Header image alt text

indonesian catholic online evangelization

Inner Freedom

Posted by admin on April 14, 2015
Posted in renungan 

freedom_fly_wallpaper Bacaan I       : Kisah Para Rasul 4:32-37

Bacaan Injil  : Yohanes 3:7-15

Seorang teman lewat message di Facebook baru-baru ini dengan antusias berbagi sukacitanya atas berita gembira yang menunjukkan salah satu bukti “Francis effect”. Sederhana. Seorang domba yang hilang karena perlakuan tak ramah seorang pengurus Gereja, menemukan kembali kegairahan hidup imannya, menemukan kembali Allah yang berbelas kasih, menemukan kembali indahnya nikmatnya persekutuan dengan Allah dan GerejaNya lewat doa pribadi dan ibadat bersama. “I can’t wait to go church next Sunday. And, yes, I will bow my head and pray for forgiveness, and if I’m worthy, Christ’s love.” Kisah ini menjadi berita di salah satu halaman webite kantor berita ternama CNN, karena dia, Carol Costello, adalah pemenang penghargaan jurnalistik, salah satu jurnalis handal CNN. Beritanya dapat dibaca di link ini:

http://edition.cnn.com/2015/04/10/living/carol-francis-effect/index.html

Sejak awal terpilih menjadi Uskup Roma, pemimpin 1. 2 milyar umat Katolik di dunia, Paus Fransiskus sudah menjadi magnet yang menarik hati bukan saja kawanan dombanya, tetapi juga orang-orang yang berkeyakinan lain termasuk mereka yang tidak peduli atau tidak percaya adanya Tuhan. Tak semua orang senang dan setuju dengan pendapat dan tindakannya, tetapi karismanya membuat banyak Carol-Carol yang lain menemukan kembali keindahan, kebaikan dan kebenaran iman akan Kristus dalam Gereja Katolik. Lewat kerendahan hatinya meminta berkat dan doa sebelum ia sendiri memberikan berkatnya pada khalayak ramai yang menyambutnya, lewat pilihan sarana-sarana fisik dan kebijaksanaan organisasi yang lebih memberi kesaksian akan Kristus yang miskin dan berbela rasa, lewat kata-kata sejuk yang merangkul orang-orang yang selama ini terpinggirkan tersingkirkan, ia menjadi personifikasi Yesus,  menampakkan wajah Gereja yang menjadi “field hospital after battle”.

Dalam refleksi Kardinal Gerald Lacroix, Uskup Agung Quebec City, Kanada, Paus Fransiskus menunjukkan kebebasan batin yang membuatnya selaras dengan Tuhan. Kebebasan sejati yang berakar pada kekariban akan Allah, yang membuatnya bangun dini hari jam 4  dan menenggelamkan diri dalam doa pribadi dalam hening sewaktu dunia masih lelap, sebelum berbagi buah-buah doanya dalam misa harian jam 7 pagi. Kebebasan sejati yang berbuah sukacita mendalam yang menjadi kontras akan kebebasan destruktif yang ditawarkan dunia sekular, menjadi sebuah kotbah hidup atas bacaan Injil hari ini: Kita harus lahir baru dalam Roh, dalam Roh Maha Kudus yang bertiup kemana pun Ia mau, yang membawa kita dan orang-orang yang disentuhNya lewat kita, merasakan tingkap-tingkap surga terbuka, dan memandang dengan air mata haru dan hati baru pada Sang Anak Manusia yang ditinggikan untuk menjadi penawar racun dosa derita, untuk memberi hidup abadi bagi yang percaya padaNya.

Ah, andai semua orang memiliki kebebasan batin yang sedalam itu, yang memancarkan hidup yang dirasuki nilai-nilai ilahi, betapa damai dan penuh sukacita dunia ini. Semoga kesaksian hidupnya mengguncang pula hidup Anda, karena kita sebagai orang yang percaya, semua dipanggil untuk menghidupi semangat yang sama, untuk memberi kesaksian yang sama, untuk membiarkan diri disegarkan lagi dan selalu dengan nafas perdana yang memberi dan menjaga hidup: nafas Roh Kudus, Roh dari Bapa dan Putra. Sembari menunggu saat-saat berahmat bersama memasuki Tahun Kerahiman Ilahi, mari kita runduk dan merasuki lagi saat-saat penuh rahmat waktu kita sungguh merasa dekat lekat denganNya, dalam doa, dalam relasi kasih dengan sesama, dalam keheningan kebeningan diri, saat  Roh Ilahi membersihkan kotoran jiwa dan menyembuhkan segala luka batin. Amin.

Lahir

Posted by admin on April 13, 2015
Posted in renungan  | 2 Comments

Born_Again_by_DodgeNBurn

Bacaan I : Kisah para rasul 4:23-31
Bacaan Injil : Yohanes 3:1-8

Ketika saya belajar Teologi di Melbourne, seorang frater asal Korea yang ahli fotography dan bahasa simbolik, suka menghibur kami yang sedang berjerih payah mengerutkan dahi mengerjakan tugas menulis: “Menyusun karya tulis, kata demi kata, kalimat demi kalimat, paragraph demi paragraph, menumpahkan dan merangkai ide, itu semua seperti proses melahirkan. Menyakitkan, kadang berantakan, kadang lama seperti tak jua menemui ujung, kadang seperti masuk kawasan berkabut penuh misteri, dan kita tak bisa memaksa harus segera selesai. Toh jerih payah itu akan berbuah sukacita juga pada akhirnya saat “bayi” kita lahir, saat kita memegang tulisan rapi di tercetak siap diserahkan pada pengajar.” Langit seketika menjadi cerah, langkah menjadi ringan, dan senyum pun mengembang.

Kita bisa menerapkan metafora ini pada proses kreatif apapun: karya seni, bangunan, karya sosial, proyek ekonomi, program komputer, relasi antar manusia, juga pribadi manusia itu sendiri. Kadang saat kenikmatan keindahan, kebaikan dan kebenaran dihamparkan di depan kita, kita lupa atau tak cukup melihat, penderitaan, kesusahan, “drama” yang mengiringi kelahiran karya menakjubkan itu. Kita sadar, di balik setiap “master piece”, ada begitu banyak hal yang harus dikerjakan dan dibereskan. Dan hal yang membedakan antara “great” dan “excellent” adalah kadar ketekunan mengenali dan menyempurnakan detail, keberanian dan kegigihan mengerjakan lebih dari yang dipersyaratkan.

Kisah hidup orang-orang kudus jika tidak hati-hati membacanya, bisa nampak begitu mudah dan sempurna. Sepertinya jalan kekudusan mereka mudah, kesulitan ditanggung dengan begitu tabah tanpa keraguan sedikitpun, karena mereka dilahirkan untuk menjadi sempurna, dan hidup mereka layak dicontoh sepenuhnya. Menariknya, tak jarang orang menyatakan, tidak mudah hidup bersama orang yang dikenal kudus. Bahkan seorang Romo Yesuit Australia senior yang saya kenal suatu kali berseloroh ,”I am street angel home devil”, yang membuat saudara saya yang lain terperangah, karena dia menyatakan kebenaran tentang dirinya!

Dalam percakapan dengan Nikodemus, Tuhan Yesus membandingkan hidup Kristiani dengan kelahiran bayi. Menjadi komentar yang tepat juga untuk menggarisbawahi bacaan pertama misa harian selama masa Paskah yang menghadirkan Kisah Para Rasul. Rangkaian kisah heroik para pejuang Kristus generasi perdana menunjukkan bahwa pemenuhan panggilan hidup mereka  terjadi, dapat dinikmati dan dirayakan, hanya setelah melampaui pengalaman penderitaan dan kesulitan hidup, yang tidak saja datang dari luar, tetapi juga dari menaklukkan gangguan, godaan, kelemahan dari dalam diri sendiri.

Enak dan lebih mudah tinggal di dalam rahim. Semua tercukupi: keamanan, kenyamanan, kehangatan. Namun hanya jika kita berani berjerih payah membuka diri pada rahmat Kristus, kita akan mengalami “lahir baru”. Hidup dalam Kristus ini awalnya akan rapuh seperti bayi kecil mungil papa, namun perlahan akan bertumbuh menjadi kuat dan akhirnya menjadi rahmat bagi sesama. Semoga kita semua berani lahir kembali, dan terus memilih untuk bertumbuh dalam spiritualitas kita, melampaui pengalaman “born again”.

“Parrhesia”

Posted by admin on April 11, 2015
Posted in renungan 

Kis 4:13-21
Mzm 118
Mark 16:9-15

Pada Sinode Keluarga di Vatikan tahun lalu, Paus Fransiskus menghimbau para uskup untuk berbicara dengan parrhesia dalam berdiskusi tentang masalah-masalah yang dihadapi keluarga-keluarga masa kini. Beliau tidak mau kalau sinode cuma acara formal yang membahas hal-hal yang terlalu dangkal atau netral, asal bapak (Paus) senang. Beliau menginginkan para uskup benar-benar berbicara dari hati mereka dan pengalaman mereka. Kalau tidak setuju, katakan tidak setuju dan bukannya cuma mengangguk-angguk supaya dari luar kelihatannya semua rapi, semua uskup harmonis satu suara.

Dalam bacaan dari Kisah Para Rasul hari ini, di ayat 13 dikatakan bahwa para pemuka agama Yahudi melihat “keberanian” atau boldness Petrus dan Yohanes. Dalam bahasa Yunani aslinya, kata ini adalah parrhesia tadi. Lebih dari berani, parrhesia berarti berbicara dengan keyakinan penuh akan apa yang dikatakan dengan tidak merasa takut akan segala akibat atau konsekuensinya. Seorang ahli filsafat terkenal, Charles Foucault menyatakan:

Parrhesia adalah aktivitas verbal di mana sang pembicara menyatakan hubungan pribadinya dengan kebenaran, dan mempertaruhkan hidupnya karena dia percaya bahwa menyatakan kebenaran adalah sebuah kewajiban untuk membangun orang lain dan dirinya sendiri. Dengan parrhesia, si pembicara menggunakan kebebasannya dan memilih untuk berbicara seadanya daripada mencoba membujuk, memilih kebenaran daripada isu yang tidak benar atau diam saja, mengambil resiko dibunuh daripada hidup yang nyaman, memilih dikritik daripada puji-pujian, dan memilih kewajiban moral daripada kepentingan diri sendiri dan ketidakpedulian akan moralitas.”

Petrus dan Yohanes berbicara memberi kesaksian di hadapan para pemuka agama Yahudi dengan parrhesia karena mereka sudah melihat dan mendengar sendiri semua tentang Yesus. Bagi mereka tidaklah mungkin untuk berdiam diri lagi. Walaupun ada resiko mereka ditangkap dan mungkin dibunuh juga seperti Yesus, mereka tidak takut.

Berbicara tentang hal ini saya jadi ingat Gubernur DKI yang sekarang, Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok. Terlepas dari setuju atau tidak setuju akan kebijakannya, bisa kita katakan bahwa dia berbicara dengan parrhesia, dengan ceplas-ceplos, seadanya, atau bahasa Jawanya tanpa tedeng aling-aling. Caranya berbicara ini menyebabkan dia mempunyai banyak musuh dan kritik, bahkan sampai ancaman pembunuhan. Tapi dia tidak gentar karena dia benar-benar percaya bahwa semuanya untuk Jakarta yang lebih baik. Dia pernah mengatakan bahwa dia siap kalau tidak terpilih lagi sebagai gubernur, dia siap kalau sampai mati sekalipun.

Adakah kita juga dapat menunjukkan parrhesia dalam hidup iman kita, karena kita benar-benar percaya kabar baik itu, bahwa Kristus yang telah sengsara dan bangkit untuk menyelamatkan dunia?

Mengingat Kembali Panggilan Kita

Posted by admin on April 10, 2015
Posted in renungan 

Kis 4:1-12
Mzm 116
Yoh 21:1-14

“Great Catch” by James August Swanson

Sekali lagi Yesus menampakkan diri pada muridNya setelah kebangkitanNya. Jika Maria Magdalena mengenaliNya ketika Ia memanggil namanya, dan kedua murid yang berjalan ke Emmaus mengenaliNya saat Ia memecah roti, kali ini para murid mengenaliNya ketika mereka dapat menangkap ikan sebegitu banyaknya ketika hari sudah mulai terang dan dekat dengan dengan pantai. Mereka teringat bagaimana suatu ketika semalaman penuh mereka tidak mendapat satu ikan pun tetapi kemudian bisa menangkap begitu banyak ikan setelah Yesus menyuruh mereka menebar jala (Luk 5:1-11).

Setelah mujizat yang pertama itulah, yang diceritakan dalam Injil Lukas, Petrus, Yakobus, dan Yohanes memutuskan mengikuti Yesus untuk pertama kalinya. Mereka begitu terkesan dengan Yesus sehingga rela meninggalkan pekerjaan mereka sebagai nelayan dan ikut denganNya.

Dalam peristiwa yang kedua dalam Injil Yohanes, para murid kembali melaut untuk menangkap ikan. Yesus sudah wafat di salib dan meskipun mereka mungkin sudah melihat atau mendengar bahwa Dia telah bangkit, mereka berpikir pekerjaan mereka sebagai murid Yesus sudah selesai. Dia tidak ada lagi di tengah-tengah mereka setiap hari. Karena itu mereka kembali ke pekerjaan lama sebagai nelayan.

Tapi tiba-tiba Yesus datang dan mengingatkan kembali bagaimana mereka pertama kali dipanggil untuk mengikutiNya. Sebegitu besarnya kerinduan Petrus sampai dia tidak peduli lagi dengan ikan-ikan yang ditangkapnya, tidak mau menunggu sampai perahu merapat, tetapi dia langsung terjun dan berenang ke pantai untuk menemui Yesus. Petrus dan murid yang lain hari itu seperti dipanggil kembali oleh Yesus. Misi mereka belum selesai. Justru tanggung jawab mereka akan menjadi lebih besar karena Yesus tidak lagi akan bersama mereka secara jasmani, semua inisiatif harus mereka lakukan sendiri. Setelah inilah para rasul mulai mengabdikan diri mereka untuk menyebarkan kabar baik. Di dalam bacaan dari Kisah Para Rasul dikisahkan bagaimana Petrus dan murid yang lain dengan semangat dan keberanian bersaksi tentang Kristus walaupun diancam oleh pemuka agama Yahudi.

Panggilan Tuhan bukan hanya bagi para imam, bruder, atau suster. Setiap dari kita dipanggil oleh Tuhan untuk menjalankan misi yang unik sesuai talenta kita dalam kesatuan dengan rencana karya penyelamatanNya. Tetapi kadang kita putus asa, patah semangat, atau terbuai dengan hal-hal yang lain seperti kekayaan, status, dan sebagainya. Di saat-saat seperti itulah kita berharap semoga Yesus “menampakkan diriNya” pada kita dan mengingatkan kita kembali bagaimana pertama kali kita dipanggil, bagaimana kita pertama kali benar-benar merasakan sentuhan Tuhan yang sangat dalam sampai kita berani menjawab “Ya” pada panggilanNya. Semoga peringatan itu bisa memperbaharui semangat kita untuk menjalankan panggilan kita.

Nubuat Digenapi

Posted by admin on April 9, 2015
Posted in renungan 

Kis 3:11-26
Mzm 8
Luk 24:35-48

Kadang saya juga bertanya-tanya, kalau Yesus sudah bangkit dan bisa pergi ke mana pun juga, bahkan masuk ke dalam ruangan yang terkunci sekalipun, mengapa dia masih bisa merasa lapar? Tapi ada harapan juga dari cerita Injil hari ini, bahwa nampaknya makanan kesukaannya adalah ikan panggang. Siapa tahu kalau dia datang lagi dia akan menyempatkan ke Indonsia untuk mencoba pepes ikan kita yang terkenal. Apalagi sekarang Menteri Susi sedang gencar-gencarnya mempromosikan perikanan Indonesia.

Mungkin ini cara Yesus meyakinkan murid-muridnya bahwa Ia sungguh bangkit. Dia juga meminta mereka menyentuhnya dan melihat tangan dan kakinya. Ketika mereka sudah tidak shock dan benar-benar yakin bahwa itu Yesus, barulah Yesus menyampaikan pesannya, salah satu pesan terakhir sebelum dia meninggalkan mereka dan naik ke surga. Dia menjelaskan bahwa hidup, wafat, dan kebangkitannya adalah untuk menggenapi hukum Musa, nubuat para nabi, dan Mazmur.

Hendaknya kita tidak lupa bahwa para nabi bukanlah tukang ramal yang tahu akan kejadian-kejadian di masa depan. Peran mereka adalah mewartakan pesan dari Tuhan. Pesan ini biasanya mengingatkan Israel dan semua bangsa bahwa mereka harus merubah cara hidup mereka untuk memperbaiki hubungan mereka dengan Tuhan dan sesama. Konsekuensinya, jika mereka tetap keras hati, mereka akan celaka. Tetapi jika mereka mau berbalik kepada Tuhan, Tuhan akan selalu menanti dengan sabar karena kasih setianya.

Dengan menggenapi nubuat para nabi, Yesus benar-benar menjalankan rencana BapaNya. Dan inilah pesanNya pada para murid, termasuk kita semua:

“Kamulah yang mewarisi nubuat-nubuat itu dan mendapat bagian dalam perjanjian yang telah diadakan Allah dengan nenek moyang kita, ketika Ia berfirman kepada Abraham: Oleh keturunanmu semua bangsa di muka bumi akan diberkati. Dan bagi kamulah pertama-tama Allah membangkitkan Hamba-Nya dan mengutus-Nya kepada kamu, supaya Ia memberkati kamu dengan memimpin kamu masing-masing kembali dari segala kejahatanmu.”

Yesus telah diutus Bapa untuk memberkati kita dan menguatkan kita untuk berbalik dari segala hal yang membuat kita jauh dari Allah. Sekarang kita mewarisi nubuat-nubuat itu, yaitu untuk memberkati semua bangsa di muka bumi. Ini saatnya kita menggenapi nubuat itu, menjalankan rencana Tuhan supaya bukan celaka dan kutukan yang menimpa dunia, tetapi berkat Tuhan yang kasihNya tak terbatas dan terbuka pada semua yang percaya padanya. Baiklah kita ingat bagaimana Nabi Mikha sendiri merangkum kehendak Tuhan bagi kita:
“Berlaku adil, mencintai kesetiaan, dan hidup dengan rendah hati di hadapan Allahmu.” (Mikha 6:8)

Translate »