Header image alt text

indonesian catholic online evangelization

Hati yang berbelaskasih

Posted by admin on February 14, 2020
Posted in renungan 

Sabtu Pekan Biasa V, 15 Februari 2020

Bacaan: 1 Raj. 12:26-32; 13:33-34; Markus 8:1-10

“HatiKu tergerak oleh belas kasihan kepada orang banyak ini.” inilah yang dikatakan oleh Yesus ketika melihat orang banyak yang lapar. Memang kalau ingin mudah, mereka diminta pulang dan mencari makan sendiri. Namun Yesus lebih melihat realita ini dengan memakai hati, sehingga mengalirlkan belas kasih kepada mereka semua. Dengan belas kasih inilah, maka Yesus tidak ingin membiarkan mereka lapar. Oleh sebab itulah Yesus meminta para muridNya untuk mengumpulkan makanan yang ada, seberapapun itu. Dengan 7 roti yang ada dan beberapa ekor ikan, Yesus memberikan semua orang itu makan hingga kenyang dan bahkan masih ada kelebihannya. Hati yang berbelas kasih menjadikan segala sesuatu mungkin, apa yang dipikirkan tidak mungkin, karena hati lebih tajam melihat dari pada pikiran. Belas kasih Yesus terwujud dalam tindakan kasihNya melalui mujijat pergandaaan roti dan ikan.

Namun demikian, Yesus tidak melakukannya hanya sebatas perbuatan yang mengagumkan manusia. Yesus berdoa dan mengucap syukur atas roti dan ikan yang ada itu. Inilah tanda syukur atas semua yang diberikan Tuhan, seberapapun yang ada. Dengan bersyukur itu, maka berlipat gandalah rahmat dan berkat di dalam kehidupan manusia. Inilah yang terjadi dengan peristiwa pergandaan roti dan ikan ini sehingga dapat disantap semua orang yang hadir. Ucapaan syukur ini merupakan sikap dan tanda nyata relasi Yesus dengan BapaNya, yang menunjukkan bahwa semua ini dilakukanNya dalam kesatuanNya dengan BapaNya. Bersyukur menjadi bagian dalam hidup kita yang selalu perlu kita lakukan dan bukannya mengeluh dan menuntut kepada Tuhan. Sungguh melimpah anugerah Tuhan di dalam kehidupan kita dan terus tetap melimpah, apakah kita selalu mensyukurinya?

Tidak jarang kita melihat orang lapar, menderita dan terlantar, baik langsung maupun tidak lansung, reaksi kita sering kali ‘kasihan ya’. Namun kasihan ini tidak selalu disertai dengan tindakan belas kasih, jadi berhenti sebagai ungkapan dan pemikiran dan belum sampai pada tindakan nyata. Jika kita selalu sadar dan bersyukur akan semua yang kita miliki dan kita terima dari Tuhan ini, maka kita pun akan berbagi walau tidak banyak. Saatnya sekarang ini kita perlu membuka hati dan melihat segala sesuatu dengan hati yang terbuka, sehingga mengalirlah belas kasih dan kemurahan dari diri kita yang telah mendapat banyak kelimpahan dari Tuhan. Marilah kita berbagi kasih dan memberikan kepada sesama kita dari yang kita miliki.

Efata – Terbukalah

Posted by admin on February 13, 2020
Posted in renungan 

Jumat Pekan Biasa V, 14 Februari 2020 – Pw. St. Sirilus dan St. Metodius

Bacaan: 1 Raj. 11:29-32; 12:19; Markus 7:31-37

Beberapa orang membawa kepada Yesus seorang yang tuli dan gagap untuk disembuhkan. Sungguh mengagumkan tindakan mereka terhadap sesamanya yang memerlukan bantuan. Mereka peka akan kebutuhan orang lain dan mereka tahu siapa yang dapat melakukannya, maka mereka membawanya kepada Yesus. Usaha mereka ini tidaklah sia-sia karena mereka membawa kepada pribadi yang benar dan usaha itupun berbuah. Tentu saja mereka yang membawanya telah mempunyai pengalaman tersendiri dengan Yesus, baik karena mendengar, melihat atau secara langsung mengalaminya secara pribadi. Kepercayaan dan iman inilah yang mereka bagikan kepada sesama dan saudaranya, sehingga keselamatan inipun dialami oleh banyak orang.

Menarik memperhatikan cara Yesus menyembuhkan orang tuli dan gagap ini. Yesus berhadapan dengannya secara langsung dan secara pribadi serta menyentuh telinga dan lidahnya sehingga sembuhlah dia. Dalam baptisan bayi juga imam akan menyentuh telinga dan bibir anak dengan tanda salib dan mengucapkan perkataan Yesus sendiri, ‘efata’, yakni ‘terbukalah’. Sentuhan itu membuat telinga dan mulut orang itu terbuka sehingga ia bisa mendengar dan berbicara dengan baik. Yesus memberikan kesembuhan dan membuka yang selama ini tertutup supaya orang ini melihat, mendengar dan mewartakan keagungan Tuhan yang dialaminya dan memuliakan Tuhan. Perjumpaan dengan Tuhan selalu membawa perubahan dalam diri manusia yang percaya.

Bagi kita yang sekarang kita dengan mudah mendengar dan berbicara, tentu kejadian ini menyadarkan kita bahwa hal ini hanya mungkin karena Tuhan bekerja atas kita. Mungkin kita berpikir bahwa bisa mendengar dan berbicara itu biasa, sehingga kita jarang bersyukur atas karunia istimewa ini. Tidak perlu menunggu tuli dan gagap untuk bersyukur, maka bersyukurlah senantiasa atas karunia Tuhan ini. Seharusnya pulalah kita menggunakan pendengaran dan lidah kita untuk memuliakan Tuhan, melalui sabdaNya yang kita dengarkan dan kita wartakan di dalam kehidupan harian kita. Mulailah dari sekarang untuk semakin setia mendengarkan suara Tuhan dan mewartakannya, sehingga kita pun semakin mengalami kebahagiaan atas keselamatan yang telah Tuhan anugerahkan kepada kita.

Remah-remah yang jatuh

Posted by admin on February 12, 2020
Posted in renungan 

Kamis Pekan Biasa V, 13 Februari 2020

Bacaan: 1 Raj. 11:4-13; Markus 7:24-30

Perjuangan seorang ibu bagi anaknya yang kerasukan setan yang kita dengarkan dalam Injil pada hari ini, sungguh luar biasa. Ia sadar bahwa ia bukanlah orang Yahudi, melainkan orang asing, karena dia orang Yunani. Dengan keberaniannya ia datang kepada Yesus memohon kesembuhan bagi anaknya. Kedatangan ibu ini kepada Yesus sudah menunjukkan bahwa ia mempunyai kepercayaan kepada Yesus, walaupun ia belum pernah berjumpa dengan Yesus. Meskipun Yesus mengatakan sebuah gambaran yang tajam dan bisa menyakitkan, namun ibu ini dengan tenang menanggapinya. Dalam tanggapannya inilah semakin tampak iman dan pengharapannya, “..anjing yang di bawah meja juga makan remah-remah yang dijatuhkan anak-anak”.

Yesus kagum akan keteguhan dan ketangguhan iman sang ibu serta kecintaannya kepada anaknya. Oleh sebab itulah, berpegang pada iman sang ibu melalui ungkapan kata dan sikapnya, maka anaknya pun terbebas dari kuasa jahat dan sembuh. Tuhan Yesus selalu memperhatikan keyakinan dan iman setiap orang yang datang kepadaNya. Bagi Yesus, iman itulah yang menyelamatkan, karena iman berarti percaya dan berserah diri kepada Tuhan, maka Tuhan menyelamatkannya. Iman itu pula yang tampak dalam sikap dan tindakan nyata mereka yang mengungkapkan imannya, jadi bukan hanya kata-kata belaka.

Sikap sang ibu inilah yang diperlukan pada jaman kita sekarang ini, yakni percaya dan berjuang untuk mendatangi Tuhan yang kita imani. Perjuangan untuk menemui Tuhan inilah yang terkadang menghadapi berbagai tantangan karena berbagai kesulitan atau tawaran lain yang menarik. Berbagai tawaran dunia sekarang ini bisa mengalihkan hati kita dari Tuhan, walau kita mengaku beriman. Janganlah kita sampai terbuai oleh keadaan yang serba modern dan instant sekarang ini. Masih banyak saudara kita yang terus berjuang dalam iman tanpa menyerah di tengah penderitaan mereka.

Najis!

Posted by admin on February 11, 2020
Posted in renungan 

Rabu Pekan Biasa V, 12 Februari 2020

Bacaan: 1 Raj. 10:1-10; Markus 7:14-23

Sering terdengar dalam pembicaraan kita, orang mengucapkan kata ‘najis’, begitu pula yang terjadi dalam kehidupan bangsa Yahudi. Ungkapan ini mau mengatakan sesuatu yang ada di luar diri kita, entah barang, tindakan atau terkadang dituduhkan kepada sesama manusia. Dengan tegas, Yesus membalik pendangan umum ini dengan mengatakan bahwa apa yang keluar dari seseorang, itulah yang menajiskan. Perkataan Yesus ini membawa kita semua kepada sebuah permenungan yang mendalam, bukan mengenai hal lain atau orang lain, melainkan mengenai diri kita sendiri.

Yeus mengingatkan kita semua bahwa bukan yang masuk ke dalam diri kita atau yang di luar kita yang najis atau kotor, namun semua yang tidak baik, yang kita keluarkan dari dalam diri kita untuk sesama kita. Terkadang kita tidak sadar bahwa perkataan dan tindakan kita sungguh melukai dan menyakiti hati sesama kita bahkan kadang juga sampai menghancurkan sesama kita. Itulah yang menjadi tindakan najis, yang bukan hanya kotor namun busuk dan merusak sesama. Yesus dengan tegas mengatakan bahwa perhatian terutama tertuju kepada sesama manusia bukanlah barang atau benda. Semua yang jahat, baik pikiran, perkataan dan tindakan yang kita lakukan kepada sesama kita, itulah yang najis dan menajiskan orang.

Kita semua disadarkan akan siapa diri kita dan bagaimana tindakan dan sikap kita terhadap sesama kita selama ini. Kita mendapat banyak karunia dan rahmat, semuanya itu telah menjadi berkat bagi kita. Oleh sebab itulah kita perlu membagikan berkat itu kepada sesama, bahkan hidup kita pun harus menjadi berkat bagi orang lain. Saatnya kita menjauhkan diri dari semua yang najis dan menajiskan, saatnya kita semakin menguduskan diri kita dan sesama dengan menyalurkan berkat Tuhan melalui pikiran, perkataan dan tindakan kita.

Bibir dan Hati

Posted by admin on February 10, 2020
Posted in renungan 

Selasa Pekan Biasa V, 11 Februari 2020

Bacaan: 1 Raj. 8:22-23,27-30; Markus 7:1-13

“Bangsa ini memuliakan Aku dengan bibirnya, padahal hatinya jauh dari padaKu”, demikian Yesus mengutip perkataan nabi Yesaya kepada bangsa Israel. Hal ini dikatakan Yesus ketika sekelompok orang Farisi mengkritik para muridNya yang tidak membasuh tangan ketika mau makan. Ada banyak aturan lain dari tradisi Yahudi yang mereka lakukan dan terkadang menjadi prioritas di dalam kehidupan mereka. Tentu saja aturan itu baik, namun bukan menjadi dasar untuk menilai atau bahkan menuduh seseorang, apalagi dikaitan dengan hidup di dalam kasih Tuhan.

Oleh sebab itulah tidak cukup yang keluar dari ‘bibir’, yakni yang dikatakan dan diajarkan, namun juga perlu terwujud dengan memakai ‘hati’. Ungkapan ‘bibir’ ini mau mengatakan bahwa relasi dengan Tuhan dan sesama hanya terjadi sebatas pembicaraan dan aturan namun tidak mempunyai ‘hati’ atau jiwanya, sehingga menjadi mati. Maka diperlukan perpaduan antara ‘bibir’ dan ‘hati’, sehingga yang dikatakan dan diajarkan dapat diwujudkan dengan tetap berdasarkan ‘kasih’. Tindakan yang berdasarkan ‘hati’ adalah tindakan yang mengalir dari cinta kasih dan belas kasih, yang melampaui semua peraturan yang dibuat oleh manusia. Kasih adalah perintah Tuhan sendiri dan menjadi aturan utama dan dari sanalah mengalirkan semua atuiran lainnya.

Kita hidup di jaman yang mulai kehilangan ‘hati’, sehingga banyak kejadian yang menjauh dari Tuhan. Aturan dan tradisi, bahkan yang mengatasnamakan agama pun bisa menjadi alasan untuk menyingkirkan sesama. Sungguh menyedihkan melihat dan mengalami berbagai situasi di jaman kita sekarang ini. Larangan untuk beribadah karena agama yang berbeda, mengcela dan menuduh sesama yang justru sedang menderita dan berbagai kejadian lainnya. Saatnya kita kembali ke sumber semua aturan dan tradisi, yakni kasih yang mengalir dari ‘hati’ yang berbelaskasih. Kitalah yang harus memulai bergerak dan bertindak sebagai nabi-nabi cintakasih di jaman ini.

Translate »