Header image alt text

indonesian catholic online evangelization

Apakah Yesus mengajarkan kita untuk menjadi lemah?

Posted by Romo Valentinus Bayuhadi Ruseno OP on February 19, 2023
Posted in renungan  | Tagged With: ,

Minggu ke-7 dalam Waktu Biasa [A]
19 Februari 2023
Matius 5:38-48

Pada hari Minggu ini, kita akan menemukan salah satu ajaran moral Yesus yang paling kontroversial. Karena ajaran ini, kita, umat Kristiani, sering dituduh sebagai orang yang lemah, bodoh, dan tunduk pada hal-hal buruk yang terjadi dalam hidup kita. Namun pada saat yang sama, ketika kita mencoba memperjuangkan keadilan, lawan-lawan kita dengan mudah menggunakan ayat-ayat ini untuk melemahkan kita. Mereka menuduh kita tidak berbelas kasih dan tidak tahu mengampuni. Jadi, bagaimana kita memahami ajaran ini? Apakah ini berarti bahwa seorang istri harus pasrah saja dengan perlakuan kasar suaminya? Apakah itu berarti kita harus menutup mata terhadap kejahatan dan ketidakadilan di sekitar kita?

Yesus membuka pengajaran-Nya dengan mengutip Hukum Taurat Musa, “Mata ganti mata dan gigi ganti gigi (lih. Kel. 21:24).” Bagi telinga orang modern, hukum ini terdengar kejam dan primitif, tetapi tujuan sebenarnya dari hukum ini adalah untuk mencegah pembalasan yang berlebihan. Ketika seseorang mencuri seekor domba, ia harus mengembalikan seekor domba atau hal yang setara. Musuh-musuhnya tidak dapat menuntut seluruh rumahnya sebagai ganti seekor domba. Hukum ini bertujuan untuk menumbukan rasa keadilan, untuk mengekang eskalasi kekerasan yang tidak perlu.

Kemudian, Yesus mengubah hukum Musa ini dengan mengucapkan ajaran baru, “Janganlah kamu melawan orang yang berbuat jahat!” Bagi Yesus, kita harus lebih dari sekadar mencari pembalasan yang setimpal. Namun, apakah itu berarti kita harus menerima semua dengan pasrah dan pasif? Jika kita melihat lebih dalam ke dalam Perjanjian Lama, kita akan menemukan ajaran yang serupa seperti Amsal 24:29, “Janganlah engkau berkata: “Aku akan berbuat kepadanya seperti yang diperbuatnya kepadaku.” (lihat juga Yes 50:6). Dengan demikian, ajaran Yesus untuk tidak membalas kejahatan bukanlah ajaran yang unik bagi Yesus. Jadi, apakah Yesus benar-benar memperbaharui Hukum Taurat Musa?

Ajaran Yesus yang inovatif bukanlah tentang menerima kejahatan secara pasif, melainkan secara aktif menaklukkan kejahatan dengan kebaikan. Kita dapat memahami hal ini jika kita memperhatikan dengan seksama contoh yang Yesus berikan. “Dan kepada orang yang hendak mengadukan engkau karena mengingini bajumu, serahkanlah juga jubahmu (Mat 5:40).” Baju (bahasa Yunani: χιτών, chiton) biasanya merupakan kain sederhana yang dipakai untuk menutupi tubuh, sedangkan jubah (bahasa Yunani: ἱμάτιον, himation) merupakan pakaian yang lebih mahal, dan dikenakan di atas baju. Jadi, Yesus mengatakan bahwa jika seseorang meminta pakaian sederhana kita, jangan hanya memberikan pakaian yang biasa saja, tetapi juga pakaian yang lebih berharga. Tindakan ini pasti akan membingungkan banyak orang, tetapi ini juga menunjukkan ketulusan dan upaya kita untuk mengakhiri permusuhan, serta membuka kemungkinan rekonsiliasi dan bahkan persahabatan.

Tantangan yang sebenarnya adalah bagaimana menerapkan ajaran Yesus dalam kehidupan kita sehari-hari. Saya harus mengakui bahwa tidak ada resep tunggal untuk semua orang. Penerapannya tergantung pada konteks dan kebijaksanaan kita. Salah satu contoh kasus yang baik adalah Santo Yohanes Paulus II dan Ali Agca. Pada tanggal 13 Mei 1981, Ali berusaha membunuh Paus di Lapangan St. Petrus, Roma. Dia menembak beberapa kali dan melukai bapa suci. Namun mukjizat terjadi. Paus lolos dari maut, dan selamat dari upaya jahat tersebut. Ali ditangkap dan dijatuhi hukuman penjara. Apa yang dilakukan Paus Yohanes Paulus II terhadap Ali? Dia memaafkan Ali dan bahkan mengunjunginya di penjara. Tindakan ini cukup berani, karena Ali bisa saja menyerang Paus dan membunuhnya. Namun, pertemuan itu berlangsung dengan baik, dan keduanya berjabat tangan. Ya, Ali diampuni, tapi, apakah itu berarti Ali bisa langsung keluar dari penjara? Tidak sama sekali, Ali tetap menjalani hukuman penjara selama dua puluh tahun, karena itu adalah keadilan, tetapi pada saat yang sama, rekonsiliasi terjadi.

Menjadi pengikut Yesus sungguh sulit karena kita tidak hanya mencari keadilan, tetapi juga harus membawa musuh-musuh kita lebih dekat kepada Yesus. Namun, dengan rahmat Allah, hal ini bisa terjadi.

Roma
Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Winning Your Enemies

Posted by Romo Valentinus Bayuhadi Ruseno OP on February 18, 2023
Posted in renungan  | Tagged With: , ,

7th Sunday in Ordinary Time [A]
February 19, 2023
Matthew 5:38-48

This Sunday, we encounter one of the most controversial of Jesus’ moral teachings. Because of these teachings, we, Christians, are often accused as being weak, stupid, and submissive in face of evil. Yet at the same time, when we try to fight for justice, our opponents readily utilize these verses against us. They accuse us as not being compassionate, loving and forgiving. So, how do we understand this? Does it mean that a wife simply must endure her abuse husband? Does it mean we do close our eyes to evil and injustice around us?
Jesus opens His teaching with quoting the Law of Moses, “An eye for an eye and a tooth for a tooth (see Exo 21:24).” For modern ears, this law sounds cruel and even barbaric, but the real purpose of this law is to prevent excessive retaliation. When someone stole a lamb, he shall return a lamb or its equivalent. His enemies cannot demand his entire house in place of a lamb. The law is to promote sense of justice, to curb unnecessary violence, and escalation.
Then, Jesus transforms this law of Moses by pronouncing a new teaching, “do not resist evil!” For Jesus, we must go beyond seeking an equal retribution. But, does it mean we have to helplessly become a punching bag?
If we look deeper into the Old Testament, we will discover similar teachings like Proverbs 24:29, “Do not say, “I will do to him as he has done to me.” (check also Isa 50:6). Thus, Jesus’ teaching to resist no evil is not unique to Jesus. So, does Jesus truly transform the Law of Moses then?
Jesus’ ground-breaking teaching is not on passively receiving evil, but rather actively conquering evil with goodness. We can understand this if we look carefully Jesus’ examples. “If anyone wants to go to law with you over your tunic, hand him your cloak as well (Mat 5:40).” Tunic (Greek: χιτών, chiton) is usually a simple cloth and worn to cover the body, while clock (Greek: ἱμάτιον, himation) is more expensive garment, and put over the tunic. Thus, Jesus is saying that if someone demands your simple cloth, do not only give the ordinary one, but also the more precious garment. The action will surely puzzle many people, but it also shows our sincerity and effort to end enmity, as well as open the possibility of reconciliation and even friendship.
The real challenge is how to apply Jesus’ teaching in our daily lives. I must admit there is no one-size-fits-all answer. The application depends on your context and our prudence. One good example will be St. John Paul II and Ali Agca. On May 13, 1981, he attempted to assassinate the Pope. He shot several times and wounded the holy man. Miraculously, the Pope escaped death, and survived the evil attempt. Ali was arrested and sentenced to prison. What did Pope John Paul II do to Ali? He forgave Ali and even visited him in prison. The act was daring enough, because Ali might attack the Pope, and kill him for sure. Yet, the meeting was cordial, as both shook hands. Yes, Ali was forgiven, but, does it mean Ali can immediately walk out of prison? Not at all, Ali served his imprisonment for twenty years, because it is justice, but at the same time, the reconciliation takes place.
Being followers of Jesus is truly tough because we do not only look for justice, but also we need to bring our enemies closer to Jesus. Yet, with God’s grace, this is made possible.

Rome
Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

KARENA KASIH SETIA-NYA

Posted by admin on February 17, 2023
Posted in renungan 

Jumat, 17 Februari 2023



Markus 8:34-9:1

Kepada para murid-Nya, Yesus menyapaikan syarat-syarat untuk bisa menjadi murid-Nya yang baik, yaitu ; menyangkal diri, memanggul salib, dan setia mengikuti-Nya. “Lalu Yesus memanggil orang banyak dan murid-murid-Nya dan berkata kepada mereka: “Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya dan mengikut Aku.”(Mrk 8:34). Apa artinya menyangkal diri? Penyangkalan diri diarahkan pada sikap hati yang berani mengosong diri agar Roh Allah sendiri memimpin jalan hidup seseorang.  Ketika seseorang mengosongkan diri maka ia dengan rela melepaskan segala sesuatu yang bertentangan dan menghambat relasinya dengan Tuhan, yaitu kesombongan, dan dosa, sehingga ia menjadi seorang hamba yang tulus dan rendah hati di hadapan Tuhan. “Hendaklah kamu dalam hidupmu bersama, menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam Kristus Yesus,  yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia.”(Filipi 2:5-7).

Kemudian, apa artinya memanggul Salib? Salib bukan sebatas simbol, namun didalamnya terkandung nilai pengorbanan Yesus Kristus karena ketaatan kepada kehendak Bapa dan kasih tanpa batas Tuhan terhadap umat manusia, yang membuahkan pengampunan, perdamaian, dan keselamatan. “…..dan oleh Dialah Ia memperdamaikan segala sesuatu dengan diri-Nya, baik yang ada di bumi, maupun yang ada di sorga, sesudah Ia mengadakan pendamaian oleh darah salib Kristus.”(Kolose 1:20). Dengan demikian memanggul salib berarti siap sedia untuk berkorban demi kebaikan, damai, dan keselamatan sesama.

Lalu bagaimana dengan arti mengikut Kristus? Ketika seseorang telah diampuni dosa-dosanya dan diselamatkan oleh Kristus, maka sebagai ungkapan syukurnya, ia akan dengan setia berjalan bersama dan melakukan kehendak-Nya. Dengan demikian kesetian tersebut merupakah buah dari pengalaman iman dan kasih yang telah diterima dari Allah. Oleh karena itu semakin dalam iman dan semakin kuat pengalaman kasih yang dirasakan seseorang dari Tuhan, semakin dalam dan kuat pula kesetiaannya pada Tuhan. “Aku hendak sujud ke arah bait-Mu yang kudus dan memuji nama-Mu, oleh karena kasih-Mu dan oleh karena setia-Mu;
sebab Kaubuat nama-Mu dan janji-Mu melebihi segala sesuatu.”(Mzm 138:2)

Didik, CM 

HARAPAN BAGI YANG PERCAYA PADA TUHAN

Posted by admin on February 15, 2023
Posted in renungan 

Rabu, 15 Februari 2023



Markus 8:22-26

Pada suatu ketika Yesus menerima dan menyembuhkan orang yang buta. “Kemudian tibalah Yesus dan murid-murid-Nya di Betsaida. Di situ orang membawa kepada Yesus seorang buta dan mereka memohon kepada-Nya, supaya Ia menjamah dia.” Kesembuhan tersebut terjadi karena belas kasih Allah kepada manusia dan iman yang mendorong orang tersebut untuk datang kepada Tuhan Yesus. Oleh karena itu terjadi proses : manusia memohon dan Tuhan menjawab dengan belaskasih-Nya.

Dengan demikian, iman akan Allah yang Maha Baik menumbuhkan harapan kepada manusia. Dalam kondisi paling terpuruk pun, jika manusia memiliki iman, maka ia akan tetap bisa bertahan karena ia melihat dan menemukan harapan di dalam imannya kepada Tuhan Yesus Kristus. “Masih ada harapan untuk hari depanmu, demikianlah firman TUHAN: anak-anak akan kembali ke daerah mereka.”(Yeremia 31:17).

Oleh karena itu, bagi orang yang percaya tidak ada yang mustahil dan karena itu mereka akan tetap memiliki harapan sekalipun menurut pemikiran manusia hal itu tidak mungkin. “Jawab Yesus: “Katamu: jika Engkau dapat? Tidak ada yang mustahil bagi orang yang percaya!” (Mrk 9:23). Dengan demikian harapan muncul bukan dari pemikiran-pemikiran manusia, tetapi harapan lahir dari iman/percaya kepada kekuatan Allah, yang telah mengutus Putera-Nya hadir ke dunia untuk menyelamatkan umat manusia. “….Supaya iman kamu jangan bergantung pada hikmat manusia, tetapi pada kekuatan Allah.”(1 Kor 2:5). Tantangan bagi masing-masing orang adalah beranikah mereka menaruh kepercayaan hanya kepada Tuhan Yesus?
“Ketika Yesus melihat iman mereka, berkatalah Ia kepada orang lumpuh itu: “Percayalah, hai anak-Ku, dosamu sudah diampuni.”(Mat 9:2). 

Didik, CM 

Hukum Allah dan Hati yang Setia

Posted by Romo Valentinus Bayuhadi Ruseno OP on February 12, 2023
Posted in renungan  | Tagged With: ,

Minggu ke-6 dalam Masa Biasa

12 Februari 2023

Matius 5:17-37

Setelah kita mendengar pengajaran Yesus tentang kunci kebahagiaan (Sabda Bahagia) dan identitas kita (sebagai Garam Dunia dan Terang Dunia), kini kita masuk ke dalam inti ajaran moral Yesus. Di sini, Yesus menegaskan bahwa Dia tidak meniadakan ‘Hukum Taurat dan kitab para nabi’ (nama tradisional dari Perjanjian Lama), tetapi menggenapinya. Ajaran-ajaran Yesus tidak bertentangan dengan Perjanjian Lama, tetapi Dia menyempurnakan dan mentransformasikannya. Namun, mengapa Yesus harus menyempurnakannya?

Alasan pertama adalah karena banyak hukum dalam Perjanjian Lama yang diberikan oleh Tuhan untuk membentuk bangsa Israel sebagai bangsa yang kudus. Di sini, kudus berarti  ‘dipisahkan’ untuk Tuhan Allah saja. Bangsa Israel kuno hidup di tengah-tengah bangsa-bangsa lain yang menyembah banyak dewa-dewi, dan hidup dalam perilaku yang tidak bermoral. Tuhan Israel adalah satu-satunya Tuhan yang benar, dan Dia ingin agar bangsa Israel menyembah Dia saja dan hidup sesuai dengan kehendak-Nya. Oleh karena itu, Dia memberikan Sepuluh Perintah Allah. Mereka tidak boleh menyembah dewa-dewi lain (berhala), dan mereka tidak boleh hidup menurut kebiasaan bangsa-bangsa lain, seperti melakukan pembunuhan, perzinaan, pencurian, dan hal-hal jahat lainnya.

Namun, hukum-hukum Tuhan di Perjanjian Lama  tidak hanya mengenai moralitas, tetapi juga berbagai detail dalam kehidupan liturgi (misalnya, Kitab Imamat) dan juga perilaku bermasyarakat (misalnya, Kitab Ulangan). Hukum dan peraturan Allah dalam Perjanjian Lama sangat banyak dan terperinci. Mengapa ada begitu banyak aturan? Bukankah 10 Perintah Allah saja sudah cukup untuk membentuk Israel sebagai bangsanya Allah?

Salah satu alasan mendasarnya adalah ketegaran hati. Pembentukan bangsa Israel sebagai umat Allah terbukti merupakan proses yang sulit. Ketika mereka jatuh ke dalam gaya hidup penyembahan berhala dan kembali berdosa dengan mengikuti jalan bangsa-bangsa lain, Tuhan menempatkan hukum-hukum baru yang lebih ketat. Pada saat yang sama, Allah memberikan kelonggaran-kelonggaran tertentu seperti mengizinkan perceraian (Ul. 24:1-4). Ini juga karena ketegaran hati bangsa Israel.

Yesus paham betul bahwa jika hati kita tidak dibentuk dengan benar, maka banyaknya peraturan akan sia-sia. Oleh karena itu, Yesus berkata, “Karena dari hati timbul segala macam pikiran jahat, pembunuhan, perzinaan, percabulan, pencurian, sumpah palsu, fitnah (Mat. 15:19).” Hukum dan peraturan pada umumnya adalah baik karena memandu kita untuk melakukan sesuatu dengan benar. Hukum dan peraturan juga melindungi kita dari bahaya, serta memberikan kejelasan di tengah-tengah kebingungan. Namun, tidak peduli seberapa baik hukum itu, selama hati manusia keras dan tegar, kita akan selalu menemukan cara untuk membengkokkan hukum.

Jadi, bagaimana kita dapat memiliki hati yang lembut dan mau diperbarui? Faktor pertama dan yang paling penting adalah rahmat Allah. Hanya rahmat-Nya yang dapat membuat hati kita yang keras menjadi hati yang hidup dan baru (lihat Yeh. 36:26). Inilah sebabnya mengapa kehidupan sakramental benar-benar fundamental, terutama melalui partisipasi dalam Ekaristi kudus setiap hari Minggu (bahkan lebih baik lagi, setiap hari) dan pengakuan dosa secara teratur.

Kedua, hati dibentuk oleh keutamaan, dan keutamaan tidak lain adalah kebiasaan yang baik. Memang benar bahwa membentuk kebiasaan yang baik bisa jadi sangat sulit, namun kita selalu dapat memulai dengan langkah yang sederhana namun konsisten. Daripada mengucapkan kata-kata buruk dan kasar saat kita marah, kita bisa berhenti sejenak dan memilih alternatif lain yang lebih baik, seperti mendoakan mereka yang membuat kita marah. Kita juga bisa bereksplorasi dengan kebiasaan-kebiasaan lainnya.

Terakhir, hati kita perlu dibimbing oleh rasionalitas yang benar. Adalah tindakan bijaksana untuk berusaha memahami alasan dan latar belakang di balik hukum-hukum yang kita ikuti. Mengetahui bahwa hukum (terutama Hukum Allah) ada untuk kebaikan kita, membuat kita lebih mudah untuk mengikutinya. Tuhan adalah Bapa yang sempurna dan Dia membuat Hukum-Nya agar putra-putri-Nya mencapai kedewasaan yang sejati.

“Ya Tuhan, ciptakanlah hati yang murni dan setia di dalam diriku!”

Roma

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Translate »