Kamis, 20 Oktober 2016

Inspirasi: Lukas 12:49-53

12:49 “Aku datang untuk menimbulkan kebakaran di bumi ini. Alangkah baiknya kalau apinya sudah menyala! 12:50 Masih ada penderitaan hebat yang harus Aku jalani. Dan hati-Ku gelisah sekali sebelum itu terlaksana. 12:51 Apakah kalian sangka Aku datang untuk membawa perdamaian ke dunia? Tidak, bukan perdamaian, melainkan perlawanan. 12:52 Mulai dari sekarang, keluarga yang terdiri dari lima orang akan bertentangan, tiga lawan dua, atau dua lawan tiga. 12:53 Bapak akan melawan anaknya yang laki-laki dan anak laki-laki akan melawan bapaknya. Ibu melawan anaknya yang perempuan dan anak perempuan melawan ibunya. Ibu mertua akan melawan menantunya yang perempuan dan menantu perempuan akan melawan ibu mertuanya.”

Meditation: Kita tentu tertantang dengan pernyataan Yesus yang penuh kontroversi dalam injil hari ini. Aku datang untuk membawa api dan betapa aku berharap bahwa api itu terus menyala. Apakah kita juga mau menjadi bagian dari api tersebut? Yesus mengejutkan murid-murid-Nya ketika ia menyatakan bahwa dia datang untuk melemparkan api ke dalam dunia dan membawa perpecahan. Api macam apa yang Yesus mau katakan?

Api sering kali dilihat sebagai pralambang kehadiran Allah dalam dunia dan kehidupan umat-Nya. Kita ingat bagaimana Allah mewahyukan diri kepada Musa lewat lidah-lidah api. Tuhan memastikan kehadiran dan perlindungan-Nya yang tak berkesudahan kepada orang Ibrani selama 40 tahun lewat hadirnya tiang api di waktu malam dan tiang awan di waktu siang. Penggambaran api juga digunakan sebagai tanda kemuliaan Allah (Yehezkiel 1: 4, 13) dan pengudusan, perlindungan Allah yang tetap serta pengadilan Allah. Kita perlu pula ingat bahwa api adalah lambang kehadiran Roh Kudus. Yesus membaptis dengan Roh Kudus dan api. Allah dalam perjanjian lama dan perjanjian baru memurnikan dan menyucikan dengan api.

Lalu mengapa api yang membawa pemisahan? Perumpamaan atau tepatnya hiperbola yang Yesus sampaikan dalam injil hari ini menunjukkan pada satu pelajaran hidup yang sangat penting. Yesus menekankan bahwa pesan injil mengandung sebuah konsekuensi yang sangat serius dalam kehidupan kita. Kehidupan orang katolik bukanlah sebuah kehidupan yang suam-suam kuku, yang tak berpendirian, yang hitam-putih alias abu-abu. Menjadi orang Kristen sejati berarti berani mengatakan kebenaran secara jelas dan jujur, tanpa pretensi. Esensi dari kekatolikan kita adalah loyalitas/ kesetiaan kepada Kristus sebagai JALAN, KEBENARAN DAN HIDUP, sebuah kesetiaan yang kadang-kadang harus berseberangan dengan kebanyakan orang, bahkan sering terjadi dengan keluarga sendiri. Risiko dari mengatakan kebenaran itu tidak pernah mudah. Itu bagaikan menyulut api ke dalam satu sistem yang serba mendiamkan kejahatan dan kelatahan. Kalau tidak percaya, coba anda tanyakan kepada Jokowi dan Ahok. Kita dipanggil untuk menjadi api yang memurnikan setiap kebenaran menjadi emas bermutu dan menghanguskan setiap kepalsuan dan kejahatan menjadi arang. Dan itu tidak enteng. Sarat akan risiko. Penuh dengan duri. Tidak pernah mudah menjadi api yang terus bernyala di tengah pelbagai kegelapan dunia, ketika angin bisa menghampiri secara sepoi-sepoi memabukkan atau secara keras dan kasar hendak mematikan nyala tersebut.

Jangan patah arang dan jangan hilang harapan. Tuhan Yesus, api inspirasi kehidupan kita sudah membuka jalan kebenaran bagi kita. Untuk kita, api itu tetap menyala. Mungkin saat ini kita ragu dan gundah. Mungkin saat ini api kita redup dan nyalanya ragu. Jangan berkecil hati. Terus menjadi api kebenaran. Teruslah menyuarakan kebenaran. Kebenaran itu kadang-kadang pahit dan getir namun siapa yang mengabdi pada kebenaran, ia tidak pernah akan menjadi hamba untuk selama-lamanya. Mengabdi kepada Yesus sumber kebenaran sama dengan menjadi pemenang dalam dunia. Amin.