Header image alt text

indonesian catholic online evangelization

Roh Kudus dan Kita

Posted by Romo Valentinus Bayuhadi Ruseno OP on May 22, 2021
Posted in renungan  | Tagged With: ,

Minggu Pentekosta [B]

Yohanes 20: 19-23

23 Mei 2021

Pentekosta adalah hari raya Roh Kudus. Kita merayakan turunnya Roh Kudus ke atas Gereja, dan momen ini memulai era Roh Kudus. Dengan bantuan Roh Kudus, para murid perlahan-lahan tumbuh dan secara bertahap berkembang menjadi komunitas terbesar di dunia. Namun, sayangnya, di antara ketiga pribadi ilahi, Roh Kudus sering kali sering dilupakan dan terkadang disalahpahami. Tentunya, refleksi ini tidak akan dan tidak dapat mencakup seluruh pneumatologi [subjek tentang Roh Kudus], tetapi saya mencoba menawarkan secuil refleksi yang diharapkan akan membawa kita pada rasa syukur kepada Roh Kudus.

Pertama, iman kepada Yesus Kristus pada dasarnya adalah karunia Roh Kudus. Santo Paulus mengingatkan kita bahwa tanpa bantuan Roh Kudus, kita tidak akan bisa percaya kepada Yesus sebagai Tuhan dan Allah kita [lihat 1 Kor 12:3]. Untuk percaya akan adanya Allah sebagai pencipta dan mahakuasa mungkin tidak sulit karena pikiran dan logika kita dapat membuktikan  keberadaan Tuhan. Namun, percaya pada Tuhan yang mengambil kodrat manusia di dalam rahim seorang wanita yang sederhana, dan akhirnya menderita di kayu salib adalah di luar nalar manusia biasa. Bahkan Yesus ini tidak berhenti di kayu salib, tetapi Dia bangkit dari kematian, dan memutuskan untuk hadir secara sakramental dan nyata dalam Ekaristi. Allah alam semesta menjadi hosti putih kecil! Tanpa karunia supernatural Roh Kudus ini, secara alami mustahil untuk memiliki iman yang luar biasa ini. Namun, bagi mereka yang memiliki karunia iman, percaya kepada Yesus tampak sealami bernafas.

Kedua, Roh Kudus menghidupkan dan memperkuat Gereja di bumi ini. Seringkali, kita salah mengira bahwa Roh Kudus hanya berfungsi ketika seseorang mulai berbicara dalam bahasa roh. Namun, peran Roh Kudus jauh lebih masif dan mendasar dari itu. Roh Kudus menguatkan kita pada saat masa-masa sulit. Itu sebabnya kita meminta karunia keperkasaan. Roh Kudus menerangi kita ketika kita mengalami kesulitan dalam memahami iman kita dan makna hidup. Itu sebabnya kita meminta karunia pengertian. Ini hanyalah dua dari tujuh karunia Roh Kudus! Jangan lupa juga bahwa Roh Kudus mengilhami para penulis Kitab Suci sehingga tulisan yang mereka hasilkan adalah Firman Tuhan sendiri. Dan, hanya Roh Kudus yang dapat menjadikan sakramen sebagai sarana rahmat Tuhan.

Ketiga, Roh Kudus adalah sumber kekudusan kita. Roh Kudus tidak hanya memungkinkan permulaan dari iman kita, Dia tidak hanya menopang dan memelihara pertumbuhan kita dalam pengharapan, tetapi Dia juga memberi buah-buah rohani. Bagi kita yang bertekun dan mengandalkan Roh Kudus, kita akan menikmati buah Roh Kudus: cinta, sukacita, damai, kesabaran, kebaikan, kemurahan hati, kesetiaan, kelembutan, pengendalian diri [lihat Gal 5:22]. Bahkan, kebahagiaan abadi di surga adalah karunia Roh Kudus. Kita ingat bahwa satu-satunya dosa yang tidak akan diampuni adalah penghujatan terhadap Roh Kudus [lihat Mat 12:30]. Gereja telah mengajar kita bahwa dosa ini adalah kekerasan hati kita untuk bertobat sampai akhir [KGK 1864]. Jika kita dengan tegas menolak pekerjaan Roh Kudus di dalam diri kita, kita menghina Roh Kudus, dan jika sampai nafas terakhir kita, kita menutup hati kita kepada-Nya, maka keselamatan kitapun hilang.

Roh Kudus ada di awal perjalanan iman kita, Dia hadir di sepanjang jalan dan Dia memberikan karunia terakhir keselamatan. Segala hormat dan pujian bagi Roh Kudus!

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

The Holy Spirit and Us

Posted by Romo Valentinus Bayuhadi Ruseno OP on May 22, 2021
Posted in renungan  | Tagged With: , ,

Pentecost Sunday [B]

John 20:19-23

May 23, 2021

Pentecost is the feast of the Holy Spirit. We are celebrating the descent of the Holy Spirit upon the Church, and this event commences the age of the Holy Spirit. With the Holy Spirit’s help, the disciples slowly grew and gradually expanded into the biggest community in the world. However, among the three divine persons, the Holy Spirit is often left behind and sometimes misunderstood. Surely, this reflection does not and cannot cover the entire subject of pneumatology, but it offers us a little piece of information that hopefully will lead us to gratitude.

photo credit: Thai Hamelin

Firstly, Faith in Jesus Christ is fundamentally a gift of the Holy Spirit. St. Paul reminds us that without the help of the Holy Spirit, we will not believe in Jesus as our Lord and God [see 1 Cor 12:]. To believe in a creator and almighty God may not be difficult because our mind can discern His existence. However, believing in God, who took human nature in the womb of a humble woman and eventually suffering death on the cross, is beyond ordinary human reasoning. This Jesus did not stop on the cross, but He rose from the dead and decided to be present sacramentally and really in the Eucharist. The God of the universe has become a small white host! Without this supernatural gift of the Holy Spirit, it is naturally impossible to have this extraordinary faith. Yet, for those who have the gift of faith, believing in Jesus seems as natural as breathing. 

Secondly, the Holy Spirit animates and strengthens the Church here on earth. Often, we mistakenly thought that the Holy Spirit only functioned when someone begins speaking in tongue. Yet, the Holy Spirit’s roles are more much massive and fundamental than that. The Holy Spirit strengthens us in the time of trials. That’s why we ask for the gift of fortitude. The Holy Spirit enlightens us when we have a hard time understanding our faith and the meaning of life. That’s why we ask for the gift of understanding. These are just two of seven gifts of the Holy Spirit! The Holy Spirit inspired the writers of the Sacred Scriptures to produce the Word of God. And, only the Holy Spirit can make the sacraments the means of God’s grace.

Thirdly, the Holy Spirit is the source of our holiness. The Holy Spirit does not only make the beginning of our faith possible; He does not only sustain and nourish our growth in hope, but He also gives spiritual fruits. For us who are persevering and relying on the Holy Spirit, we enjoy the fruit of the Holy Spirit: love, joy, peace, patience, kindness, generosity, faithfulness, gentleness, self-control [see Gal 5:22]. The eternal bliss in heaven is a gift of the Holy Spirit. We recall that the only sin that will not be forgiven is the blasphemy against the Holy Spirit [see Mat 12:30]. The Church has taught us that this sin is the final impenitence [CCC 1864]. If we stubbornly reject the works of the Holy Spirit within us, we throw insult to the Holy Spirit, and if until our dying breath, we close our hearts to Him, then salvation is lost.

The Holy Spirit is at the beginning of our journey of faith, He is present along the way, and He grants the final gift of salvation. Praise be to the Holy Spirit!

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

“Ikutlah Aku”

Posted by admin on May 22, 2021
Posted in renungan 

Kis 28:16-20.30-31; Yoh 21:20-25

Bagian akhir dari Injil Yohanes membawa kita untuk merenung tentang apa yang menjadi tujuan kemuridan kita sambil memandang ke depan dengan mata iman yang tertuju hanya kepada Tuhan.

Petrus bertanya kepada Yesus tentang seperti apa nasib dari murid yang dikasihi Yesus, yakni Yohanes. Yesus kelihatannya tidak memberi jawaban pasti: “Jikalau Aku menghendaki, supaya ia tinggal hidup sampai Aku datang, itu bukan urusanmu.” 

Dengan ini kita bisa belajar beberapa hal: pertama, mengikuti Tuhan adalah pilihan, pertama-tama bukan dari pihak kita, melainkan dari pihak Tuhan sendiri. Kedua, nasib kita ada di tangan Tuhan. Tugas kita adalah mengikuti suara Tuhan, meneladani hidup dan mengikuti jalan yang ditunjukkan-Nya. Hal yang sama berlaku untuk rekan seperjalanan dalam misi. Singkirkan kecemasan yang tidak perlu – bukan urusanmu. Ketiga, kehendak Tuhan menarik kita untuk terus berlangkah maju. Keempat, Tuhan adalah masa depan: “Engkau ikutlah Aku!” Apakah yang dikehendaki Tuhan saat ini, dengarkan dan lakukan.

Kasih yang menuntut pengorbanan

Posted by admin on May 21, 2021
Posted in renungan 

Kis 25:13b-21 Yoh 21:15-19

Hari ini kita membaca dalam Injil kisah percakapan antara Yesus dan Simon Petrus, murid kepercayaan-Nya. Yesus melontarkan pertanyaan yang sama sebanyak tiga kali: “Simon, anak Yohanes, apakah engkau mengasihi aku?” Simon Petrus pun menjawab: “Tuhan, Engkau tahu bahwa aku mengasihi Engkau.”

Mengenal dan mengasihi Tuhan adalah sikap utama kemuridan kita. Di sini ada keterbukaan untuk dipanggil dan dibentuk oleh Guru yang memanggil kita. Untuk masuk ke dalam diri, mengenal batas-batas kemampuan kita, kelemahan, kegagalan, termasuk rasa bersalah dan pertobatan. Di dalam proses pengenalan diri ini, kemuridan kita diasa, dipertajam dan ditantang.

Namun kemuridan kita harus dilandasi oleh kasih. Yesus secara berulang menanyakan apakah Petrus benar-benar mengasihi Gurunya. Pengakuan iman Petrus dan tindakan heroik untuk membela Gurunya di depan umum, kini diuji kembali. Bukan lagi di depan banyak orang, oleh paksaan dan keberanian untuk membela diri agar dilihat dan dikagumi. Kali ini dalam suasana kedekatan, persahabatan dan kebebasan, kebatinannya diuji. Ia ditantang untuk membuktikan kata-katanya. Apakah kasih yang diucapkannya akan terbukti di dalam hidupnya. Sebab kasih yang sejati memiliki konsekuensi yang besar: mengarahkan kita pada pilihan dan komitmen untuk berkorban.

Panggilan Simon Petrus, seperti juga murid-murid Yesus yang lain, adalah juga panggilan kita. Yesus menuntut dari kita bukan apa-apa, melainkan kasih dan pengorbanan kita. Hanya kasih yang dapat membawa kita mengambil bagian di dalam keilahian hidup Yesus. Hanya kasih yang dapat menuntun kita untuk mengasihi satu sama lain. Kesetiaan kita pada iman hanya akan bertahan jika ada keterbukaan kepada Roh kasih dan kesetiaan Allah sendiri: “Peliharalah domba-domba-Ku.” 

Karakter Misioner Paulus

Posted by admin on May 19, 2021
Posted in renungan 

Kis 22:30; 23:6-11 Yoh 17:20-26

Di dalam Kekristenan, iman akan kebangkitan adalah sumber perpecahan bagi orang-orang yang tidak percaya yang mendirikan aliansi dan kekuasaan mereka di atas kekuatan dan keinginan manusia belaka, dan bukan pada iman yang benar, yakni kasih dan kuasa Allah. Hal ini kita lihat di dalam sidang pembelaan Paulus di Roma dalam bacaan pertama. Di hadapan para Sanhedrin, ia berargumen: “Hai saudara-saudaraku, aku adalah orang Farisi, keturunan orang Farisi; aku dihadapkan ke Mahkamah ini, karena aku mengharap akan kebangkitan orang mati.” Karena alasan kebangkitan orang mati, para Farisi dan Saduki yang menduduki formasi peradilan agama Yahudi terpecah belah. Di satu sisi, kaum Saduki tidak percaya akan kebangkitan orang mati, dan di sisi lain, kaum Farisi, yang adalah bekas faksi Paulus sendiri, yakin akan kebangkitan dan bahkan percaya akan adanya malaikat dan roh-roh. Inilah salah satu kekuatan transformasi dari iman akan kebangkitan.

Dengan ini kita dapat belajar beberapa hal dari Paulus: pertama, kebangkitan Kristus adalah fondasi keyakinan Kristen. Semua nubuat nabi-nabi hingga Inkarnasi Yesus dari Nazaret, pengajaran, mukjizat, sengsara dan kematian-Nya di salib, semuanya akan sia-sia tanpa misteri kebangkitan Kristus.

Kedua, argumen kebangkitan merevolusi sistem peradilan kafir dan religious Yahudi-Romawi. Selain para farisi dan Saduki yang mengontrol tata peradilan Yahudi, penguasa kafir Romawi yang diwakili oleh komandan dan para serdadu pengawal Paulus, merasa terancam dengan krisis peradilan yang secara tidak adil dikenakan kepada para mereka yang memiliki iman akan kebangkitan.

Ketiga, kesaksian akan kebenaran iman adalah tugas mulia seorang murid. Bagi Paulus, iman akan Kristus adalah kebenaran utama sebab hanya kebenaran yang membawa orang kepada kemerdekaan sejati. Karena itu, mengajarkan dan menghayatinya dalam kasih dan kesetiaan adalah tugas utama dan pertama seorang misionaris.

Keempat, karakter iman seorang murid. Tradisi kemartiran yakin bahwa kepalanya dipenggal atas perintah Nero sekitar tahun 67. Ia memiliki pengaruh yang kuat dalam Kekristenan, membangun kristologinya sendiri dan konsepnya tentang rasa bersalah dan rahmat memiliki pengaruh luas hingga saat ini. Kepada umat di Korintus, ia menulis tentang siapa dirinya dan dengan jujur mengakui kalau pertobatan dan semua yang dikerjakan adalah karya rahmat Allah semata: “Karena aku adalah yang paling hina dari semua rasul, sebab aku telah menganiaya Jemaat Allah. Tetapi karena kasih karunia Allah aku adalah sebagaimana aku ada sekarang, dan kasih karunia yang dianugerahkan-Nya kepadaku tidak sia-sia. Sebaliknya, aku telah bekerja lebih keras dari pada mereka semua; tetapi bukannya aku, melainkan kasih karunia Allah yang menyertai aku.”

Kelima, menjadi misionaris lintas ras dan budaya. Paulus dikenal sebagai misionaris di dalamnya Injil berjalan, bertumbuh dan berbuah, berakar dan bertahan lama. Kita dipanggil menjadi misionaris berkarakter dengan berakar dalam budaya dan tradisi di mana kita berasal. Namun hanya melalui perjumpaan dengan Kristus dan pertobatan yang benar kita bisa menjadi manusia baru yang hidup oleh kasih karunia Allah. Paulus dikenal sebagai misionaris utama dari ras Yahudi bagi yang bukan ras Yahudi. Seorang misionaris sejati membawa Kristus dan Injil dalam dirinya, melalui tubuh dan darahnya, termasuk rasnya dalam perjumpaan dengan pelbagai budaya dan manusia dari pelbagai ras tanpa harus menjadi rasis terhadap mereka yang tidak satu ras dengannya.

Translate »