Header image alt text

indonesian catholic online evangelization

Trinity and Us

Posted by Romo Valentinus Bayuhadi Ruseno OP on May 26, 2018
Posted in renungan  | Tagged With: ,

The Solemnity of the Most Holy Trinity

May 27, 2018

Matthew 28:16-20

 

“Go, therefore, and make disciples of all nations, baptizing them in the name of the Father, and of the Son, and of the Holy Spirit, (Matt. 28:19)”

 

This Mystery of Trinity is rightly called the mystery of all the mysteries because the Holy Trinity is at the core of our Christian faith. Yet, the fundamental truth we believe is not only extremely difficult to understand, but in fact, it goes beyond our natural reasoning. How is it possible that we believe in three distinct Divine Persons, the Father, the Son and the Holy Spirit, and yet they remain One God? Some of the greatest minds like St. Augustine, St. Thomas Aquinas and Pope Emeritus Benedict XVI have attempted to shed a little light on the mystery. However, in the face of such immense truth, the best explanations would seem like a drop of water in the vast ocean.

I have no illusion that I could explain the mystery better than the brightest minds of the Church, but we may reflect on its meaning in our ordinary lives. The joyful Easter season ended with the celebration of the Pentecost Sunday last week, and we resume the liturgical season of the year or simply known as the ordinary season. As we begin once again the ordinary season, the Church invites us to celebrate the Solemnity of the Most Holy Trinity or the Trinity Sunday. The Church seems to tell us that the unfathomable mystery of Trinity is in fact intimately closed to our day-to-day living, to our daily struggles and triumphs, to our everyday pains and joys. How is our faith in the greatest mystery of all connected to our ordinary and mundane lives?

We often have false images of God. We used to think that God or Trinity is the greatest person (or three persons) among things that exist He is like a universal CEO that manages things from an undisclosed location or a super big and powerful being that controls practically everything. Yet, this is not quite right. He is not just one among countless beings. God is the ground of our existence. He is the very reason why anything exists rather than nothing. Thus, the act of creation is not what happened at the Big Bang 13.7 billion years ago. It is fundamentally God’s gift of existence to us. To be created means that we do not necessarily exist. Every single moment of our life is God’s gratuitous gift.

The Scriptures reveals the mystery of our God. He is not solitary and self-absorbed God, but our God is one God in three divine persons. Our God is a community founded on creative mutual love and constant self-giving. Therefore, our creation is not a mere accident, but God’s creative act and His gift of love. We exist in the world because God cannot but love us and wants us to share in the perfect life of the Trinity. St. Thomas Aquinas rightly says that we only believe two fundamental teachings, two credibilia : first, God exists, and second, we are loved in Jesus Christ.

We often take for granted our lives and immerse in daily concern of life; we rarely ask what the purpose of this life is. Yet, it does not diminish the truth that God lovingly sustains our existence and cares for us, even to the tiniest fraction of our atom. Whether we are busy doing our works, focus on our family affairs, or simply enjoying our hobbies, God is intimately involved. Thus, apart from God, our lives, our daily toils, and concerns, our sorrows and joys are meaningless and even revert to nothingness. Celebrating the Trinity Sunday means to rejoice in our existence as a gift, and to glorify God who is immensely loving and caring for us.

 

Br. Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

BELAJAR DARI ANAK

Posted by admin on May 25, 2018
Posted in renungan 

RENUNGAN LUBUK HATI

 

Sabtu, 26 Mei 2018

 

BELAJAR DARI ANAK

 

Yak 5:13-20

Mrk 10:13-16

 

Yesus menerima anak-anak, dan memberkati mereka. Kepedulian Yesus pada anak bukan berhenti pada kepedulian namun juga mengandung pesan bahwa sikap hidup anak yang polos, apa adanya, jujur, tulus dan penuh kepasrahan menjadi sikap dasar yang penting sebagai orang beriman agar bisa mengalami kehadiran Allah yang penuh damai dalam kehidupan sehari-hari. Yesus mengangkat anak kecil untuk menunjukkan sikap yang benar dalam menjalin relasi dengan Allah dan sesama.

 

Semakin bertambah usia dan semakin bertambah keahlian, kedudukan, dan kekayaan apakah otomatis orang semakin dewasa dalam iman? Pertumbuhan iman bisa berhenti jika segala yang dimiliki oleh manusia membuat dirinya lupa akan Allah dan menjadi sombong. Oleh karena itu tidak menjamin jika segalanya sudah dimiliki oleh manusia menjamin hidupnya semakin dekat dengan Allah dan semakin solider dengan sesamanya.

 

Kedewasaan iman tergantung pada kedalaman relasi dengan Kristus. Relasi yang dijalin dalam proses waktu yang panjang, dimana terjadi pergulatan yang tidak mudah, namun karena kesetiaan, akhirnya membuat pribadinya menjadi kuat dan menjadi terbuka akan rencana/kehendak Allah. Menjadi orang beriman tidak bisa dengan cara kilat/instan. Pergulatan yang panjang adalah sarana dan cara iman dimunikan dan orang beriman dididik menjadi pribadi yang ulet, sabar dan setia. Belajar dari sikap hati anak, kita bisa melihat bahwa ketulusan, kerendahan hati, kepasrahan, kejujuran, dan ketaatan menjadi keutamaan yang harus dimiliki setia orang beriman.

 

Marilah berdoa,

Allah yang Maha kasih, ajarilah kami menjadi rendah hati, agar kami mampu menjadi pribadi yang siap untuk dibentuk dan diubah seturut dengan kehendak Mu. Sebab hanya melalui Dikaulah kami menemukan kekuatan, kedamaian dan keselamatan. Demi Kristus Tuhan dan pengantara kami, Amin.

SETIA DALAM PANGGILAN BERKELUARGA

Posted by admin on May 24, 2018
Posted in renungan 

RENUNGAN LUBUK HATI

 

Jumat, 25 Mei 2018

 

SETIA DALAM PANGGILAN BERKELUARGA

 

Yak 5:9-12

Mrk 10:1-12

 

Yesus Kristus menaruh perhatian yang sangat besar pada keluarga. Oleh karena itu Dia menyatakan bahwa “Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia.” Dengan demikian pernikahan bukan sebatas urusan manusia semata, namun hal itu adalah peristiwa iman. Dengan iman, orang memandang bahwa kehadiran pasangannya adalah anugerah dari Allah. Karena itu yang menjadi kasih dan kesetiaan kepada pasangan didasarkan pada iman kepada Allah. Karena cinta kepada Allah maka ia setia dan mengasihi pasangannya.

 

Dengan iman tersebut, maka pertanggungjawaban masing-masing pasangan ditujukan kepada Allah dan bukan pada manusia. Ikatan yang didasarkan pada iman menjadi fondasi ikatan kesetiaan pasangan dalam keluarga. Oleh karena itu relasi dengan Kristus atau hidup rohani menjadi sumber kekuatan, kasih dan kesetiaan masing-masing pasangan dalam perjalanan berkeluarga. Ketika kekuatan Allah bekerja maka tidak ada yang mustahil, sehingga keluarga tersebut akan mampu melewati perjalanan suka-duka sebagai suami-istri.

 

Kebahagiaan dalam keluarga terwujud saat mereka bisa saling berbagi, menerima, melengkapi, memahami dan mengasihi pasangannya karena penghayatan iman mereka. Tanpa iman, maka relasi mereka hanya sebatas pada relasi fisik. Jika hanya fisik atau jasmani maka relasi mereka akan sangat rapuh karena apa yang materi dan fisik akan memudar dan hancur. Oleh karena itu Kristus ingin bahwa masing-masing keluarga mendasar relasi pasangan dalam keluarga pada iman kepada Kristus.

 

Marilah berdoa,

Allah yang maha Kasih, Engkaulah sumber hidup kami. Berjalan bersamaMu menjamin kami untuk hidup setia dalam panggilan menjadi pewarta kebaikanMu. Kami bersandar kepada Mu, karena tanpa Dikau kami bukanlah apa-apa. Dimuliakanlah NamaMu dalam seluruh perjalanan hidup kami. Demi Kristus Tuhan dan pengantara kami. Amin.

 

 

 

HIDUP BENAR

Posted by admin on May 23, 2018
Posted in renungan 

RENUNGAN LUBUK HATI

 

Kamis, 24 Mei 2018

 

HIDUP BENAR

 

Yak 5:1-6

Mrk 9:41-50

 

Panggilan setiap pengikut Kristus adalah menjadi saksi akan kebaikan Allah dan siap mewartakan kebaikan Allah kepada sesama. Dengan demikian dimana pun dan kapan pun kita diutus untuk bertindak baik dan benar. Jika orang bertindak baik dan benar maka ia harus menyingkirkan segala yang menyesatkan sebab kesesatan melawan kebenaran. Bagaimana kebenaran itu bisa ditegakkan? Kebenaran bersumber dari Allah. Oleh karena itu jika kita memiliki relasi yang dekat dengan Allah, maka Roh Nya akan menerangi hati, pikiran dan akan menggerakkan kita untuk melakukan kebenaran.

 

Dengan menjaga relasi dengan Kristus secara tekun kita akan membentengi diri dari tindakan yang bisa menyebabkan penyesatan atau tindakan melawan kebenaran. Dalam hal ini hidup rohani adalah fondasi yang membuat manusia tetap kuat menegakkan kebaikan dan kebenaran. Ada kalanya hidup rohani terasa kering, namun dalam situasi seperti itu bukan berarti Allah tidak hadir. Pengalaman kekeringan hidup rohani adalah pengalaman “padang gurun”, dimana iman kita sedang dimurnikan. Ketekunan dalam menjalin relasi dengan Kristus akan membentuk pribadi yang rendah hati, setia dan kuat iman.

 

Penyesatan akan melahiran penyesatan, dan dampaknya akan merusak diri sendiri dan orang lain serta komunitas/masyarakat. Hoax/gossip yang disebar adalah penyesatan yang mengancam keharmonisan dalam masyarakat. Kita semua diutus untuk melawan kesesatan dengan kejujuran, ketulusan, kerendahan hati.

 

Marilah berdoa,

Allah Bapa yang Maha Kasih, Dikaulah benteng kekuatan kami. Kami serahkan seluruh hidup kedalam tangan Mu. Jaga lah hati, pikiran dan tindakanMu agar kami berani menegakkan kebenaran dan kebaikan kehidupan ini, Demi Kristus Tuhan dan mengantara kami, Amin

TERBUKA UNTUK  PELAYANAN

Posted by admin on May 22, 2018
Posted in renungan 

RENUNGAN LUBUK HATI

 

Rabu, 23 Mei 2018

 

TERBUKA UNTUK  PELAYANAN

 

Yak 4:13-17

Mrk 9:38-40

 

Ada seseorang diluar pengikut Kristus mengusir setan dengan memakai nama Yesus Kristus. Kemudian hal itu oleh murid-murid dilaporkan kepada Yesus Kristus. Apa jawaban Yesus? “Jangan kamu cegah dia! Sebab tidak seorangpun yang telah mengadakan mujizat demi nama-Ku, dapat seketika itu juga mengumpat Aku.” Yesus ingin para muridNya memiliki pandangan yang terbuka dan tidak sombong. Berpikir terbuka artinya tidak hanya memikirkan kepentingan-kepentingan diri atau kelompok, namun berpikir untuk kebaikan bersama. Bersikap sombong artinya merasa diri lebih baik dari orang lain dan menganggap rendah sesamanya.

 

Keterbukaan bisa terwujud jika orang tidak terpaku dengan ego dan pemikiranya sendiri, namun mau menempatkan kebaikan dan kasih diatas segala-galanya. Jika orang bertitik tolak pada niat baik dan kasih maka ia akan mampu menerima siapa pun yang memiliki niat yang sama untuk mewujudkan kebaikan tersebut dalam kehidupan. Hambatan utama dalam membangun keterbukaan adalah diri sendiri yang sombong. Sikap sombong menutup seseorang akan segala kebaikan, keutamaan dan harapan yang ada didepannya.

 

Seseorang akan melihat anugerah Allah dan kebaikanNya dalam diri sesama jika ia menanggalkan kesombongannya. Kesombongan bisa dipatahkan dengan keberanian menyangkal diri menolak segala bentuk pemikiran yang menganggap diri lebih dari yang lain. Seperti Yesus Kristus sendiri mau menerima mereka yang punya niat yang sama dalam memperjuangkan kebenaran kendatipun orang tersebut bukan murid Kristus, maka kita dipanggil untuk bersikap terbuka dan selalu rendah hati dalm pelayanan.

 

Marilah berdoa,

 

Allah Bapa yang Maha Kasih, hadirlah selalu didalam diri kami, agar kasihMu memenuhi hati kami.  Kasih Mu adalah sumber kebahagiaan kami. Semoga kami siap menerima sesama apa adanya dan untuk mewartakan belas kasih Mu kepada mereka yang menderita. Demi Kristus Tuhan dan mengantara kami, Amin.

 

 

 

Translate »