
The Calling of St. Matthew by Caravaggio
Kamis, 21 September 2017
Hari Raya Pesta Santo Matius, Penginjil
Efesus 4:1-7, 11-13
Mazmur 19
Matius 9:9-13
Dalam wawancaranya dengan majalah La Civiltà Cattolica tak lama setelah pemilihannya sebagai Uskup Roma, Paus Fransiskus ditanya, “Siapakah Jorge Mario Bergoglio?” Dia termenung sejenak, dan kemudian menjawab, “Saya adalah seorang pendosa. Ini definisi yang paling tepat. Ini bukan kiasan atau bahasa puitis. Saya adalah seorang yang berdosa.”
Paus Fransiskus menjelaskan lebih jauh dengan pengalaman pribadinya. Ketika dia berkunjung ke Roma sebagai romo atau uskup, dia selalu menyempatkan diri pergi ke Gereja Santo Louis, Raja Perancis. Di sana dia suka berkontemplasi dengan menatap lukisan “Pemanggilan Santo Matius” karya pelukis terkenal Italia di awal tahun 1600-an, Caravaggio. Bagi Sri Paus, “Jari Yesus itu yang menunjuk pada Matius, itu saya. Saya mereasa seperti dia. Seperti Matius. Tapi tingkah laku Matius yang menyentuh saya: dia mendekap erat uangnya seperti mau berkata, ‘Jangan, jangan saya! Jangan, uang ini punya saya.’ Inilah saya, sang pendosa yang kepadanya Tuhan menengokkan wajahnya. Dan ini yang saya katakan ketika mereka bertanya apa saya menerima hasil pemilihan saya sebagai Paus: Saya adalah seorang pendosa, tapi saya percaya pada kerahiman dan kesabaran Tuhan kita Yesus Kristus yang tak terbatas, dan saya menerima dalam semangat pertobatan.”
Dalam Injil hari ini kita hanya diceritakan sepintas tentang peristiwa pemanggilan Matius menjadi murid Yesus. Tetapi di ayat-ayat berikutnya diceritakan bagaimana orang-orang Farisi mengkritisi Yesus yang duduk dengan “para pemungut cukai dan pendosa”. Yesus memperingatkan mereka bahwa dia datang untuk memanggil orang berdosa, bukan orang yang merasa benar dan tanpa noda.
Akhir-akhir ini banyak kita temui orang Katolik yang mudah mengecam orang lain, bahkan menghakimi orang Katolik lain dan Paus Fransiskus. Terkadang kita lupa akan status pendosa kita sendiri. Walaupun kitsiap mengakui bahwa semua manusia pasti berdosa, tapi dengan tindakan menghakimi orang lain secara tidak langsung kita menganggap orang lain lebih berdosa dari saya dan karena itu saya berhak menghakimi mereka. Ini tidak jauh berbeda dengan orang-orang Farisi yang menghakimi Yesus dan teman-teman makan malamnya.
Beranikah kita mengakui secara jujur identitas kita sebagai pendosa? Hanya secara demikian kita bisa membuka diri terhadap kasih kerahiman Tuhan. Dan jika kita bisa mengalami pengampunan Tuhan yang begitu besarnya dalam hidup kita, niscaya kita pun akan mampu mengasihi dan mengampuni orang lain, dan bukannya menghakimi mereka. “Sebab itu Aku berkata kepadamu: Dosanya yang banyak itu telah diampuni, sebab ia telah banyak berbuat kasih. Tetapi orang yang sedikit diampuni, sedikit juga ia berbuat kasih.” (Lukas 7:47)

