
Mengapa orang baik menderita?
Renungan Jumat Agung
By Antonius Galih Arga pr
Pengajar Kitab Perjanjian Baru – Fakultas Teology, USD
Kalau kita masih suka menulis diary dan refleksi, kita bisa mencermati ulang tulisan kita. Kadang dalam waktu seminggu refleksi, tulisan kita hanya sedikit karena kita tidak menemukan banyak peristiwa yang patut dikenang dan berlalu begitu saja. Peristiwa yang tidak penting akan hilang dan sulit diingat ulang. Namun sering terjadi pula kita mampu menulis sebuah refleksi panjang, detail, dan mendalam dari sebuah peristiwa dalam kurun waktu singkat. Kemampuan menulis detail dan mendalam itu terjadi karena kita memiliki pengalaman yang membekas dalam, formatif dan membentuk kualitas pribadi kita.
Injil Yohanes bab 2-12 adalah rangkuman kisah hidup Yesus selama 2 tahun berkeliling di Galilea dan Yerusalem. Sedangkan bab 13 – 20 , kisah pembasuhan kaki, salib, kematian dan kebangkitan adalah cerita detail satu bagian lengkap yang merangkum hidup Yesus yang berdurasi 4 hari saja. Artinya, kisah sengsara , wafat dan kebangkitanNya adalah rangkuman kisah amat penting dan formatif karena menjadi dasar hidup keberimanan jemaat sehingga perlu ditulis detail dan digarap cermat.
Drama penyeliban Yesus yang dirayakan hari ini punya dimensi teologis dan manusiawi yang kaya. Salah satu aspeknya tersirat dalam kisah para perempuan Yerusalem yang menangisi Yesus di jalan salib. Air mata mereka menyiratkan pertanyaan abadi, “Mengapa orang baik seperti Yesus hidupnya menderita di dunia dengan disalib?” sebuah pertanyaan theodisy, kasus tentang keberadaan Tuhan: “Kalau Tuhan begitu maha kasih dan maha penguasa, mengapa Dia membiarkan orang baik sakit keras dan mati? Mengapa banjir dan bencana menghancurkan kita? Mengapa perang dan pembunuhan terus terjadi? Itulah pertanyaan orang beriman yang ingin memahami arti penderitaan, dan namun sering tak menemukan jawaban yang memuaskan.
Jawabannya tidak melegakan karena cara berfikir manusiawi kita yang linear dan bersifat timbal balik/kausal. Kalau orang berbuat baik, pasti balasannya akan baik pula. Keadaan kita sekarang adalah hasil dari perbuatan sebelumnya. Ketika ada kejadian anomali, tak biasa dan tak bisa dilogika pikiran, kita kehilangan jawaban dan pegangan. Padahal tidak selalu ada keterkaitan antara kebaikan kita masa lalu dan keberadaan kita sekarang ini. Artinya kebaikan atau kejahatan kita dahulu tak selalu berakibat pada keadaan yang kita alami sekarang. Memang manusia bisa menyiapkan dan mengantisipasi masa depan, namun akhirnya orang hanya bisa berpasrah dan menyerahkan pada Tuhan sebagai penyelenggara utama hidup ini.
Julian Norwich seorang mistikus dari Inggris juga bergulat soal teodicy ini. Dalam refleksinya ia bertanya pada Allah “Mengapa Engkau membiarkan hamba-hambaMu yang setia menderita? Mengapa Tuhan membiakan kita berdosa? Mengapa Tuhan tidak menciptakan dunia tanpa dosa sehingga membuat hidup ini bahagia?
Diakhir pergulatannya, Julian tak menemukan jawaban yang pasti. Namun lewat kisah penderitaan Yesus, dia menemukan insight baru bahwa Yesus yang menderita mengajari orang melihat derita dengan kaca mata iman Kristiani. Karena kekuatannya, Tuhan mampu mencipta hal baik dari sesuatu yang jahat dan berdosa yang menguasai manusia. Allah bisa memakai kuasa kejahatan itu untuk mencipta bagi manusia suatu peristiwa rahmat dan kegembiraan. Dia menuliskan, “Dosa, sakit dan derita ada manfaatnya bahkan kita butuhkan agar semua itu membawa kita jauh mendalam untuk mengerti makna hidup dan memahami kebahagiaan.”
Julian tidak menjawab pertanyaannya sendiri, “Mengapa Allah membiarkan kejahatan ada di bumi?” Namun dia menemukan jawaban dari kemahakuasaan Allah yang membiarkan Yesus juga menderita di dunia. Allah yang penuh kasih setia akan mampu membuat tangisan, kejahatan dan derita memiliki makna sehingga manusia bisa sungguh mempercayakan hidup pada Allah secara total.
Ketika orang mengalami peristiwa ambang batas, terminal ilness dan derita yang berkepanjangan, orang dipanggil masuk pada pengalaman eksistensial hidup beriman, “Akhirnya kepada siapakah kita akan menaruh kepercayaan dan masa depan? Saat kita tak mampu menguasai lagi hidup kita, pada siapa kita akan berharap?” Pertanyaan yang sama juga dialami Yesus dalam kisah perjalananNya di salib. Di saat orang-orang yang dikasihi dan dipercaya meninggalkan dan bersembunyi karena takut, Yesus akhirnya menemukan hanya pada Tuhanlah dia berharap. Tak bisa lagi bersandar hidup pada kekuasaan manusia, harta atau relasi manusiawi. Oleh karenannya, kata terakhir dari salib dia berkata, “Ya Bapa, ke dalam tanganMu kuserahkan hidupku!”
Kemarin dalam Kamis Putih, perjalanan kemuridan dalam Injil Yohanes dilakukan lewat pelayanan. Kini mahkota kemuridan itu berpuncak pada pengurbanan. Yesus berkata, “Tak ada kasih yang lebih besar dari pada kasih seorang yang memberikan nyawa untuk sahabat-sahabatnya!” Spiritualitas pelayanan yang total berakhir pada kisah seorang pelayan yang memberikan tidak hanya tenaga dan kemampuannya, tapi hidup seluruhnya sampai mati.
Pengalaman derita, sakit, dan kesengsaraan akan terus ada dalam hidup kita. Kisah sengsara Yesus dalam Jumat Agung mengajak kita memaknai baru arti derita itu. Saat kita mencium salib Yesus, kita berkehendak untuk merengkuh, menerima, dan berusaha memahami dengan iman serta keterbatasan manusiawi kita arti salib kita masing-masing, sembari mempersatukannya dengan salib agung Yesus. Hingga akhirnya nanti diakhir peziarahan kita berani berkata “Ya Tuhan kedalam tanganMu kupasrahkan semua kecemasan, derita, dan kebahagiaan hidup ini. Karena kepadamulah aku percaya.” SCIO CUI CREDIDI! (Aku tahu kepada siapa aku percaya) Amin.