Header image alt text

indonesian catholic online evangelization

PIKIRAN, MULUT DAN BADAN YANG TERARAH PADA TUHAN

Posted by admin on March 26, 2018
Posted in renungan 

HARI MINGGU PALMA MENGENANGKAN SENGSARA TUHAN

BcPerarakan: Mrk, 11:1-10 atau Yoh, 12:12-16.

BcE Yes. 50:4-7;  Mzm. 22:8-9,17-18a,19-20,23-24;  Flp. 2:6-11;  Mrk. 14:1 – 15:47

PIKIRAN, MULUT DAN BADAN YANG TERARAH PADA TUHAN

Kisah yang unik setiap kali menjelang Minggu Palma di Seminari adalah persiapan para liturgi atau visualisasi sebelum Perarakan, yang diisi dengan teater dari kelompok ‘Jaran Iman’. Ini adalah tahun ketujuh saya berada di Seminari, dan setiap tahun, visualisasi pada Minggu Palma, selalu ada. Yang selalu dinantikan adalah, ‘dengan apakah’ imam yang memimpin Perayaan Ekaristi akan diarak menuju kapel? Pernah memakai gerobak sampah dan Romo itu sekarang menjadi Uskup Keuskupan Agung Semarang. Pernah memakai bak motor, patung keledai, becak, dan tahun ini, tampaknya gerobak sampah akan dipilih kembali untuk mengarak imam yang memimpin Perayaan Ekaristi. Semoga saja!

Dan, namanya juga Minggu Palma, maka yang khas dari Hari Raya ini adalah daun palma, entah yang dibawa umat atau sebagai hiasan di gereja. Palma sendiri merupakan simbol kemenangan, karena daunnya yang hijau melambangkan musim semi, sebagai warna yang mengatasi dinginnya musim salju. Simbol kemenangan kehidupan atas kematian. Nah, cerita tentang daun palma dan kemenangan menjadi penanda kisah Yesus, yang memasuki kota Yerusalem, yang diawali dengan penyambutan, bak pahlawan yang pulang dari sebuah kemenangan, padahal kita tahu sendiri bahwa Yesus akan ‘menyongsong’ penderitaan di salib dan wafat penuh kehinaan. Dalam kisah keseluruhan, ada kontradiksi atau pertentangan yang sedang terjadi. Di satu sisi, ada puji-pujian dan pekik kemenangan, namun pada akhirnya ada penghinaan dan penderitaan. Banyak orang yang mengelukan Yesus sebagai Raja, namun mereka juga yang meneriakkan, “Salibkan Dia!” Mereka yang menghamparkan pakaiannya untuk menjadi alas jalan ketika Yesus memasuki Yerusalem, mereka juga lah yang melucuti pakaian Yesus menjelang di salib. Dan mereka yang membawa Yesus naik ke atas keledai, mereka jugalah yang menaikkan Yesus ke salib. Dari mulut yang sama, terucap kata-kata yang mengandung pertentangan. Dari kaki dan tangan yang sama, tercipta tindakan-tindakan yang menghadirkan pertentangan. Dari diri yang sama, tercipta perbuatan yang berbeda hasil: memuji Allah dan sekaligus menghujat Allah.

Lalu kita bisa merenungkan apa? Kehidupan kita pun jangan-jangan demikian. Di satu sisi kita rajin berdoa, namun dalam tindakan nyata, kita melakukan banyak hal yang tidak sesuai dengan doa-doa kita. Tuhan memberi anugerah pikiran, mulut dan badan untuk memikirkan, mengatakan dan melakukan sesuatu yang baik, yaitu memuliakan nama Allah, namun kadang dari pikiran, mulut dan badan yang sama, kita melakukan tindakan yang menghujat nama Allah, karena kita melakukan tindakan-tindakan dosa. Di awal pekan suci ini, sembari merenungkan kisah sengsara Kristus, yang dalam kesempatan Minggu Palma ini akan dibacakan secara lengkap dalam ‘passio’ dari Injil Markus, kita hendak merenungkan disposisi hati kita selama ini: apakah pikiran, mulut dan badan kita lebih banyak digunakan untuk memuliakan nama Allah atau lebih banyak untuk menghujat nama Allah? Bersama Kristus yang berjalan memasuki kota Yerusalem, mari kita songsong pekan suci ini dengan senantiasa berpikir sederhana, berkata jujur dan tulus serta bertindak dengan mengutamakan kasih di atas segala-galanya.

Selamat memasuki Pekan Suci, dengan hati yang semakin terarah pada Allah. GBU.

Ups and Downs of Life

Posted by Romo Valentinus Bayuhadi Ruseno OP on March 24, 2018
Posted in renungan 

Palms Sunday of the Lord’s Passion

March 25, 2018

Mark 11:1-10; Mk 14:1—15:47

 

“Though he was in the form of God…Rather, he emptied himself, taking the form of a slave…” (Phil. 2:6-7)

 

We are celebrating the Palm Sunday of the Lord’s Passion. In today’s celebration, we have the only liturgical celebration in which two different Gospel readings are read. The first Gospel, usually read outside the Church, is about the triumphal entry of Jesus into Jerusalem, and the second Gospel narrates the Passion of Jesus Christ. Reflecting on the two readings, we listen to two different and even opposing themes: triumph and defeat. These are two fundamental themes, not only in the life of Jesus, but in our lives as well.

The triumphal entry into Jerusalem represents our times of success and great joy. It is when we achieve something precious in our lives. These are moments like when we accomplish our studies, when we gain new and promising work, or when we welcome the birth of a family’s newest member. These are the “Up” events of life. While the Passion story speaks of times of defeat and great sorrow. It is when we experience great losses in our lives. There are moments like when we fail decisive examinations or projects, whenwe lose our jobs, or we experience death in the family. These are the “Down” events of life. Passing through these Upsand Downs of life, Jesus teaches us valuable lessons.  In times of triumph, like Jesus riding on the colt, we are challenged to remain humble and grateful. In moments of defeat, like Jesus who embraces His sufferings, we are invited to patiently bear these moments and offer them to the Lord.

However, there is something more than this. If we read the second reading from the letter of Paul to the Philippians (2:6-11), we listen to one of the most beautiful hymns in the New Testament that affirms both the divinity and humanity of Christ. If we believe that Jesus is God become man, then God does not only give us success or allow us to undergo suffering but in Jesus, God experiences what it means to be successful as well as to fail. This point is a radical departure from an image of God that is distant yet controlling, or a kind of a teddy bear that we can hug during crying moments, or a trophy we can parade in our victorious time. Our God is one with us in all our experience of joy and sadness, of triumph and defeat.

In the Book of Genesis chapter 3, we read the first story of human failure. Adam and Eve were deceived by the serpent and disobeyed God. It is true that our first parents failed God, and they had to leave the Garden of Eden. Yet, God did not cease to care for them. God made them garments of skin to cloth them, as to cover their nakedness and give them protection. God prepared them to face the harsh life outside the Garden. However, there is something even more remarkable. After Genesis 3, we will never read again about the Garden and what happens inside, but rather the stories of Adam, Eve and their descendants. Why? Because God did not choose to stay in the Garden, and just watch things through a giant LCD monitor, but rather He followed our first parents and walked with them. He accompanied them, struggled with them, cried with them and shared their happiness. Truly, the Bible is a book about God and His people.

As we enter the Holy Week, may we find time to reflect: How is God sharing in our ups and downs? Have we become a good companion to our friends in their ups and downs? Do we accompany Jesus in his way of the cross and resurrection?

 

Br. Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Photo by Harry Setianto, SJ

 

SIKAP LEPAS BEBAS MENGIKUTI JALAN SALIB

Posted by admin on March 23, 2018
Posted in renungan 

Sabtu, 24 Maret 2018

SIKAP LEPAS BEBAS MENGIKUTI JALAN SALIB

Yoh 11:45-56

Bacaan Injil hari ini menyiapkan hati kita sebelum memasuki pecan suci. Dalam Injil hari ini dikisahkan bahwa peristiwa Yesus membangkitkan Lazarus dari kematian, membuat banyak orang percaya kepadaYesus. “ Banyak di antara orang-orang Yahudi yang datang melawat Maria dan yang menyaksikan sendiri apa yang telah dibuat Yesus, percaya kepada-Nya.” (Yoh 11:45). Oleh karena itu imam-imam kepala dan orang farisi semakin ingin menangkap Yesus karena mengganggu kemapanan dan kenyamanan mereka. Namun Yesus tetaplah tenang dan melanjutkan karya cinta kasih seperti apa yang dikehendaki BapaNya. Yesus saatnya memasuki keheningan karena Dia telah melakukan perbuatan cinta kasih dan mewartakan karya keselamatan serta pengampunan dosa kepada mereka yang bertobat. Sekarang saatnya Yesus mengundang kita untuk percaya kepadaNya. Yesus sungguh sangat menyadari bahwa SAAT nya telah tiba dan Ia mulai menarik-diri supaya tidak diketahui para pengikutNya. « Ia berangkat dari situ ke daerah dekat padang gurun, ke sebuah kota yang bernama Efraim, dan di situ Ia tinggal bersama-sama murid-murid-Nya » (Yoh 11 :53). Apa yang dapat kita renungkan dari peristiwa yang dialami Yesus ini ? Hal itu menunjukkan bagaimana Yesus membutuhkan saat-saat tenang dan damai untuk menyiapkan diri sebelum memasuki pengalaman-pengalaman sulit, jalan salib, kisah sengsara. Tetapi Yesus juga ingin menyiapkan hati para murid secara personal dan intim, sebelum Ia memasuki kisah sengsara, kisah jalan salib, jalan menuju puncak Golgota.

Dalam masa prapaskah ini, kita pun diundang untuk menyiapakan hati kita dalam keheningan dan doa untuk menrenungkan Kasih Allah yang begitu besar sehingga mengurbankan PuteraNya yang Tunggal untuk menebus dosa-dosa manusia. Sebentar lagi kita akan memasuki pekan Suci. Oleh karena itu marilah kita memasuki kisah sensara, kematian dan kebangkitan Yesus dalam semangat tobat, setia dan penuh harapan menghadapi berbagai macam kesulitan.

“Tuhan Yesus, hari-hari kisah sengsaraMu sudah semakin mendekat, buatlah kami senantiasa setia dan rendah hati seperti teladanMu. Bantulah kami untuk berani merangkul salib kami masing-masing sehingga kami pun mampu melihat kemuliaan dan kebangkitan bersamaMu, sekarang dan selama-lamanya”. Amin.

YESUS, ALLAH YANG HIDUP DAN HADIR DALAM HIDUP SEHARI-HARI

Posted by admin on March 22, 2018
Posted in renungan 

Jumat, 23 Maret 2018

YESUS, ALLAH YANG HIDUP DAN HADIR DALAM HIDUP SEHARI-HARI

Yoh 10:31-42

Bagi orang Kristen, Yesus adalah Pribadi Allah yang sungguh menjadi manusia dan menghadirkan wajah Allah yang penuh belas kasih. Orang-orang yahudi tidak percaya bahwa Yesus adalah Mesias. Mereka handak menangkap Yesus bukan karena perbuatan-perbuatan baik yang telah dilakukan Yesus tetapi karena Yesus menyamakan diriNya dengan Allah. Orang Yahudi berkeras hati untuk menerima Yesus sebagai Bapa karena menghadirkan Pribadi Allah yang mencintai dan mengasihi seturut Hukum Cinta Kasih. Hidup Yesus mempunyai misi untuk melaksanakan kehendak Bapa. “Makananku adalah melakukan kehendak Allah” (Yoh 4:34). Taat melakukan kehendak Allah berarti menerima dengan penuh ketaatan, jalan penderitaan atau jalan salib menuju Golgota. Yesus menghadirkan pribadi Allah yang hidup, yang solider dengan umat manusia. Yesus identik dengan Bapa karena Ia melakukan kehendak Bapa, karya keselamatan, jalan Salib, jalan penderitaan. “Dengan demikian kita telah dikuburkan bersama-sama dengan Dia oleh baptisan dalam kematian, supaya, sama seperti Kristus telah dibangkitkan dari antara orang mati oleh kemuliaan Bapa, demikian juga kita akan hidup dalam hidup yang baru.” (Rm 6:4).

Merenungkan kisah sengsara dan jalan Salib Kristus, kita pun hendak meneladani sikap Bunda Maria dan murid yang dikasihi, yang dengan setia dan taat berdiri di kaki Salib Yesus. Sebentar lagi kita akan masuk dalam pekan suci. Liturgi Gereja katolik mengundang kita untuk merenungkan kisah Sengsara Yesus Kristus. Allah tidak pernah memaksakan kehendakNya tetapi menyapa kita dengan menunjukkan betapa besar KasihNya kepada kita. Masihkah kita berkeras hati menanggapi Kasih Allah yang begitu besar kepada kita ?

“Tuhan Yesus Kristus, semoga kami sebagai murid-muridMu mampu siap sedia memberikan hidup kami untuk melakukan kehendakMu dan berani memberi kesaksian kepada sesama kami melalui tindakan cinta kasih”. Amin.

SABDAMU, SUMBER HIDUP

Posted by admin on March 21, 2018
Posted in renungan 

Kamis, 22 Maret 2018

SABDAMU, SUMBER HIDUP

Yoh 8:51-59

Beberapa hari lagi kita akan memasuki kisah sengsara Yesus Kristus. Kita diundang untuk merenungkan kembali makna dari kisah sengsara. Yesus tidak banyak berkata-kata. Dalam keheningan dan doa, Ia mengundang kita untuk tinggal bersamaNya. Pada awal Injil hari ini, Injil Yohanes mengajak kita untuk mendengarkan SabdaNya, “Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya barangsiapa menuruti firman-Ku, ia tidak akan mengalami maut sampai selama-lamanya” (Yoh 8:51).

Dari bacaan Injil hari ini kita merenungkan dua hal penting dalam memasuki kisah sengsara dan juga pertobatan diri kita. Pertama, Yesus mengundang kita untuk memegang SabdaNya dengan setia dan taat, mengikuti dan melaksanakan kehendakNya. Oleh karena itu mengapa dalam setiap liturgi dalam Gereja Katolik, kita senantiasa diajak untuk merenungkan Sabda Allah agar hidup kita berakar pada Sabda dan kita pun mempunyai relasi intim dan mendalam dengan Allah. Kedua, Sabda Allah itu tak akan berhenti untuk memberikan hidup. Artinya harapan dan iman kita kepada Allah senantiasa hidup dan relasi kita dengan Allah semain mendalam dan intim. Memberikan hidup berarti Sabda Allah memberikan harapan, semangat dan kekuatan untuk mencintai, senantiasa percaya akan pintu belas kasih dan pengampunan Allah dan senantiasa terbuka bagi mereka yang bertobat.

“Tuhan Yesus, semoga SabdaMu senantiasa menjadi pelita bagi hidup kami sehari-hari. Amin.

Translate »