Header image alt text

indonesian catholic online evangelization

Paus Fransiskus, Si Pendosa

Posted by admin on September 20, 2017
Posted in renungan 

The Calling of St. Matthew by Caravaggio

Kamis, 21 September 2017

Hari Raya Pesta Santo Matius, Penginjil

Efesus 4:1-7, 11-13
Mazmur 19
Matius 9:9-13

Dalam wawancaranya dengan majalah La Civiltà Cattolica tak lama setelah pemilihannya sebagai Uskup Roma, Paus Fransiskus ditanya, “Siapakah Jorge Mario Bergoglio?” Dia termenung sejenak, dan kemudian menjawab, “Saya adalah seorang pendosa. Ini definisi yang paling tepat. Ini bukan kiasan atau bahasa puitis. Saya adalah seorang yang berdosa.”

Paus Fransiskus menjelaskan lebih jauh dengan pengalaman pribadinya. Ketika dia berkunjung ke Roma sebagai romo atau uskup, dia selalu menyempatkan diri pergi ke Gereja Santo Louis, Raja Perancis. Di sana dia suka berkontemplasi dengan menatap lukisan “Pemanggilan Santo Matius” karya pelukis terkenal Italia di awal tahun 1600-an, Caravaggio. Bagi Sri Paus, “Jari Yesus itu yang menunjuk pada Matius, itu saya. Saya mereasa seperti dia. Seperti Matius. Tapi tingkah laku Matius yang menyentuh saya: dia mendekap erat uangnya seperti mau berkata, ‘Jangan, jangan saya! Jangan, uang ini punya saya.’ Inilah saya, sang pendosa yang kepadanya Tuhan menengokkan wajahnya. Dan ini yang saya katakan ketika mereka bertanya apa saya menerima hasil pemilihan saya sebagai Paus: Saya adalah seorang pendosa, tapi saya percaya pada kerahiman dan kesabaran Tuhan kita Yesus Kristus yang tak terbatas, dan saya menerima dalam semangat pertobatan.”

Dalam Injil hari ini kita hanya diceritakan sepintas tentang peristiwa pemanggilan Matius menjadi murid Yesus. Tetapi di ayat-ayat berikutnya diceritakan bagaimana orang-orang Farisi mengkritisi Yesus yang duduk dengan “para pemungut cukai dan pendosa”. Yesus memperingatkan mereka bahwa dia datang untuk memanggil orang berdosa, bukan orang yang merasa benar dan tanpa noda.

Akhir-akhir ini banyak kita temui orang Katolik yang mudah mengecam orang lain, bahkan menghakimi orang Katolik lain dan Paus Fransiskus. Terkadang kita lupa akan status pendosa kita sendiri. Walaupun kitsiap mengakui bahwa semua manusia pasti berdosa, tapi dengan tindakan menghakimi orang lain secara tidak langsung kita menganggap orang lain lebih berdosa dari saya dan karena itu saya berhak menghakimi mereka. Ini tidak jauh berbeda dengan orang-orang Farisi yang menghakimi Yesus dan teman-teman makan malamnya.

Beranikah kita mengakui secara jujur identitas kita sebagai pendosa? Hanya secara demikian kita bisa membuka diri terhadap kasih kerahiman Tuhan. Dan jika kita bisa mengalami pengampunan Tuhan yang begitu besarnya dalam hidup kita, niscaya kita pun akan mampu mengasihi dan mengampuni orang lain, dan bukannya menghakimi mereka. “Sebab itu Aku berkata kepadamu: Dosanya yang banyak itu telah diampuni, sebab ia telah banyak berbuat kasih. Tetapi orang yang sedikit diampuni, sedikit juga ia berbuat kasih.” (Lukas 7:47)

Maunya Apa Sih?

Posted by admin on September 19, 2017
Posted in renungan 

20 September 2017

Hari Raya Peringatan Martir-martir Korea

Timotius 3:14-16
Mazmur 111
Lukas 7:31-35

Lukisan Martir-martir Korea di Pulau Jeju

Jika mendengar Yesus dalam Injil hari ini, seakan-akan dia frustrasi dengan bangsa Israel zaman itu. Ketika Yohanes Pembaptis mengajarkan puasa untuk pertobatan, orang menganggap dia kesurupan setan. Ketika Yesus makan dan minum bersama pemungut cukai dan orang-orang yang dianggap “berdosa”, dia disebut pemabuk dan orang rakus. Mungkin kita bisa membayangkan kekesalan Yesus: “Jadi maunya apa sih?”

Saya sering mendengar kekesalan ini dari para orang tua tentang anak-anak mereka, baik mereka warga negara Amerika maupun orang-orang yang baru bermigrasi dari Indonesia. Kekesalan itu ada dalam banyak hal, tapi terutama dalam hal iman Katolik. “Anak saya malas ke gereja,” atau “Anak saya tidak pernah berdoa lagi setelah kuliah,” dan sebagainya. Segala hal sudah dilakukan, tapi tetap saja tidak mempan. Maunya apa sih?

Perayaan dalam kalender Gereja hari ini mungkin bisa membantu kita. Antara tahun 1700-an sampai 1800-an, ribuan orang Katolik dianiaya dan dibunuh di Korea. Apakah yang bisa membuat begitu banyak orang bersedia mati karena iman mereka, yang sebenarnya belum lama masuk ke negara mereka?

Agama Katolik masuk ke Korea tidak seperti umumnya di negara-negara Asia Timur dan Tenggara lainnya. Iman Katolik pertama kali dibawa masuk oleh orang Korea sendiri, Yi Sung-hun yang mempelajari agama Katolik di Tiongkok dan dibaptis di sana sekitar ahun 1784. Ia kembali ke negaranya dan membentuk komunitas Katolik di Korea. Selama beberapa tahun, agama Katolik di Korea disebarkan oleh orang-orang awam karena tidak ada imam dari luar negeri yang diperbolehkan masuk oleh pemerintah saat itu.

Iman Katolik dapat bertumbuh subur dan pesat di Korea karena kreativitas para penginjil awam yang menggunakan filsafat Konfusius (Khonghucu) yang menjadi dasar hidup masyarakat di sana saat itu. Prinsip laku bakti, xiao, diperluas dari bakti pada orang tua dan pemerintah menjadi bakti kepada Allah Bapa, Sang Raja Semesta. Karena itulah banyak umat Korea rela mengorbankan nyawanya karena melihat perbuatan itu sebagai bakti kepada Tuhan, yang kedudukannya lebih tinggi dari penguasa saat itu. Mereka juga menolak membuka rahasia dan melaporkan orang-orang Katolik lain karena sikap bakti mereka pada sesama.

Sayangnya Dinasti Chosun yang berkuasa saat itu merasa bahwa ajaran Katolik akan mengancam kedudukan mereka. Rasa takut itulah yang membuat mereka mengejar-ngejar dan menganiaya orang-orang Kristen. Padahal bukan tidak mungkin kalau mereka membiarkan Kekristenan berkembang, kekuasaan mereka pun bisa berjalan bersama dengan agama baru itu. Dengan memeluk agama Katolik, orang Korea bukan serta merta mengacuhkan pemerintah. Dasar Konfusianisme mereka membuat mereka tetap menaruh hormat pada mereka yang berkuasa, tetapi mereka juga sadar bahwa ada yang lebih tinggi yang menuntut penghormatan yang lebih besar.

Tidak bisa dipungkiri dunia kita bergerak semakin cepat. Kita yang berasal dari generasi-generasi yang lebih awal kadang kebingungan untuk menyamakan langkah dengan generasi yang lebih muda. Salah satu pilihan tindakan adalah mengeluarkan larangan demi larangan pada mereka, yang seringkali malah membuat mereka marah dan mencari jalan belakang tanpa sepengetahuan kita.

Alternatifnya, kita bisa lebih peka terhadap aspirasi mereka yang paling dalam. Ini sebenarnya maunya mereka, dan maunya kita semua. Segala macam teknologi dan bentuk-bentuk interaksi sosial yang baru pada ujung-ujungnya adalah suatu usaha untuk memuaskan kebutuhan pokok manusia. Dapatkah kita melihat kebutuhan apa yang tidak mencukupi mereka? Mampukah kita menemukan nilai-nilai luhur dalam gaya hidup mereka yang berbeda dengan kita, dan membantu mereka menyadari bahwa dalam nilai luhur itulah kita bisa bersama-sama menemukan Tuhan? Niscaya jika itu terjadi, kita semua pun bisa menjadi martir-martir (bahasa Yunani yang berarti “saksi”) Tuhan di dunia ini.

Bangkitlah

Posted by admin on September 18, 2017
Posted in renungan 

19 September 2017

Timotius 3:1-13
Mazmur 101
Lukas 7:11-17

Bacaan Injil hari ini sungguh dramatis. Ketika Yesus sedang berjalan, tiba-tiba dia melihat perarakan orang meninggal yang akan dikuburkan. Entah bagaimana rupa, sikap, atau ekspresi wajah sang ibu yang berduka akan kematian anak tunggalnya, Yesus sungguh tergerak hatinya dan memutuskan untuk membangkitkan si anak saat itu juga. Yesus mempunyai kuasa untuk membangkitkan siapapun orang yang sudah mati. Kalau mau dia bisa saja mengunjungi setiap orang yang baru meninggal di setiap kota dan membangkitkan mereka. Tapi dia memilih saat itu secara khusus, dan karena tergerak melihat sang ibu itu.

Dalam Injil Lukas, kata Yunani yang diterjemahkan menjadi “tergerak hatinya”, splagxnízomai, muncul dua kali lagi: saat orang Samaria yang baik hati melihat orang Yahudi yang ditinggalkan setengah mati oleh perampok di jalan, dan saat sang ayah melihat anaknya yang hilang berjalan kembali menuju rumahnya. Akar kata Yunani itu sendiri berasal dari kata yang berarti isi perut yang paling dalam: hati, paru, jantung, ginjal. Bagi orang Yahudi, dalam perut inilah asal perasaan cinta, kasih, kemurahan hati, kasihan. Seringkali, kata Yahudi yang berhubungan erat dengan hal ini adalah rekhem. Kita pun memakai kata yang mirip yang kita ambil dari bahasa Arab: rahim. Karena itulah kita menyebut Allah yang Maharahim atau Kerahiman Ilahi (Divine Mercy). Semua ini kurang lebih menunjukkan kesamaan, bahwa perasaan belas kasihan dianggap datang dari dalam perut kita.

Hari ini kita melihat bagaimana Yesus sangat peka terhadap kesedihan kita, kesengsaraan dan keputusasaan kita. Apapun “peti mati” yang kita usung dalam hidup kita, Yesus selalu siap untuk menyentuhnya dan membangunkan kita dari kepedihan yang begitu mendalam yang menghisap semua daya hidup kita. Dia selalu siap mengundang kita untuk “bangkit”, untuk kembali meniti hidup kita dengan mengandalkan kekuatannya.

Namun sebagai pengikut Kristus yang sejati, tidak cukup kita hanya berhenti di situ. Kita pun diajak berjalan bersama Yesus di dunia ini. Kita pun dituntut peka dan memperhatikan bagaimana “perut” atau “rahim” kita bereaksi terhadap mereka korban kekerasan, kekejaman, penindasan, eksploitasi, dan semua bentuk ketidakadilan di sekitar kita. Sanggupkah kita, yang sudah mengalamai sendiri dibangkitkan oleh kuasa Yesus, menghampiri mereka, menyentuh “peti mati” mereka, dan mengulurkan tangan pada mereka dan berkata, “Aku berkata padamu, bangkitlah!”?

Melihat Sebagaimana Tuhan Melihat

Posted by admin on September 17, 2017
Posted in renungan 

Senin, 18 September 2017

Hari Raya Peringatan St. Yusuf dari Cupertino

St. Joseph of Cupertino karya Ludovico Mazzanti, Basilika Loreto

Timotius 2:1-8
Mazmur 28
Lukas 7:1-10

Minggu lalu dunia berita penuh dengan analisa para ahli tentang iPhone yang baru. Pada akhirnya, Apple pun mengumumkan telpon selular model terbarunya langsung dari Steve Jobs Theater di markas besarnya yang canggih di Cupertino, California. Asal nama kota itu? St. Yusuf dari Cupertino. Kota-kota di California banyak dinamakan dari nama santo-santa, terutama santo-santa Fransiskan karena para saudara Fransiskanlah yang pertama kali mendirikan kota-kota modern ketika bangsa Spanyol masuk ke California.

St. Yusuf Cupertino adalah Fransiskan dari abad ke-17 yang terkenal karena sering mengalami ekstasi, suatu pengalaman akan Tuhan yang begitu kuatnya, sehingga ia bisa melayang di udara. Karena itulah dia dijadikan sebagai santo pelindung pilot, astronot, dan orang yang bepergian dengan pesawat terbang. Menurut kesaksiannya, pengalaman ekstatis adalah seperti “dibawa ke sebuah galeri yang luar biasa, bersinar dengan keindahan yang tak terbatas, dan di mana seperti sebuah gelas, dengan satu pandangan saja, orang bisa memahami penglihatan yang mengagumkan yang diperlihatkan Tuhan baginya.”

Dalam teologi Katolik, terdapat istilah “visio beatifica” atau beatific vision atau pandangan penuh kebahagiaan. Biasanya visio beatifica dikaitkan dengan saat kita sudah di surga, berhadapan langsung dan bertatap muka dengan Allah. Tapi bukan tidak mungkin apa yang dialami St. Yusuf Cupertino adalah semacam beatific vision itu. Namun bukan bertatap muka dengan Allah, melainkan melihat sesuatu yang ditunjukkan oleh Allah yang membuatnya penuh kebahagiaan.

Pada hari rekoleksi beberapa hari yang lalu, seorang imam mengatakan bahwa beatific vision bisa juga berarti melihat seperti apa yang Allah lihat. Ini berarti bisa melihat diri kita sendiri seperti Allah melihat kita, identitas sejati kita sebagai ciptaan dan anakNya yang sangat dicintai. Ini juga berarti bisa melihat orang lain sebagi saudara kita dalam Yesus, sama-sama sebagai ciptaan Allah.

Dalam Injil hari ini, sang perwira Romawi bisa jadi diberi penglihatan penuh kebahagiaan itu. Dia mempunyai budak yang sakit, tapi dia tetap sangat prihatin dan benar-benar berusaha untuk membuatnya sembuh. Padahal, bisa saja dia membeli budak baru yang lebih sehat. Tetapi dia melihatnya sebagai sungguh sesamanya manusia. Ketika dia sudah mengirimkan orang untuk memanggil Yesus, tiba-tiba dia sadar bahwa dirinya tidak pantas untuk didatangi Tuhan. Dia dapat melihat penuh identitas Yesus dan identitas dirinya sendiri. Walaupun dia seorang perwira tinggi Romawi, dia adalah kecil di hadapan Tuhan.

Semoga kita pun diberi anugerah untuk sedikit diberi penglihatan sebagaimana Tuhan melihat. Di saat kita semakin banyak berdoa dan merenungkan sabdaNya, niscaya kita akan semakin jelas melihat seperti mata Tuhan. Saat itulah kita bisa semakin murah hati, mudah memaafkan, dan lebih mencintai orang lain. Dan jika semua beban dendam dan kedengkian dan iri hati kita bisa kita buang, bukankah langkah kita juga akan semakin ringan dan mungkin kita pun bisa terbang?

Justice of God and Forgiveness

Posted by Romo Valentinus Bayuhadi Ruseno OP on September 16, 2017
Posted in renungan 

Justice of God and Forgiveness

24th Sunday in Ordinary Time
September 17, 2017
Matthew 18:21-35

“Moved with compassion the master of that servant let him go and forgave him the loan. (Mat 18:27)”

Why is it difficult to forgive? One of the reasons is that after we are wronged, the immediate reaction is to seek justice or even revenge. We want that the pain and the loss we experienced are also felt by those who inflicted them on us. We want “a tooth for a tooth, an eye for an eye”. Unfortunately, consumed by anger and hatred, our cry for justice can easily turn into an intense desire of revenge. If justice seeks to balance scale, revenge seeks to inflict a greater punishment, or even to destroy those who have harmed us. Unless we get what is due, unless they receive what they deserve, there is no forgiveness.

Despite this intense desire for vengeance, the good news is that the longing for justice is something that is embedded in every human soul. This sense of justice we have and we embrace is what we call human justice. This kind of justice is essential for our daily life because it propels us to reward good works and punish wrong doings. If we work hard for our companies, we deserve a good wage, but if we do not our job, the company has the right to fire us. If we study hard, we expect a good grade and learning, but if we are lazy, we expect no less that a failing mark. If we pay our taxes, we want the government to provide a dependable public service. This sense of justice regulates our daily lives, the school system, work policies and government conducts. Therefore, we are angered by the violence of this justice system. We are angered knowing our officemate who does little, gets the same salary like us. Though I do not want to focus on grade, I am usually pissed off knowing that after exerting much effort, I get a lower grade compared to those who did not study. We will be indignant if our taxes go to the corrupt and incompetent government officials. With this sense of justice, there is no place for forgiveness.

Thus, Peter’s proposal to forgive seven times sounds extraordinary. Yet, Jesus invites us to understand another sense of justice, the justice of God. The human justice begins with us, what we deserve, what is due to us, but the justice of God starts with God. Like the King in the parable, he demands the servant to pay his debt of astronomical amount. This is human justice. Yet, the king knows that he is so rich that the payment of his servant’s debt would not add much to his treasury. Thus, when the servant begs for mercy, the king could easily forgive him. The servant’s debt now turns to be his richness, and from being extremely poor because of the massive debt, he becomes instantly rich. The servant then is expected to perform his master’s justice and to forgive also his fellow servants who owe him a little. Unfortunately, he remains governed by human justice and even consumed by revenge. This brings about his own doom.

We owe God everything, our lives, all what we have, and even our redemption, yet nothing we do for Him can add to his glory. In His mercy, God forgives us. Our massive debt to God has been erased and in fact, transformed into our own richness. Mercy and forgiveness is not only possible but also the hallmark of God’s justice. As we become rich in His justice, we should forgive our brothers and sisters so that they may be also enriched. We forgive because we have been forgiven. We forgive because we are rich in His mercy. We forgive because God’s justice demands it.

Br. Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Translate »