Header image alt text

indonesian catholic online evangelization

Kepercayaan Itu Hendaknya Menjadi Nyata!

Posted by admin on February 23, 2020
Posted in renungan 

Minggu Bisa VII, 24 Februari 2020

Yakobu 3:13-18; Markus 9:14-29

“Tanyakanlah kepada dirimu sendiri dalam keheningan yang paling hening, dalam refleksi-refleksimu, galilah dalam-dalam dari hatimu untuk menemukan jawaban. Kalau jawabannya ya, maka bangunlah hidupmu sesuai dengan dorongan itu; hidupmu dalam segala seginya dan setiap saat harus menjadi tanda dari dorongan itu  dan kesaksian atas dorongan tersebut.”  

Itulah kata-kata yang saya sampaikan kepada seseorang yang sedang mengalami ‘kelesuan’ dalam hidup panggilannya. Seringkali kita, disadari atau tidak, dalam kehidupan kurang begitu berusaha sungguh-sungguh untuk menjalani apa yang kita percayai, sehingga kepercayaan itu tidak nampak dalam keseharian kita. 

Bacaan pertama, dari Surat Rasul Yakobus, mengajak kita untuk menyatakan perbuatan dengan cara hidup yang baik. Yakobus melihat bahwa kehidupan kekristenan sebagai sesuatu yang utuh dan integratif. Dalam keseluruhan suratnya, Yakobus memnag memegang prinsip bahwa tindakan mencerminkan sikap. Ia mendorong orang bijak untuk menunjukkan dengan perbuatan bahwa mereka telah menerima karunia kebijaksanaan. Di sinilah Yakobus menekankan signifikansi pentingnya hikmat yang dari atas bagi gereja. Bagi Yakobus sangat jelas bahwa semua hikmat yang menghasilkan perpecahan, kekacauan dan berbagai kejahatan merupakan hikmat yang berasal dari dunia dan tidak boleh hadir dalam gereja. Dan, Yakobus menyebut orang yang memiliki hikmat surgawi sebagai pembawa damai.

Saya kira itu pula yang menjadi tekanan pengajaran Yesus dalam injil hari ini. Yesus dengan menjawab keheranan para murid yang tidak bisa mengusir setan dari seorang anak yang sejak masa kecilnya dirasuki setan dengan berkata, “Jenis ini tidak dapat diusir, kecuali dengan berdoa.” mengundang kita untuk makin banyak berdoa dan melakukan yang baik dan benar bagi sesama kita. Doa dan perbuatan kita tidak ditentukan oleh sikap orang lain, melainkan lahir dari hati yang tertuju kepada Allah. Dari tindakan-tindakan luar akan terdeteksi apa yang di dalam, dengan mengetahui apa yang ada di dalam, maka perbuatan yang akan termanifestasi dapat diprediksi.

Semoga kita, sebagaimana dimaksudkan oleh Yesus dan Rasul Yakobus, menjadi orang-orang yang percaya dan melakukan perbuatan yang penuh damai dengan bertindak murah hati dan penuh belaskasih. Tuhan memberkati! 

Love at the Heart

Posted by Romo Valentinus Bayuhadi Ruseno OP on February 23, 2020
Posted in renungan  | Tagged With: ,

Seventh Sunday in Ordinary Time [A]

February 23, 2020

Matthew 5:38-48

At the heart of Jesus’ teaching in the Mount is the formation of the heart. However, the heart in the Bible is not limited to our affective side or emotions. It also stands for the center of intellectual capacity and freedom. The heart is the seat of life itself, and thus, represents who the man or woman is.

Last week, Jesus told us to purify our hearts from evil thoughts and wicked desires [Mat 5:17-37]. It is not enough not to do violence to others, but it is necessary to cleanse our hearts from anger and vengeance. It is not sufficient not to commit adultery, but we are required to remove from our hearts the lustful desires. Forming the hearts is more fundamental rather than simply and blindly following the written laws and regulations. The formation of the heart is about building up good habits, and virtuous character. A virtuous person is avoiding evil, not because of fear of the external laws, but strong motivation from within.

However, in today’s Gospel, Jesus demands even something higher. The purifying of the heart is just the first step, and we need to go to another and more difficult step: to love. It is precisely tougher because love is not merely about removing impure desires in our hearts or preventing us from doing evil, but it is about actively doing good. Moreover, this love [agape] is only real and meaningful if we are doing good, not in the conditions that are favorable to us, but rather in the face of evil and sufferings.

Since its foundation around two millennia ago, Christians remain the most persecuted people. Opendoorusa.org reported that numbers of persecutions and violence against Christians are on the rise. In 2019, more than 260 million Christians [one out of nine Christians in the world] are living in the places where they experience a high level of persecution. Almost 3 thousand Christians were killed because of their faith. More than 9 thousand churches and Christian buildings like schools were attacked. In Nigeria, priests and seminarians were abducted and tortured. Some were lucky to return alive, but many were found lifeless. In China, the government made national crackdown against Christians and shut down the churches. In Indonesia, things are better for Christians because our rights are enshrined in the constitutions. Yet, in the grassroots, we continue to feel discriminated against and fear of being targeted by the extremists and terrorists.

Our destiny as Christians is not better than our brothers and sisters who belonged to the early Church. However, as our brothers and sisters in the past, our mission remains the same: to love our enemies, to respond evil with utter generosity, and be ready to fight for justice with gentleness. Christians are accused of weak people, but this is plain wrong. The world that is built by violence and bitterness is self-destructing, and unless we dare to be true followers of Christ, we cannot stop the downward mobility towards total ruin. We thank our predecessors who refused to be controlled by violent anger despite so much evil they had to endure. The world is a much better place with whose hearts are pure. St. Tertullian believed that the blood of martyrs is the seed of Christianity, and we believe also that the love of Christians is the seed of a better world.

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Gembala kecil yang bijak

Posted by admin on February 21, 2020
Posted in renungan 

Pekan Biasa VI, 22 Februari 2020

Pesta Takhta Santo Petrus

1 Ptr 5:1-4; Mat.16:13-19

Merayakan Pesta Tahta Santo Petrus, sesungguhnya kita diajak secara khusus menghormati Petrus sebagai Gembala Gereja. Kita diajak untuk melihat kualitas-kualitas hidup santo Petrus yang diangkat dan dipilih oleh Yesus sebagai seorang pemimpin diantara para muridnya. Kepribadian yang apa adanya, ceplas ceplos yang kesannya tidak berpikir sebelum melakukan segala sesuatu, tetapi justru terbuka dan berani mengakui kelemahannya, bertobat dan setia inilah yang bisa menjadi contoh yang dapat diikuti. Satu hal yang sangat menyolok dalam kepribadiannya adalah keras dan punya pendirian yang kokoh. Mau memberikan dirinya untuk gurunya dan rela menjadi pahlawan. Akan tetapi disaat yang bersamaan dia juga cepat mencari kenyamanan bahkan sampai berani menyangkal demi dirinya. Relasinya yang intim dengan Yesus menjadi kunci utama bagi Petrus. Hal ini terungkap dalam jawabannya kepada Yesus ketika Yesus bertanya, “Tetapi apa katamu, siapakah aku ini?” Petrus menjawab, “Engkaulah Mesias, Anak Allah yang hidup”. Dengan relasi yang mendalam ini membuat Petrus sungguh mengenal Yesus bukan seperti kata orang lain Melaikna Dia adalah Anak Allah yang hidup.

Dalam pesta hari ini, kita semua diajak melihat Petrus sebagai model gembala yang tidak sempurna tetapi ada keterbukaan untuk berubah dan berani belajar dari kesalahan, mau bertobat dan tidak mau menang sendiri.

Yesus tentu menjadi model utama gembala yang sempurna yang tidak tergantikan oleh siapa pun. Kita semua diajak untuk menyerupai Yesus akan tetapi untuk bisa menjadi sempurn seperti Yesus butuh ketekunan extra. Kalau toh kita dalam skala kecil lewat tugas perutusan belum mampu menjadikan Yesus sebagai model, santo Petrus bisa menjadi model gembala yang boleh kita pelajari. Menjadi seorang gembala atau pemimpin, kita butuh pengorbanan, kesetiaan, berani salah dan ada keterbukaan untuk mau menerima kesalahan dan mau memperbaikinya. Kriteria utama lainnya adalah adanya keintiman relasi dengan Yesus sebagai satu-satunya anak Allah yang hidup. Sebab dari relasi inilah yang membuat kita mempunyai kekuatan spiritual yang nantinya menjadikan daya bagi orang yang kita gembalakan. Akhirnya menjadi gembala yang baik sesungguhnya adalah mengantar orang lain mengalami kedekatan relasi dengan Yesus; memberika daya dan kekuatan bagi orang lain mengenal Yesus dan danjadikan Yesus sumber sejati dalam kehidupannya.

Marilah kita membuka diri kita agar kita boleh menjadi gembala-embala kecil mengantar banyak jiwa ke air yang sejuk dan padang rumput yang hijau. Menjadi gembala kecil mengantar orang pada keselamatan sejati dan menjadikan Yesus sebagai sumber segalanya dalam hidup ini.

Tidak butuh banyak Bacot, Aksi nyata sangat perlu

Posted by admin on February 20, 2020
Posted in renungan 

Pekan Biasa VI, 21 Februari 2020

Yak 2:14-24.26: Mrk 8:34-9:1

Kita selalu dengar istilah “banyak bacotnya” tapi kerjanya tidak ada. Orang suka berteori tapi realisasinya tidak ada. Orang berkhayal tinggi tapi tidak melakukan apa-apa. Kalimat-kalimat tersebut diatas adalah expresi kecewa terhadap orang yang banyak bicara tapi tidak melaukan apa-apa.

Hari ini dalam bacaan pertama, St. Yakobus menggambarkan sesuatu yang lebih dalam pada hakekat iman itu sendiri. Iman yang membuat orang menunjukan kesejatian pribadi dalam relasi dengan Tuhan. Kata Yakobus, “iman tanpa perbuatan adalah mati”. Iman kalau tidak dihidupi secara nyata tidak ada gunanya. Iman harus berbuah, iman harus berkembang, iman harus berefek terhadap orang lain. iman harus menggerakan orang lain untuk beraksi. Apa gunanya orang beriman tapi kelakuan atau tingkahlakunya seperti tidak mengenal Tuhan, apalah artinya?

Yakobus mengajak kita untuk terus bertekun menumbuhkan iman kita lewat perbuatan yang nyata, perbuatan yang kongrit. Iman hanya diakui tanpa dipraktekan adalah iman yang mandul, iman yang tidak berbuah. Perbuatan nyata atas dasar iman sesungguhnya bukti iman yang aktif dan membawa daya yang baik bagi sesama.

Apa yang dikatakan oleh Yakobus senada dengan bacaan injil hari ini. Yesus menantang orang yang mengimani Dia untukselalu memikul salib hidupnya. “Barangsiap mengikuti aku harus menyangkal diri, memikul salibnya dan mengikut Aku. Penyagkalan diri sebagai pengikut Kristus adalah sesuatu yang tidak mudah karena kita seringkali lebih mengutamakan hal-hal yang membuat kita merasa aman kendati harus berkorban. Menyangkal diri atau mengorbankan diri untuk sesuatu yang kita maui, kita pasti bisa. Sebaliknya mengorbankan diri untuk orang lain, orang bisa berpikir seribu kali dan bahkan tidak mau.

Yesus menuntuk sesuatu yang harganya sangat mahal. Harga tidak bisa dibayar dengan harta. Harga yang harus dibayar dengan pengorbanan diri. Beranikah kita untuk menyagkal diri kita dan memanggul salib yesus di jaman kita ini. zaman yang selalu menuntuk kenyamanan diri, semua orientasi hidup adalah demi kebahagiaan saya, mampukah kita keluar dari sekat atau tembok pemikiran ini dan berani berbuat sesuatu yang berbeda dengan arus ini? beranikah kita bersaksi akan sesuatu yang berbeda dengan dunia demi keselamatan abadi kelak?

Tantangan tidak mudah tetapi Tuhan selalu puny acara untuk membantu kita asal kita mau serius untuk mengikuti Dia. Tuhan mau supaya kita menjadi saksi akan semua kebaikan bagi dunia kita ini. Dia butuh perbuatan dan aksi nyata yang real dari kita berdasarkan apa yang kita yakini yang berasal dari Dia semata. Mari kita bertekun. Tuhan berkati

Menjadi Murid pada Sang Guru Sejati

Posted by admin on February 19, 2020
Posted in renungan 

Pekan Biasa VI, 20 Februari 2020

Yak 2:1-9: Mrk 8:27-33

Untuk menjadi murid yang baik, orang tidak hanya terbatas mengetahui apa yang diajarkan oleh gurunya saja, akan tetapi murid harus menyelami siapa sesungguhnya gurunya itu. Dengan menyelami dan memahami siapa gurunya maka murid akan sungguh mengerti apa pun yang diajarkan oleh gurunya. Hal ini bisa kita lihat dengan jelas dalam berbagai perguruan informal yang ada disekitar kita. Sang guru bisa saja menjadi dewa yang paling benar. Murid-murid sungguh menghidupi semangat gurunya dalam setiap tindakan dan perbuatannya.

Hal yang sama kita dengar dalam bacaan injil hari ini. Setelah beberapa lama hidup bersama murid-muridNya, Yesus rupanya penasaran untuk mengetahui sejauh mana para muridNya mengenal Dia. Yesus pertama-tama bertanya kepada murid-muridnya, ”kata orang, siapakah Aku ini? jawab mereka: Yohanes Pembaptis, Elia, dan seorang dari para nabi. Untuk lebih yakin lagi Yesus bertanya kepada mereka, kata kamu, Siapa aku ini? Petrus menjawab, “Engkaulah Mesias!” Jawabannya Petrus menjadi kesaksian bahwa dia betul-betul menyelami dan memahami Yesus dengan baik. Akan tetapi pemahaman Petrus terhadap Yesus terbatas pada pengalaman pribadinya, yang sangat mengharapkan Yesus menjadi sang pembebas sebagaimana yang dipikirkan dan diharapkan oleh orang Israel pada umumnya. Dia rupanya tidak siap untuk menerima realitas Mesias yang dia yakini itu berbeda dengan yang dikehendaki oleh Allah. Hal itu terungkap ketika Yesus menjelaskan bahwa Mesias yang datang itu harus mengalami penderitaan, ditolak, dibunuh oleh ahli-ahli taurat dan imam-imam kepala dan pada hari ketiga bangkit dari alam maut, Petrus mempunyai reaksi yang keras dan menegur Yesus. Dia tidak terima apa yang dikatakan Yesus. Yesus selanjutnya memarahi Petrus dan berkata ”engkau bukan memikirkan yang dipikirkan Allah, melainkan apa yang dipikirkan manusia.

Dalam banyak hal kita bisa berkaca pada Petrus yang selalu mempunyai pemahaman sendiri, pemahaman manusiawi. Kita bisa terjebak membuat kerangkeng untuk Tuhan. Tuhan yang kita pikirkan dan Imani hanya sesuai dengan pemahaman manusia. Ruang dan waktu Tuhan kita yang mengontrol. Sikap seperti ini sering membuat kita tidak terima apa yang terjadi diluar pemahaman iman kita. Yesus dalam bacaan hari mengajak kita untuk mulai terbuka melihat segala sesuatu dari kacamata Tuhan. Untuk bisa melihat segala sesuatu dengan kacamata Tuhan kita harus terus berguru dan berguru dari Yesus sendiri. Masuk dalam misteri kasih ilahiNya dan berani menyelami semangat dan rohNya. Semangat dan rohNya harus menjadi penggerak bagi kita dalam seluruh pewartaan dan kesaksian kita.

Translate »