Header image alt text

indonesian catholic online evangelization

Inspirasi Lukas 12: 13-21

Posted by admin on October 16, 2016
Posted in renungan 

Senin, 17 Oktober 2016

Inspirasi Lukas 12: 13-21

12:13 Seorang di antara orang banyak berkata kepada Yesus, “Bapak Guru, cobalah Bapak menyuruh saudara saya memberikan kepada saya sebagian dari harta peninggalan ayah kami.” 12:14 Yesus menjawab, “Saudara, siapakah mengangkat Aku menjadi hakim atau pembagi warisan antara kalian berdua?” 12:15 Kemudian kepada semua orang yang ada di situ Yesus berkata, “Hati-hatilah dan waspadalah, jangan sampai kalian serakah. Sebab hidup manusia tidak tergantung dari kekayaannya, walaupun hartanya berlimpah-limpah.” 12:16 Lalu Yesus menceritakan perumpamaan ini, “Adalah seorang kaya. Ia mempunyai tanah yang memberi banyak hasil. 12:17 Orang kaya itu mulai berpikir dalam hatinya, ‘Sudah tidak ada tempat lagi untuk menyimpan hasil tanahku. Apa akalku sekarang?’ 12:18 Kemudian ia berpikir lagi dan berkata kepada dirinya sendiri, ‘Nah, aku ada akal; gudang-gudangku akan kusuruh rombak lalu kubangun yang lebih besar. Di situlah akan kusimpan semua gandumku serta barang-barangku yang lain. 12:19 Kemudian akan kukatakan kepada diriku sendiri: Engkau beruntung! Segala yang baik sudah kaumiliki dan tidak akan habis selama bertahun-tahun. Istirahatlah sekarang! Makan minumlah dan nikmatilah hidupmu!’ 12:20 Tetapi Allah berkata kepadanya, ‘Hai bodoh! Malam ini juga engkau akan mati, lalu siapakah yang akan mendapat seluruh kekayaan yang sudah kaukumpulkan untuk dirimu itu?’ 12:21 Demikianlah jadinya dengan setiap orang yang berusaha menjadi kaya untuk dirinya sendiri, tetapi tidak berusaha menjadi kaya di mata Allah.”

Refleksi: Bacaan injil hari ini mengingatkan kepada kita tentang salah satu prioritas kehidupan yang mesti kita camkan dalam kehidupan kita. Yesus dalam kisah injil menolak untuk menjadi hakim atau mediator dalam membagi harta warisan dari seorang Yahudi yang datang kepada-Nya untuk memohon bantuan. Yesus melihat bahwa persoalan utama yang menjadi akar problem tersebut bukannya keadilan dan kesetaraan tetapi kerakusan dan keserakahan.

Dalam injil kita dapat melihat betapa Yesus secara gamblang meminta kita sebagai pengikut-Nya mesti secara sangat jeli melihat bahaya dari kerakusan dan ketamakan. Kerakusan dan ketamakan dapat menjadi pendorong orang untuk mengabaikan persaudaraan dan kekeluargaan. Kedua hal ini juga sering kali menyebabkan manusia jauh dari Allah karena orang lebih mengutamkankan memprioritaskan harta benda, kuasa dan kenikmatan dibandingkan Tuhan. Orang tidak mawas diri bahwa apa yang dia peroleh berasal dari Tuhan dan orang tidak peduli entahkan kehidupannya mempunyai dampak sosial positif bagi sesamanya atau tidak. Yang paling penting adalah mengejar kenikmatan dan mereguk kuasa.

Anda dan saya perlu terus-menerus bertanya diri: “Apakah saya menempatkan Tuhan dan sesama sebagai prioritas dalam kehidupan saya?” Ataukah mungkin saya sudah menggantikan Tuhan dengan berhala-berhala buatan atau imajinasi saya sendiri?

Kita semua tidak dilarang untuk menjadi kaya dan menikmati hidup. Orang yang tidak menikmati hidup tentulah orang yang tidak bahagia. Namun, semoga sebagai pengikut Kristus, kita berusaha sekian rupa supaya kita menjadi bahagia dan menikmati hidup dengan cara-cara yang tidak merugikan sesama, tidak dengan korupsi, menipu dan memanipulasi. Orang katolik adalah orang yang kenal Kristus dan orang yang kenal kasih. Belajar dari Injil hari ini, mari kita berjuang untuk senantiasa mengedepankan kasih dan pengampunan di atas semangat memiliki dan mengumpulkan terlalu banyak. Kristus kiranya membimbing dan menuntun kita. Amin.

Takut

Posted by admin on October 13, 2016
Posted in renungan 

takut-pada-anak

Bacaan I: Efesus 1:11-14
Bacaan Injil: Lukas 12:1-7

Saat saya kecil dulu, seperti umumnya anak laki-laki, kadang bandel juga tidak menuruti kata orang tua. Yang disuruh dilakukan tidak dikerjakan, yang dilarang diperbuat malah ditindakkan. Salah satu cara yang mudah untuk mengendalikan kebandelan saya, adalah dengan menakut-nakuti saya. Misalnya, jangan bermain di jalan, nanti ketabrak mobil. Jangan main terlalu malam, nanti tersesat atau diculik orang. Jangan suka jajan, nanti sakit. Sebagian nasehat tentu saja benar dan begitulah adanya. Nasehat itu menjadi ekspresi kepedulian dan kasih saying orang tua. Sebagian bisa jadi sekedar alat untuk mengatur saya dengan memanfaatkan rasa takut saya. Takut, adalah pengalaman manusiawi yang seperti juga lapar, marah, cinta, dapat dimanipulasi untuk merampas kebebasan orang lain.

Seperti mengantisipasi apa yang akan terjadi, Yesus mengajak para muridNya untuk tidak takut pada mereka yang bisa menyakiti bahkan merenggut nyawa mereka. Sebab pada akhirnya, hanya Tuhan Allah yang dengan kemahakuasaanNya mampu berbuat lebih jauh dengan jiwa dalam keabadian, kuasa yang melampaui batas kehidupan di dunia fana ini. Tak sedikit orang di dunia menggunakan kekuasaan mereka, entah karena kekuatan fisik, kedudukan social, ataupun kekayaan materi, untuk menekan, menjajah, memperbudak orang lain. Yesus memamg mengingatkan kita bahwa ada yang hendaknya lebih ditakuti, kalau alasan kita bertindak hanyalah untuk memberi jaminan keselamatan dengan menghilangkan unsur yang membuat takut.Namun ada yang lebih dari itu.

Yesus mengajak kita untuk bertindak berdasar prinsip kebenaran, keadilan dan cinta kasih. Ajaran ini ditandaskan dengan contoh nyata bagaimana Ia tidak tunduk menyerah kepada ketakutan. WafatNya di salib adalah wujud kemenangan atas rasa takut pada para penguasa dunia, sekaligus ekspresi kasih pada Bapa yang lebih berkuasa dari segala penguasa dunia itu. Semoga kita pun saling menguatkan, agar pandangan mata kita tidak berhenti pada ketakutan duniawi, namun sungguh diarahkan pada hormat bakti pada yang Ilahi. Mari kita doakan saudara-saudari kita yang karena iman dan kebenaran, diteror dengan aneka macam cara untuk memadamkan api hidup dan kasih mereka. Amin.

Paham

Posted by admin on October 13, 2016
Posted in renungan 

salah-paham

Bacaan I : Efesus 1:1-10
Bacaan Injil: Lukas 11:47-54

Di dunia banyak orang yang punya maksud baik yang mendorong mereka melakukan tindakan-tindakan tertentu. Tetapi jelas juga, intensi baik tidak cukup untuk mewujudkan kebaikan manakala dihadapkan pada kenyataan bahwa kita tidak hidup sendirian, melainkan dengan orang banyak yang punya kepentingan dan daya tangkap yang berbeda-beda. Konflik bisa dengan mudah terjadi antar orang-orang yang sama-sama berniat baik, karena salah paham. Persoalan menjadi lebih berat saat orang yang punya niatan baik, ternyata pahamnya salah. Kalau salah paham membuka ruang untuk percaya akan kebaikan pada orang lain, dan konflik yang muncul karenanya hanyalah soal tata cara dan komunikasi, persoalah paham salah bisa membutakan dan menghancurkan seluruh eksistensi orang lain dan kebaikan-kebaikan umum yang layak ditegakkan. Akibatnya, niat baik tak segan memeluk niat yang jahat, demi tujuan yang tak lagi bening hening.

Bacaan Injil beberapa hari ini menampilkan suara keras Yesus mengecam ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi. Tindakan ini kiranya dipicu keras hatinya para ahli agama itu dalam menilai segala ujaran dan tindakan Yesus, Sang Nabi baru yang kuasa kata dan lakuNya menakjubkan begitu banyak orang. Lukas mencatat bahwa mereka terus menerus berupaya menjebak Yesus dengan rupa-rupa soal agar mereka dapat menangkapNya berdasar sesuatu yang diucapkanNya. Pertimbangan pilihan sikap dan tindakan mereka bukan lagi didasarkan pada pencarian kebenaran, keadilan, kedamaian, -kiranya ini semua niat baik yang membuat mereka kritis terhadap Yesus- tetapi pada terpenuhinya kepentingan pribadi dan golongan, terlampiaskannya nafsu kekuasaan, keangkuhan dan kesombongan. Vonis sudah dijatuhkan jauh sebelum saat Yesus ditangkap dan diseret ke pengadilan di rumah Imam Besar atau pun di hadapan Pilatus dan Herodes, para penguasa negara. Tak ada ruang dialog, tak ada tempat bagi proses pencarian. Semua sudah fix, sudah usai, tinggal dijalankan.

Dengan rendah hati kita harus akui, kadang kita menempatkan diri pada posisi para ahli agama tersebut, saat kita dengan dingin mengadili sesama berdasar fakta-fakta yang dirangkai sepotong-sepotong untuk membenarkan prasangka. Saat kita menakar saudara, teman atau lawan dengan paham yang salah macam itu, kita turut melanggengkan penindasan kebenaran atas nama kepentingan. Dan langit kembali akan meneteskan air mata dan menangis, karena manusia lebih suka berpesta pora dalam kekelaman daripada mensyukuri Terang yang membuat segalanya menjadi baik, seperti saat penciptaan yang pertama. Karena manusia tak puas menyiksa dan menyalibkan Sang Putra sekali saja dalam sejarahnya.

Konsekuensi

Posted by admin on October 11, 2016
Posted in renungan 

consequent1

Bacaaan I: Galatia 5:18-25
Bacaan Injil: Lukas 11:42-46

Dari banyak teori Moral yang membantu kita memahami cara kita menilai dan memilih tindakan-tindakan dalam kasus moral, barangkali teori Utilitarianisme yang paling populer. Rasionalitas sebuah pilihan moral diukur dari konsekuensi, akibat dari suatu tindakan, karena pilihan ditimbang dari kegunaannya, dari faedahnya (utility). Hitung-hitungan untung rugi dalam metode sains sederhana diterapkan untuk menentukan pilihan terbaik berdasar mana yang membawa kebahagiaan bagi lebih banyak orang. Kebahagiaan terbesar bagi jumlah khalayak yang terbesar, kata Jeremy Bentham (1748-1832). John Stewart Mill lebih jauh menyatakan, hukum kasih dari Yesus (kasihilah sesamamu seperti engkau mengasihi sesamamu), beserta perintah-perintah senada (misalnya: sebagaimana kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah juga demikian kepada mereka –Luk 6:31) juga mengikuti prinsip pertimbangan konsekuensi dan faedah tersebut. Setiap keputusan kita, hendaknya mempertimbangkan siapa-siapa saja yang terpengaruh oleh keputusan kita tersebut.

Meskipun juga jelas bahwa Yesus mengutamakan kemanusiaan di atas perhitungan hukum agama yang ketat dan keras, juga jelas bahwa Ia mempromosikan kemurahan hati yang sepintas dapat dilihat sebagai dapat “merugikan” diri sendiri, kita dapat memanfaatkan pertimbangan konsekuensi dan manfaat dalam menentukan pilihan sikap dan tindakan kita, dengan menempatkan kepenuhan dan keutuhan kemanusiaan sebagai konsekuensi dan faedah yang kita cari. Dalam surat Paulus, kriteria perbuatan baik dan buruk menjadi sangat jelas, ditimbang dari konsekuensinya, dari buah-buahnya, dari faedahnya terhadap perkembangan dan pertumbuhan kemanusiaan dalam diri sendiri dan sesama.

Tindakan yang digerakkan Roh Jahat masuk dalam golongan perbuatan daging: percabulan, kecemaran, hawa nafsu, penyembahan berhala, sihir, perseteruan, perselisihan, iri hati, amarah, mengejar kepentingan diri sendiri, perpecahan, kedengkian, kemabukan, pesta pora dsb. Semua tindakan ini berakibat penurunan derajat hingga hancurnya kemanusiaan.

Tindakan yang digerakkan Roh Baik, sebagai lawannya, akan mengembangkan kemanusiaan, memuliakannya: kasih, suka cita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan.

Hidup, memang tidak selalu sejelas kontras hitam dan putih. Tak jarang dibentangkan di hadapan kita wilayah abu-abu yang butuh kearifan dan ketajaman budi serta nurani. Belum lagi soal kehendak yang seringkali tak sekuat pemahaman betapapun jelas tegasnya situasi menurut pandangan hati dan budi. Toh selalu baik kita kembali pada pertimbangan sederhana itu: apapun tindakan yang kita pilih hendaknya menumbuhkembangkan kebaikan kemanusiaan, bukannya mencederainya. Jikalau kita hidup oleh Roh, baiklah hidup kita juga dipimpin oleh Roh.

Permukaan

Posted by admin on October 10, 2016
Posted in renungan 

Tip of the Iceberg --- Image by © Ralph A. Clevenger/CORBIS

Tip of the Iceberg — Image by © Ralph A. Clevenger/CORBIS

Bacaan I: Galatia 5:1-6
Bacaan Injil : Lukas 11:37-41

Seorang guru muda berbagi suka duka mengajar di daerah asalnya di pulau Bangka dalam kesempatan ngobrol santai sambil ngopi menjelang wisuda program Masternya di USD Yogya. Tidak mudah memasuki dunia kerja pendidikan dengan bermodal ijasah Sarjana Sastra. Sebagian rekan guru memandangnya dengan sebelah mata karena tak adanya formasi khusus yang diterimanya dalam pedagogi, ilmu mendidik. Mereka lupa, pedagogi adalah juga seni, dan dalam seni unsur kreativitas memberi ruang belajar sangat luas melalui refleksi atas pengalaman.

Sang guru muda yang passionate dengan dunia anak-anak SD ini terkejut dengan tantangan yang diterimanya saat menerima tugas mengajar pertamanya: ia diberi tanggung jawab menangani kelas dengan anak-anak yang paling sulit diatur, disaster class full of monsters, dan biasa dituruti kemauannya oleh para guru lain. Saat ia mencoba menegakkan disiplin, seorang anak bahkan berani menantang mengancam: orang tuanya yang kaya cukup punya kuasa untuk membuat kehadiran Sang Guru di sekolah itu tidak berlangsung lama.

Aku tidak hendak pasrah mengikuti tarian mereka yang menghancurkan kebisaan mereka belajar dengan baik dan benar, pikir Sang Guru, setelah berhari mengajar bercucur air mata dalam kegundahan bingung mau bertindak bagaimana. Dengan tegas suatu hari ia mulai menyatakan sikap: ini kelas saya, ikuti aturan saya, atau kamu keluar. Kalau orang tuamu keberatan, silahkan datang dan saya akan layani berbincang tentang apa yang terbaik untukmu dan teman-temanmu di kelas. Kalau mau lapor ke kepala sekolah, juga silhakan karena saya yakin saya benar. Berikutnya, Sang Guru juga belajar bahwa ia bisa mengendalikan kelas dengan lebih baik dengan memberi cukup tugas yang menyibukkan anak-anak pandai yang hiper aktif di kelas tersebut. Setiap protes tentang jumlah latihan yang banyak dijawab dengan menambah lagi jumlah tugas yang ada, hingga anak-anak berhenti mengeluh dan mulai diam menekuni pelajaran mereka. Anak-anak Bangka ini, perlu diajar dengan tegas di kelas, tidak bisa diperlakukan seperti anak-anak di Jawa, katanya. Aku tahu, karena aku juga asli Bangka, tidak seperti beberapa guru yang datang dari Jawa. Kelas yang tiba-tiba menjadi sering hening dengan anak-anak sibuk belajar membuat Kepala Sekolah datang memeriksa keheranan. Dengan cepat reputasinya menyebar: Ibu Guru yang galak, suka menindas murid. Toh para guru lain juga keheranan mengakui, ia dicintai para muridnya yang suka bercanda menggodanya di luar kelas.

Sebuah gunung es hanya menampakkan sedikit saja eksistensinya di permukaan. Penilaian yang sembrono atasnya bisa mendatangkan bencana mematikan sebagaimana karamnya kapal Titanic yang menabrak punggung gunung es di bawah permukaan laut. Kemampuan memandang yang serba terbatas itu juga dikecam Yesus menghadapi para pengkritiknya yang mempersoalkan cuci tangan sebagai sebuah ritual kebersihan fisik, tetapi mengabaikan kebersihan batin yang lebih penting dan mendalam, yang dikotori sikap serba curiga dan penuh prasangka. Aturan, kebiasaan, tradisi, pada akhirnya mengabdi pada yang esensi, yang hakiki. Hari Sabat diadakan untuk manusia dan bukan manusia untuk hari Sabat (Mark 2:27). Beriman yang sungguh juga mengandaikan ketersediaan untuk terbuka dan percaya, meski sikap naif perlu dihindarkan. Menilai satu sama lain adalah bagian kodrat kita, menilai dengan hati-hati dan bijaksana adalah pilihan orang yang matang dan dewasa.

Translate »