Header image alt text

indonesian catholic online evangelization

Santo Benediktus Abbas

Posted by admin on July 10, 2018
Posted in renungan 

Peringatan Santo Benediktus Abbas

Image result for saint benedict abbot

Kalau anda pernah tinggal di biara Trapis atau Benediktin, kita akan merasakan pusat kehidupan utama mereka: doa, kerja, kesederhanaan, dan hospitalitas. Santo Benediktus menuliskan regula/aturan hidup membiara yang dia dirikan di abad 5 Masehi. Gaya hidup kelompoknya menjadi dasar hidup iman Kristiani di Eropa.

Sebelum menuliskan aturannya, Benedik melihat bahwa kemalasaan dan penundaan menjadi salah satu akar dari hidup rohani yang tidak maju. Malas bukan hanya soal pekerjaan atau kegiatan harian, tapi lebih pada tak ada kehendak untuk berkembang lebih dalam olah rohani. Kemalasan rohani akan menuntun pada situasi diri yang lemah dan tak berdaya. Orang lain perlu mendorong, menarik, bahkan memecut agar mau maju.

Bagun!

Itu kata pertama dalam tulisan “Aturan Santo Benediktus.” Inilah waktu bagi kita untuk bergerak dari keadaan rohani yang membuat tidak berubah. Kita jatuh pada keyakinan bahwa kita ada untuk menikmati hiburan, kemudahan dan membuat hidup nyaman.

Dia melanjutkan bahwa tidur itu penting. Bahkan ada orang yang tidur selama 18 sampai 20 jam sehari. Jika kamu tidur lebih dari 7 jam sehari, kamu perlu bertanya pada diri sendiri, “Apakah aku seorang pemalas?”

Ada banyak hal yang bisa dilakukan. Kamar mandi perlu dibersihkan, rumput perlu dicukur, apakah kita berdoa pagi dan sore; apakah kamu menolong orang? Adakah buku yang bisa saya baca? Jika ada.. bangunlah!

Disiplin

Santo Benediktus menekankan disiplin keras pada para pengikutnya. Pusat kegiatan mereka ada pada “disiplin dan patuh”. Hal itu bukan hanya untuk membuat hidup teratur tapi membangun karakter pribadi yang baik. Semua orang mengerjakan hal yang sama pada waktu yang bersamaan, dan taat pada pemimpin mereka. Tak perlu ada kompain atau keluhan. Semua dilakukan sesuai aturan dari pembesar dan atasan.

Untuk melawan kemalasan, orang perlu membuat jadwal hidup. Jika engkau punya keluarga, buatlah jadwal. Jika kamu hidup hanya dengan pasangan, buatlah jadwal. Jika kamu hidup sendiri, buatlah jadwal dan taatilah itu dengan disiplin.

Benediktus menekankan “Ora et Labora.” Bekerja dan berdoa! Doa menjadi dasar hidup bersama dan pribadi. Doa menjadi senjata paling ampuh untuk melawan perang spiritual antara Roh baik dan Roh jahat.

Terheran-heran!

Posted by admin on July 9, 2018
Posted in renungan 

Heranlah orang banyak, katanya: “Yang demikian belum pernah dilihat orang di Israel.” (Matt. 9:33 )

Image result for map of lembata

 

Saya hanya bisa berdecak kagum melihat keindahan matahari terbenam di Pulau Lembata. Salah satu pulau di wilayah Nusa Tenggara Timur, hanya 40 menit terbang dari Kupang. Laut diantara pulau Lembata, Adonara dan Alor terlihat kuning keemasan, indah disela kegelapan gunung Ile Boleng. Keelokannya melebihi sunset di Bali dan Lombok! Tempat ini terlihat masih perawan. Sepi dari gedung dan hotel. Tak ada turis asing. Hanya orang lokal yang menemani saya.

Tenyata perasaan heran bercampur kagum mengantar kita pada sikap hormat dan syukur. Syukur pada Allah kalau  saya pernah melihat keindahan ini yang luar biasa. Saya berkata-kata seperti orang Israel yang melihat Yesus menyembuhkan seorang bisu, “Yang demikian belum pernah kita lihat!”

Bayangkanlah kalau anda pernah pergi ke sebuah tempat wisata untuk kedua atau ketiga kalinya. Pasti ada perasaan yang beda saat anda melihat tempat itu pertama kalinya. Ada kekaguman, heran, serta keinginan untuk terus menikmatinya. Namun perasaan itu lama-lama luntur ketika kita sudah terbiasa melihatnya. Keagungan dan keindahan yang ada menjadi biasa dan tak menimbulkan rasa syukur serta heran.

Perasaan heran orang Galilea membuat hati mereka terbuka untuk menerima pewartaan Yesus. Keterbukaan hati menggerakkan Yesus juga untuk melakukan penyembuhan dan mukjijat. Bahkan Yesus tergerak hatiNya setelah melihat mereka yang menerimaNya dengan lapang penuh rasa heran dan gembira.

Semoga kita semua juga bisa menumbuhkan sikap heran, kagum serta syukur sehingga kita bisa merasakan dan melihat Yesus yang terus membuat mukjijat dan mewartakan sabdaNya dalam pengalaman hidup harian yang biasa.

Lack of Faith

Posted by Romo Valentinus Bayuhadi Ruseno OP on July 7, 2018
Posted in renungan  | Tagged With: ,

Fourteenth Sunday in Ordinary Time

July 8, 2018

Mark 6:1-6

 

He was amazed at their lack of faith.” (Mk. 6:6)

 

When Jesus teaches in the synagogue in Nazareth, the listeners are amazed by his wisdom. Jesus speaks like a mighty prophet. However, the people soon make a background check on Jesus, and they realize Jesus’ identity and his family background.  Nazareth is a small rural town in Galilee, and everyone knows everyone in this kind of setting. The people of Nazareth know Jesus as a son of a carpenter, and himself a carpenter. They are familiar also with Jesus’ family and relatives.

 

It is just impossible for a carpenter, an artisan who spends most of his time doing manual labor to acquire such profound wisdom. The people of Nazareth also recognize that Jesus is a son of Mary and they know His relatives. It seems the people are aware that Jesus’ relatives are just ordinary and poor Jews. None of them seems to possess a notable personality. Jesus should stay where He belongs: an ordinary Jewish and a poor laborer. Thus, to become a charismatic preacher and an admirable rabbi is simply unthinkable. Jesus, recognizes the root cause: lack of faith.

 

We are living two millennia after Christ, but unfortunately, this debilitating mentality continues to exist and even thrive in our midst. It is a mentality that boxes people in their limitations and suppresses their potential to grow and improve. This is the mentality that fuels fundamentalism, racism, negative stereotypes, and other destructive ideologies that divide people. Once a loser, always a loser; once an Asian, always an Asian; once an addict, always an addict. Yet, this mentality does not only reside the big ideologies, but it also affects our personal lives: when we think we are always right, and others are always wrong; when we believe that we are holier than others; when we only trust ourselves; when we refuse to forgive others; when we cling to our pride.

 

Dealing with this crippling mentality, Jesus brings to the fore the reality that humans are beings with faith. With faith, that is the spiritual gift from God; we are empowered to go beyond our own cultural, mental, bodily limitations. In the Gospels, faith enable God’s power to do much more in persons’ lives, and the same faith inspires us to see God’s works in us. The paralytic is healed because of the faith of his friends who carry him to Jesus (Mark 2:1-6); the woman with hemorrhage is healed because of her faith (Mark 5:25-34); Jesus tells Jairus, the synagogue official to have faith and Jesus brings his daughter to life (Mark 5:35-43).

 

I am currently doing my pastoral work as a chaplain in one of the hospitals in Metro Manila. My duty is to visit the patients, to give blessing and minister the Holy Communion, but fundamentally, to be with them and listen to them. I cannot do much in term of physical cure, but I realize that sickness is not only physical. Healing includes psychological and spiritual aspects. I journey with the patients in their joy, sorrow, frustration, and hope. I accompany them as they try to resolve some issues like anger, broken relationship, and painful memories. As I walk with them, I also realize my weaknesses. Yet, despite this brokenness, people with faith have always found strength and courage to heal, to go beyond themselves and live a meaningful life.

 

Br. Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

PUASA SEBAGAI SARANA UNTUK SEMAKIN DEKAT DENGAN TUHAN

Posted by admin on July 7, 2018
Posted in renungan 

Sabtu, 7 Juli 2018
Hari Biasa (H)
[Am. 9:11-15; Mzm. 85:9,11-12,13-14; Mat. 9:14-17]
PUASA SEBAGAI SARANA UNTUK SEMAKIN DEKAT DENGAN TUHAN
Saya pernah berkesampatan untuk bisa mengikuti ‘taping’ Kick Andy Show, dan Andy Noya membuka acara itu dengan sebuah lelucon: “Kalau di bulan puasa, terus ada yang tidak puasa, kelihatan dari apanya?” Penonton menjawab: “Dari betis!” Kok bisa? Ya, kalau di bulan puasa, banyak warung yang ditutup sehingga kalau ada yang makan di dalamnya, paling tidak hanya kelihatan betisnya saja. Nah, fenomena ‘warung yang ditutup tirai atau sejenisnya’, bisa saja kita tangkap sebagai pertanda bahwa puasa itu sekedar menahan lapar dan haus, sehingga godaan terhadap rasa lapar dan haus harus dihindari. Maka, marak juga di waktu-waktu lalu, razia tempat makan yang dilakukan oleh oknum-oknum yang mungkin merasa ‘terganggu’ puasanya. Padahal, esensi dari puasa itu, tentu saja adalah semakin mendekatkan diri kepada Tuhan, termasuk kita di dalamnya belajar sabar, menahan diri dari amarah, serta semakin sadar untuk melakukan perbuatan-perbuatan amal. Nah, ini arti puasa yang sesungguhnya!
Hari ini kita mendengar bagaimana murid-murid Yesus ditegur oleh orang-orang Farisi, karena tidak melakukan puasa. Namun Yesus menjawab orang-orang Farisi dengan sebuah gambaran: “…tak seorang pun dapat menambalkan secari kain yang belum susut, pada baju yang tua, karena jika demikian, kain penambal itu akan mencabik baju itu, lalu makin besarlah koyaknya…” Yesus mau mengatakan bahwa puasa bertujuan supaya orang bisa merasakan kesatuan yang mendalam dengan Tuhan, bukan sekedar ‘atraksi’ supaya banyak orang yang kagum dan memuji. Sehingga, seharusnya dengan puasa, kita makin banyak berbuat baik kepada orang lain, bukan malah mencurigai dan berpikiran jahat kepada orang lain. Maka, kalau ada kesempatan untuk berpuasa, mari kita lakukan dengan tulus dan bukan karena paksaan, sehingga hati kita makin jujur dan terbuka pada Tuhan.
Selamat pagi, selamat mendekatkan diri kepada Tuhan. GBU.

BERJUANG DEMI KESEMBUHAN ROHANI

Posted by admin on July 5, 2018
Posted in renungan 

Jumat, 6 Juli 2018
Hari Biasa (H)
[Am. 8:4-6,9-12;  Mzm. 119:2,10,20,30,40,131;  Mat. 9:9-13]
BERJUANG DEMI KESEMBUHAN ROHANI
Beberapa waktu yang lalu, ada seorang pastor yang meninggal setelah operasi bypass jantung di salah satu rumah sakit. Mungkin cerita ini bukan satu-satunya, karena banyak orang yang mengalami demikian. Bagi sebagian orang, ketika tahu bahwa dirinya sakit, akan segera berusaha mencari cara supaya penyakitnya sembuh atau minimal, berkurang rasa sakitnya. Entah dengan mencari obat-obatan, mendatangi dokter atau rumah sakit, dan seterusnya. Semua dilakukan karena kesadaran bahwa dirinya sakit, dan sadar pula ingin sembuh. Kesadaran untuk ingin sembuh ini, pun mendorong orang untuk berolahraga, menjaga pola makan dan aktivitas sehari-hari. Nah, ini tadi soal penyakit fisik dan kesehatan badan, tapi juga bisa diterapkan pada ‘penyakit jiwa’ dan kesehatan rohani. Bahwa kesadaran akan ‘penyakit jiwa’ dan kesadaran untuk mendapatkan kesehatan rohani, mendorong orang untuk melakukan usaha-usaha yang berguna.
Yesus hari ini bertemu dengan Matius, si pemungut cukai. Sapaan Yesus kepada Matius, dengan berkata: “Ikutlah Aku”, telah mengubah segalanya. Pemungut cukai, pada zaman itu adalah pemeras rakyat dan orang yang mengumpulkan kekayaan dari usaha yang tidak halal, pun demikian dengan Matius. Sapaan Yesus kepada Matius telah menyadarkannya bahwa dia adalah orang yang memiliki ‘penyakit jiwa’, karena telah berdosa dengan merugikan banyak orang. Namun kesadaran bahwa dia ‘sakit’, mendorong dia untuk mendapatkan kesehatan rohani. Tanpa kesadaran itu, mungkin Matius masih menjadi orang yang sama. Benar bahwa Yesus mengatakan: “Bukan orang yang sehat yang memerlukan tabib, melainkan orang sakit.” Semoga, kita selalu sadar diri bahwa kita adalah manusia-manusia yang ‘sakit’, sehingga kita senantiasa berusaha untuk sembuh, dengan bantuan rahmat Allah.
Selamat pagi, selamat berjuang mendapatkan kesembuhan rohani. GBU.
Translate »