Header image alt text

indonesian catholic online evangelization

Injil perdamaian

Posted by admin on October 27, 2016
Posted in renungan 

Injil perdamaian 
Ef 6:10-20
Dalam bacaan pertama hari ini Santu Paulus memakai bahasa-bahasa dalam dunia militer saat perang untuk menguatkan iman umat di Efesus. Akan tetapi kita harus memeriksa secara lebih mendalam apa yang sesungguhnya ia bicarakan.
Paulus sama sekali berbicara bukan tentang perang dalam arti militer. Ada yang jauh lebih jahat di balik perang dan kekerasan fisik yakni Evil! Maka untuk melawan setiap bentuk kejahatan dibutuhkan kecermatan dan kekuatan spiritual yang handal dan bukan sekadar tampilan fisik berupa seragam militer.
Hanya dengan kuasa Roh orang Kristen mampu memindai dengan cermat taktik dan setiap bentuk kejahatan di dunia dan mengatasinya dengan Injil perdamaian.
Senjata fisik tidak ada gunanya sama sekali kalau tidak tak ada kekuatan di baliknya yang menggerakkan sarana itu untuk menghancurkan. Di sini Paulus berbicara tentang kuasa-kuasa jahat yang tak kelihatan, roh-roh jahat yang bergentayangan di atas langit, yang setiap saat bisa hinggap dan menguasai  manusia dengan pikiran-pikiran jahat, lalu memperalatnya untuk merusak dan menghancurkan dirinya sendiri dan sesama. Kaum agamawan banyak kali tak luput dari kekerasan berseragam religius.
Bagi Paulus iman adalah kekuatan spiritual yang memampukan orang Kristen untuk bertahan dalam menghadapi setiap godaan dari yang jahat. Pertama-tama godaan dalam diri harus dikalahkan karena ia lebih berbahaya dari taktik dan kelicikan-kelicikan eksternal  di luar diri manusia. Sabda Allah adalah kuasa Ilahi yang mampu menyelidiki seluk-beluk hati manusia, menerangi dan menuntunnya kepada keselamatan, yakni Allah sendiri.
Paulus juga berbicara tentang kuasa doa: berdoalah selalu setiap ada kesempatan dalam Roh Kudus. Dalam doa kita disatukan oleh dan dalam Roh Kristus yang memberi nafas dan hidup baru bagi kita. Dalam doa kita dimampukan untuk berjalan dalam terang kebangkitan Kristus agar dapat bekerja dan hidup dalam kasih dan kebenaran Kristus itu sendiri. Doa setiap orang Kristen adalah untuk kebaikan dan keselamatan semua orang karena Kristus wafat dan bangkit untuk semua orang. Yakin akan iman seperti ini maka perang dan kekerasan apapun bentuknya adalah pelecehan, penolakan terbuka terhadap kabar keselamatan, yakni Injil perdamaian itu sendiri.

Berapa banyak orang yang akan selamat?

Posted by admin on October 26, 2016
Posted in renungan 

Berapa banyak orang yang akan selamat?
Luk 13:22-30
Seorang pendosa berdiri di depan Allah mendengar dosa-dosanya dibacakan kepadanya seperti tertulis dalam Buku Kehidupan Sang Manusia. Setiap kali selesai dibacakan dosa-dosanya ia selalu mengakui apa yang telah diperbuatnya. Akhirnya hukuman dijatuhkan. Allah mengirimnya ke neraka. Si terdakwa menolak dengan keras     dakwaan itu. Alasannya bahwa dakwaan itu bukannya tidak adil baginya akan tetapi karena ia sendiri sudah tinggal di sana. Mendengar itu, Allah memutuskan untuk mengirimnya ke surga. Sekali lagi dengan keras ia menolak. “Karena tidak pernah,” jawabnya, “di manapun tempatnya, aku dapat  membayangkan seperti apa surga itu!” (Oscar Wilde, “La casa del juicio” dalam Cuentos De Oscar Wilde, 2014, pp. 175-177).
Menurut Oscar Wild, “bingung dengan jawaban manusia, Allah harus diam.”
Dalam Injil hari ini ada percakapan antara Yesus dengan seseorang dari kalangan Yahudi yang bertanya kepada-Nya: “Tuhan, sedikit sajakah orang yang akan selamat?”
Yesus menjawab dengan berkata: “Berjuanglah untuk masuk melalui pintu yang sesak itu! Sebab Aku berkata kepadamu: Banyak orang akan berusaha untuk masuk, tetapi tidak akan dapat.”
Yesus sendiri telah berkata: “Akulah pintu itu” (John 10:9). “Barangsiapa masuk melalui-Nya akan selamat.”
Pintu sempit menuju keselamatan karena kita harus menyangkal diri, memikul salib dan mengikuti Yesus. Di sini Yesus menyentuh inti dari kecenderungan fundamental manusia yang lebih mudah baginya untuk menjadi selfish, ingat diri ketimbang ingat orang lain, lebih gampang baginya untuk menolak ketimbang menerima dan mencintai sesamanya, self denial. Adalah mudah untuk berbicara tentang kasih, belas kasih dan bermurah hati akan tetapi sulit untuk melakukannya dalam hidup nyata.
Gate of mercy, cross of mercy, year of mercy adalah simbol-simbol spiritual yang berbicara tentang Tahun Kerahiman Gereja akhir-akhir ini. Paus Fransiskus telah membukanya dan memberi kesempatan bagi umat Katolik untuk merayakannya dengan iman dan perbuatan-perbuatan kasih, melakukan, meniru contoh perbuatan-perbuatan karitatif Injili seperti terungkap dalam Mat 25: “Sebab ketika aku lapar engkau memberi aku makan, ketika aku haus kamu memberi aku minum ….”
Manusia memiliki kehendak untuk memilih dan bebas untuk memiliki apa yang dikehendaki olehnya. Akan tetapi Injil mengingatkan kita bahwa apapun dan bagaimanapun kebebasan manusia, keselamatan, kebebasan Kristiani yang sesungguhnya harus dilandasi oleh semangat Injil, yakni suatu usaha dan perjuangan terus-menerus untuk bisa sampai kepada keselamatan itu sendiri. Allah tetap hadir dan peduli dengan manusia. Allah sudah dan akan selalu hadir di manapun tempat manusia itu ada. Allah tak bisa dibuat bingung dengan imajinasi manusia. Allah juga tidak memberi jaminan khusus bahwa keselamatan itu milik sejumlah kecil orang dari ras atau agama tertentu. Keselamatan kekal adalah hasil suatu pergumulan manusia beriman yang berusaha untuk masuk melalui “pintu yang sempit,” pintu iman, pintu pengorbanan diri dan pelayanan tanpa pamrih seperti Yesus, Sang Penyelamat, Mesias itu sendiri.
Semoga!

Dari awal yang sederhana menuju hasil yang melimpah-limpah

Posted by admin on October 24, 2016
Posted in renungan 

Dari awal yang sederhana menuju hasil yang melimpah-limpah

 Luk 13:18-21
Ajaran Yesus tentang kerajaan Allah tergambar dalam bacaan Injil hari ini melalui perumpamaan tentang biji sesawi dan ragi.
Kerajaan Allah seumpama biji sesawi, benih yang amat kecil. Benih ini diambil orang ditabur di kebun dan bertumbuh menjadi pohon yang besar dan burung-burung bersarang pada cabang-cabangnya.
Di sini Yesus membuka, merevelasikan bahwa kerajaan Allah bertumbuh di dalam hati manusia dengan kekuatan Roh Allah sendiri. Jika kita menerima-Nya, menerima Yesus dengan iman, maka Yesus akan masuk dan merubah, menyucikan hati kita sehingga kita bertumbuh dan berkembang, tinggal dalam kebenaran. Seperti biji sesawi, proses ini berawal dari kesederhanaan tapi bertumbuh terus-menerus menjadi besar, bahkan membawa hasil yang melimpah. Ia berlangsung perlahan-lahan, tidak nampak tetapi pertumbuhannya stabil dengan kekuatan dari dalam dirinya sendiri.
Proses yang sama seperti ini terlihat juga dalam perumpamaan Yesus tentang seorang perempuan yang mencampurkan ragi ke dalam tepung terigu. Ragi ini sedikit saja tetapi menyebar ke seluruh adonan itu sehingga terbentuklah roti yang baik.
Demikian juga dengan Gereja Allah. Awalnya Gereja bertumbuh melalui dan di dalam diri Yesus Kristus bersama murid-murid yang dipilih-Nya. Yesus wafat di kayu salib tapi dibangkitkan dari mati. Ia hidup lagi. Gereja kini telah dan terus berkembang ke seluruh dunia sebagai tanda dan sarana keselamatan Allah sendiri. Gereja adalah sakramen! Roh Allah sendiri bekerja melalui sarana-sarana yang dipilihnya sendiri; orang-orang yang sederhana, tak diperhitungkan tetapi percaya dan mengikuti Yesus – seperti bejana tanah liat yang mudah pecah – tapi Allah memperhitungkan mereka bagi karya keselamatan-Nya.
Doa:
Semoga hati kita selalu terbuka dan siap sedia untuk menerima warta Yesus tentang kerajaan Allah. Semoga doa-doa dan karya-karya kita sekecil dan sesederhana apapun selalu diinspirasi dan diberkati oleh Roh Allah sendiri agar terus bertumbuh, menghasilkan buah-buah rohani demi perkembangan kemuliaan kerajaan Allah, kini dan sepanjang masa. Amen!

Hai ibu, penyakitmu sudah sembuh

Posted by admin on October 24, 2016
Posted in renungan 

“Hai ibu, penyakitmu sudah sembuh”
Luk 13:10-17
Injil hari ini berkisah tentang Yesus yang menyembuhkan seorang perempuan yang sakit. Jenis penyakit yang diderita adalah penyakit punggung, tulang belakang yang mengakibatkan tidak bisa berdiri tegak. Namun keyakinan orang-orang saat itu bahwa ia dirasuki roh jahat yang terus menghisap tenaganya keluar dan melemahkan tubuhnya.
Kalau kita keluar dari rumah tempat kita tinggal ke tempat kerja, ke sekolah, pergi shopping, dll, banyak kali kita temukan orang cacat dipinggir-pinggir jalan, di lampu merah, di depan toko, tempat-tempat ziarah, bahkan di depan gereja, dsb. Tidak jarang ada yang mengemis minta tolong. Ada orang yang ketika melihat orang-orang seperti ini langsung muncul rasa iba, belas kasih dan memberi sesuatu. Menolong mereka.
Akan tetapi, ada juga sikap sebaliknya seperti tidak mau melihat ke arah pengemis di pinggir jalan. Jalan lewat saja tanpa toleh. Mata lihat ke atas atau tempat lain. Bahkan, mungkin ada yang marah kenapa ada saja orang-orang seperti ini…
Tetapi cobalah kita mengambil waktu sejenak dan memikirkan orang-orang susah. Bawalah orang-orang ini juga sebagai bagian dari hidup kita. Dan cobalah menoreh, masuk lebih jauh ke dalam diri kita sendiri. Mungkin ada keluarga, orang tua, saudara-saudari kita sendiri. Bahkan anak-anak, suami, atau isteri. Teman-teman kita sendiri…. siapa saja yang saat ini paling dekat dengan kita. Apa yang ditemukan?
Dalam hidup ini ada banyak persoalan atau beban yang kita pikul. Ada kecemasan dan kekecewaan dalam hidup. Kalau kita periksa dan merenung kita akan menemukan bahwa ada begitu banyak rahasia yang tak terkatakan, dalam hidup. Bahkan ada yang tersembunyi di lapisan kesadaran yang sulit dijangkau, tapi justru di situlah tempat beban itu. Ada luka, ada rasa sedih, ada rasa bersalah dan marah yang membuat kita ingin menyendiri. Dan sering ketakutan muncul karena sakit dan luka,  tertekan dalam jiwa, tidak ingin dibuka, disembuhkan.
Beban-beban ini membuat orang tidak mampu berdiri tegak, menguras pikiran dan tenaga dan membuat jiwa kita menjadi layu.
Peristiwa penyembuhan perempuan yang sakit terjadi saat Yesus sedang mengajar banyak orang. Yesus menyapa jiwa-jiwa yang mendengarkan sabda-Nya di dalam rumah ibadat. Di antara mereka ada seorang perempuan yang paling terbebani. Tidak seperti banyak orang lain, ia hanya bisa membungkuk. Perempuan itu bahkan tidak mengatakan apa-apa kepada Yesus untuk disembuhkan. Tetapi Yesus melihatnya dan merasa iba  dengan kondisi seperti itu. “Hai ibu, penyakitmu sudah sembuh!” Kata-kata Yesus mempunyai kekuatan yang luar biasa, menyembuhkannya dari beban hidup yang begitu berat. Kata-kata penuh kekuatan seperti ini pula yang memanggil Lazarus keluar dari dalam kubur.
Barang kali kita tidak menderita penyakit yang sama persis seperti perempuan dalam kisah Injil hari ini. Mungkin ada pikiran-pikiran negatif dalam diri yang tidak ingin dilepaskan sehingga terus mengurung kita. Seperti rasa dendam dan sakit hati karena pernah dikecewakan seseorang dan sulit dilupakan hingga saat ini. Tapi juga mungkin ada dosa berat yang mungkin belum dilepaskan, diakui.
Kita juga bisa menderita kebutaan spiritual seperti reaksi sangat negatif dari pegawai rumah ibadat. Yesus marah dan melawan dengan keras sikap hipokrit ini. Sikap ini adalah refleksi dari kekerasan hati: bukan taat kepada Allah melainkan terhadap hukum yang kaku dan abstrak.
Banyak kali orang jatuh dalam dosa ketaatan yang salah seperti ini. Ada orang yang percaya lurus-lurus saja apa yang tertulis dalam kitab suci tanpa melakukan studi mendalam untuk mengambil hikmahnya bagi hidup manusia. Anehnya, kebutaan spiritual seperti ini mudah menjangkiti mereka yang menganggap diri religius, pembela agama, pengurus rumah ibadat,  … taat tanpa sikap kritis sehingga jatuh dalam rutinitas rohani sehari-hari, beragama tapi tanpa Allah!
Di sini agama tidak mampu membawa daya pembebasan bagi kita untuk melihat dan merasakan kedekatan Allah yang bekerja dalam hidup kita dan hidup sesama. Seperti tidak ingin melihat orang lain disembuhkan, menjadi sehat dan normal kembali, sukses dan bahagia seperti layaknya seorang manusia, ciptaan Tuhan.
Dalam bahasa Indonesia kata hipokrit (dari kata Yunani “hupokrinesthai”) biasa diterjemahkan sebagai sikap munafik, bermuka dua karena hukum dimanipulasi, dipermainkan. Bukankah hukum bertujuan untuk mengabdi dan memuliakan Allah, dipakai untuk kebaikan manusia dan seluruh ciptaan?
Hari ini Yesus memanggil kita untuk mendekat. Tangan Yesus ingin merangkul kita. Kata-kata Yesus ingin membebaskan kita dari sel-sel ketakutan dan dosa yang membuat kita merasa merana, sendirian dan tak berdaya. Yesus juga mau membebaskan kita dari sikap-sikap keagamaan yang kelihatan saleh tapi palsu, sering mengecewakan dan tidak menyelamatkan.
Yesus ingin menyembuhkan kita asalkan kita punya iman dan terbuka untuk disembuhkan. Dalam iman kita bersatu dengan Kristus lewat sakramen Ekaristi. Dengan makan dan minum dari meja Ekaristi yang satu dan sama kita dikuatkan untuk bersaksi tentang Tuhan yang bangkit. Dalam Ekaristi iman kita dibarui, kehendak hati dan budi kita disucikan, jiwa dan badan kita dikuatkan agar kita makin semangat dan bahagia dalam membagikan warta kasih keselamatan Yesus, Tuhan kita.
Bersediakah kita untuk menjadi alat keselamatan Yesus? Bersediakah kita agar menjadi perpanjangan tangan-Nya yang mulia dan kudus untuk membawa berkat-Nya bagi yang sakit dan butuh penyembuhan? Maukah kita melepaskan hukum-hukum yang masih kita genggam dan tidak mau kita lepaskan agar kekuatan kasih dan penyembuhan Yesus boleh bekerja dan menyelamatkan kita?
Semoga!

Our Prayer, True Prayer?

Posted by Romo Valentinus Bayuhadi Ruseno OP on October 22, 2016
Posted in renungan 

 
 
30th Sunday in the Ordinary Time
October 23, 2016
Luke 18:9-14
 
The Pharisee took up his position and spoke this prayer to himself, ‘O God, I thank you…” (Luk 18:11)
 
Last Sunday, Jesus reminded us to pray without getting weary. But, in today’s Gospel, Jesus tells us that there is something more than perseverance in prayer. It has something to do with the way we pray. Not only quantity of prayer, but also the quality of prayer. Yet, how do we know that we have a quality prayer?
Once I stumbled upon a Facebook post, and it said, “Pray not because you need something, but because you got a lot to thank God for.” True enough, everything I have is God’s gift. I am nothing without Him, and it is fitting to thank Him. In fact, the highest form of worship in the Church is the Eucharist. The word Eucharist simply means thanksgiving. I liked the post right away. However, when I read the parable in today’s Gospel, I realized that even the Pharisee did a thanksgiving prayer. In fact, in original Greek, when the Pharisee thanked God, he used the word ‘eucharisto’, the root word of the Eucharist. On the other hand, the tax collector was justified because he was asking mercy and forgiveness. Does it mean prayer of supplication and begging for mercy is better and more effective than the prayer of thanksgiving and other kinds of prayer?
Yet, if we read closely, there are some interesting details in the Parable. The first is that the Pharisee expressed his self-righteousness, paraded his good works, and felt better from the rest of humanity, especially the tax collector. Meanwhile the tax collector did nothing but humble himself, acknowledging that he was a sinner and in need of God’s mercy. Thus, prayer needs a right disposition. Humility is the foundation of prayer. Indeed, repentant David himself said, “My sacrifice, God, is a broken spirit; God, do not spurn a broken, humbled heart. (Psa 51:17)”
 The second detail that we often miss is that the Pharisee was actually praying to himself, not to God (see closely verse 11). True that he mentioned God, but he was talking to himself. He offered prayer to himself not to God. If then prayer is our communication with God, the Pharisee nullified the very meaning of prayer. Perhaps, by mentioning God, he wanted God to be his audience and to listen to the litany of his successes, not really to build a relationship. Certainly, it felt good and edifying, but this was not prayer. What the Pharisee did was not a prayer at all, but a self-praise and self-service.
We may hear the Holy Eucharist every day, recite the Liturgy of the Hours faithfully, and pray the rosary. We may also join the Charismatic prayer meetings or the praise and worship. We may also attend the Latin Traditional Mass, or just simply spend silent prayer or meditation. Yet, from the parable, we may ask ourselves, whether our prayers are a true prayer? Do we pray because we feel great about it? Do we pray because we are proud of our achievements? Do we pray because we are more pious than others? Does our pray make us closer to God or just to ourselves? Is humility the foundation of our prayer? Our prayer should be a quantity and quality prayer. We pray with perseverance and proper disposition. But more than these, our prayer should be a true prayer.
 
Br. Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP
Translate »