tuhan untuk menjalankan rencananya di dunia ini: "memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan, dan penglihatan bagi orang-orang buta, membebaskan orang-orang yang tertindas, dan memberitakan tahun rahmat Tuhan telah datang"?

Learn to be Humble

Posted by Romo Valentinus Bayuhadi Ruseno OP on September 1, 2019
Posted in renungan  | Tagged With: ,

Reflection on the 22nd Sunday in the Ordinary Time [C]

September 1, 2019

Luke 14: 1, 7-14

Humility is actually being simple and doing simple, yet it is so simple that many of us find it difficult to be and do.  It seems paradoxical but it is the reality that we experience in our day to day life. It is because we are living in the world that is so proud with itself and it continuously influences us to become proud as well. We can practically be proud of anything. We can be proud of our personality, family and clan, personal achievements, successful careers and status in life. We can be proud of the good things we have done or even the bad things we have committed. Eventually, the awful irony in our life is when we are even proud of our humility.

Pride occupies a prominent place among the seven deadly sins or vices. It seduces people believe that we are self-sufficient and we do not need others and God. We are our own god. The Bible says that the angel of light has fallen from heaven [see Isa 14:12], and according to the Latin tradition, his name is Lucifer, the brightest angel in heaven. He and some other angels revolted against God since they were too proud to serve God that would become man. If lust aligns us with animals, pride makes us coequal with the fallen angels.

To remedy this terrible pride, humility is then chiefly necessary. But, it is simply difficult to become one since it leads us to acknowledge our true nature that we own nothing and everything we have is a gift. Humility is derived from Latin word humus which means soil. Humility brings back us to the ground after the air of pride lifts us our nose up.

Humility is also primarily important since it enables us to listen and through listening we are able to be obedient (Latin word ob-audire means to listen attentively). With pride just around the corner, it is difficult to listen since we start believing that we are the center of the universe and everything else revolves around us. Simon Tugwell, OP writes that humble prayer is just to take a break from our tyrannical and dictatorial self that occupies the center of our life and let God be God. In the same line of thought, Henry Nouwen writes that a sincere prayer is just like opening our tightly closed fist.

St. Augustine believes that humility is one of the most fundamental virtues especially in our relationship with God. He says, “Are you thinking of raising the great fabric of spirituality? Attend first of all to the foundation of humility.” It is because humility is the virtue that facilitates us in listening to God’s words and in following them. In humility, we participate in Mary’s words, “I am the servant of the Lord. Be it done to me according to your word.” And not, “I am the boss here. Be it done to me and to you according to my word.” In humility, we pray in Jesus’ prayer, “Your will be done.” And not, “Your will be changed”.

Valentinus Bayuhadi Ruseno, O.P

Translate »