Header image alt text

indonesian catholic online evangelization

Road to Emmaus, Road Back to God

Posted by Romo Valentinus Bayuhadi Ruseno OP on April 25, 2020
Posted in renungan  | Tagged With: ,

3rd Sunday of Easter

April 26, 2020

Luke 24:13-35

The two disciples went back home to Emmaus. One of them was Cleopas, and his companion probably was his wife. Perhaps they got afraid of the Roman and Jewish authorities who might go after them after they killed Jesus, the leader. Or maybe, they just got their hope and expectation shattered when Jesus, their expected Messiah, was crucified.

Cleopas and his wife were doing what we usually do in times of sadness and troubles. They told stories and tried to make sense of what had happened. Yet, the thing did not go right. Their dialogue did not make them better. Instead, they became so depressed, and they even failed to recognize Jesus, who was very close. Indeed, we need someone to share our stories, but when this person is not prepared, despite his goodwill, our stories can go from bad to worse. We need to remember that the first dialogue in the Bible took place in the garden of Eden between Eve and the serpent.

Fortunately, Jesus intervened at the right moment. Jesus brought in the missing piece. Jesus offered the word of God. The couple was so blessed because they experienced the first-ever Bible study, and it was Jesus Himself who guided them. Yet, Jesus made it clear that they knew their scriptures, but they were lack of faith. When we read the Bible without faith, it is nothing more than a lovely and inspiring novel or an ancient and mysterious text. Only with faith, we encounter God who is telling His stories. No wonder Jesus said to them that the scriptures are about Him because Jesus is the same God who was present in the creation, who led the Hebrew peoples in their exodus, and who sent prophets to guide the Israelites in the promised land.

Cleopas and his wife remind us of the first couple who also failed to have faith in God, Adam, and Eve. After the first dialogue with Satan that led them to doom, they deserved nothing but death. Yet, God did not allow death to overcome them immediately, but instead, He made them leather cloth as a sign of His protection, as well as the sign of the first blood sacrifice. When they left the beautiful garden as a consequence of their choice, it was also the last time we heard about what happened inside the garden. Why? God was no longer in the garden. He was following Adam and Eve. God did not wish they wondered even farther but guided them back to paradise. As God journeyed with Adam and Eve, he also walked with Cleopas and his wife, as they make their way to the new Eden. In the end of their journey, they recognized Jesus when He took bread, blessed, broke and shared it. These were the eucharistic gestures. They entered the new Paradise, the celebration of the Eucharist.

Our stories in life, even in the most destressing moment like now, make sense when God enters into the pictures with His stories. The journey to Emmaus sheds a brighter light on the purpose of the Holy Mass. In the Mass, we always begin with the reading of the scriptures because we are invited to see our little stories in God’s greatest stories. When we find the meaning of our lives in God, that is the time we discover Jesus alive and fresh in the breaking of the bread.

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Kerja Bersama Tuhan

Posted by admin on April 24, 2020
Posted in renungan 

Sabtu, 25 April 2020
Hari Raya Pesta Santo Markus, Penginjil

1 Petrus 5:5-14
Mazmur 89
Markus 16:15-20

Para ahli Kitab Suci modern pada umumnya berpendapat bahwa akhir Injil Markus yang orisinil adalah pada ayat 8: “Lalu mereka (Maria Magdalena, Maria ibu Yakobus, dan Salome) keluar dan lari meninggalkan kubur itu, sebab gentar dan dahsyat menimpa mereka. Mereka tidak mengatakan apa-apa kepada siapapun juga karena takut.” Terdapat kejanggalan-kejanggalan antara ayat itu dan ayat-ayat sesudahnya. Gaya tulisan pun juga berbeda. Karena itu ada teori bahwa ayat 9-20 adalah tambahan yang dimaksudkan untuk memberi akhiran Injil ini lebih penuh harapan.

Teori ini hendaknya tidak membuat kita menyangsikan kebenaran ayat 9-20. Konsili Trent tahun 1546 menyatakan bahwa ayat-ayat ini tetap resmi menjadi bagian kanon Gereja dan juga terinspirasi oleh Roh Kudus. Di Injil-injil yang lain murid-murid Yesus selalu diutus setelah Dia bangkit. Injil Lukas, kita tahu, bersambung langsung dengan Kisah Para Rasul, di mana para rasul benar- benar menjalankan perutusan mereka.

Tetapi ada satu kalimat yang unik dalam ayat terakhir dari Markus yang tidak pernah saya sadari sebelumnya: ” Dan Tuhan pun turut bekerja bersama-sama dengan mereka dan membuktikan melalui keajaiban-keajaiban bahwa pemberitaan mereka benar.”

Kadang kita merasa bahwa kerja Kristus di dunia sudah selesai setelah wafat, kebangkitan, dan kenaikanNya ke surga. Sama juga seperti Allah yang menciptakan alam semesta dalam enam hari, lalu beristirahat pada hari ketujuh. Seolah-olah, Tuhan lepas tangan setelah itu. Kita hanya seperti mesin atau robot yang tidak perlu diladeni lagi. Padahal Allah terus mencipta. Kristus terus bekerja. Setiap perbuatan baik kita didukung dan dikuatkan oleh Allah. Kalau Tuhan ada bersama kita, siapa yang harus kita takuti?

Semua Kebagian

Posted by admin on April 23, 2020
Posted in renungan 

Jumat, 24 April 2020

Kisah Para Rasul 5:34-32
Mazmur 27
Yohanes 6:1-15

Salah satu cara merenungkan bacaan Kitab Suci yang diajarkan oleh para Yesuit adalah dengan menggunakan kemampuan imajinasi kita. Pilihlah salah satu karakter dalam cerita itu dan bayangkan anda ada di situ. Apa yang anda lihat dan dengar? Bau yang anda cium? Perasaan di kulit anda atau emosi di hati anda?

Kalau saya membayangkan menjadi salah satu murid Yesus yang bersama dia di atas bukit, kemudian melihat ribuan orang datang mau mendengarnya, saya pasti panik. Apalagi Yesus kemudian berbalik ke saya dan bertanya, “Bagaimana mau dikasih makan orang sebanyak itu?” Jawaban saya kurang lebih akan sama seperti Filipus:

“Tidak mungkin kita yang kasih makan. Biayanya pasti mahal sekali dan kita tidak punya banyak uang.”

“Suruh mereka cari makan sendiri! Itukan bukan tanggung jawab kita. Tidak ada yang menyuruh mereka datang.”

Tapi Andreas tiba-tiba menunjuk kepada seorang anak yang membawa lima roti dan dua ikan. Ternyata itu cukup untuk memberi makan semua orang sampai sisa duabelas keranjang. Jumlah yang sederhana dan kelihatannya kecil, ternyata bisa dibagikan dan mencukupi semua orang. Tidak ada yang serakah, tidak ada yang berebut, tidak ada yang merasa dicurangi.

Berkah Tuhan memang mencukupi untuk semua manusia dan semua makhluk ciptaannya. Tapi seringkali kita yang serakah dan tidak pernah puas. Adalah sebuah skandal besar di mana sebagian orang tidak cukup makan dan sebagian lagi suka memilih-milih makanan dan membuang sisa yang tidak dimakan. Adalah sebuah kekejaman di mana sumber daya alam digerusi untuk memuaskan kebutuhan mewah sebagian orang dan penduduk asli di sekitarnya hanya kebagian alam yang rusak dan terjangkit penyakit.

Salah satu pengalaman paling berkesan saya adalah ketika ke Sumba mengunjungi Romo Yosef Dowa yang pernah melayani umat Katolik di Los Angeles. Ketika itu tepat akan ada acara pentahbisan Uskup Weetebula yang baru. Sehari sebelum pentahbisan, semua wakil umat dari paroki-paroki dan komunitas sekeuskupan datang membawa bahan-bahan makanan untuk dikonsumsi setelah misa esok harinya. Sebagian besar masyarakat Sumba masih hidup sederhana dan makanan hanya apa adanya. Tetapi besoknya, semua berbagi makanan dan ribuan orang semuanya kebagian dan kenyang.

Dengar….

Posted by admin on April 22, 2020
Posted in renungan 

Kamis, 23 April 2020

Kisah Para Rasul 5:27-33
Mazmur 34
Yohanes 3:31-36

Pemandangan alam di dekat Phoenix, Arizona, Amerika Serikat

Ada satu kata yang muncul dalam ketiga bacaan hari ini: dengar. Orang-orang Yahudi di Bait Allah mendengarkan kotbah para rasul tentang Yesus. Dalam Mazmur dikatakan Tuhan mendengar suara orang yang tertindas. Dan Injil Yohanes mengatakan bahwa Yesus yang telah melihat dan mendengar sendiri Allah Bapa lalu bersaksi tentangNya kepada semua orang. Tapi ada satu kata lagi yang berhubungan dengan mendengar: taat. Bahasa Latin taat, obedire, mempunyai akar kata audire atau mendengar (dari kata ini kita mendapat “audio”). Seseorang yang taat pertama-tama harus mendengar dengan baik.

Indera pendengaran kita merupakan salah satu yang selalu mencari sensasi atau perasaan. Tidak cukup cuma menonton TV, kita perlu melengkapi dengan surround sound system. Musik menjadi teman kita saat kerja, jalan-jalan, naik transportasi umum, atau mengendarai kendaraan. Saya sendiri kalau sedang olahraga merasa kalau ditambah musik akan tambah semangat. Di dunia modern kita sangat jarang menemukan saat di mana kita bisa terbebas dari kebisingan. Sangat sulitlah kita untuk taat pada Tuhan jika kita tidak bisa mendengar suaraNya.

Memang ada beberapa orang kudus yang dianugerahi mendapat komunikasi langsung dari Tuhan seperti berbicara dengan orang di depan kita. Tetapi sebagian besar dari kita pasti bertanya, kapan Tuhan berbicara sama saya? Bagaimana saya bisa mendengar suara Tuhan?

Dalam situasi wabah coronavirus ini, saya diberkati bisa tinggal di kota di mana terdapat banyak tempat alam terbuka yang bisa dikunjungi. Saya mencoba berjalan dengan tidak memakai earphone dan mendengar suara burung, kumbang, dan pepohonan yang tertiup angin. Teolog Fransiskan St. Bonaventura menyebutkan bahwa kita mempunyai dua buku: Buku Sabda (Kitab Suci) dan Buku Alam. Melalui alam ciptaanNya, Allah ingin menunjukkan kuasaNya sehingga manusia bisa mencintai dan memujiNya. Jika anda berkesempatan, lepaskanlah earphone anda, matikanlah speaker, cellphone, atau televise anda, dan dengarkanlah Tuhan yang rindu menyapa kita.

Gembala Baik atau Hakim?

Posted by admin on April 21, 2020
Posted in renungan 

Rabu, 22 April 2020

Kisah Para Rasul 5:17-26
Mazmur 34
Yohanes 3:16-21

“Gembala Baik”, Katakombe Santa Priscilla,
ca. 250 Masehi (Wilpert, Joseph (1857—1944) / Public domain, https://commons.wikimedia.org/wiki/File:Good_Shepherd_Catacomb_of_Priscilla.jpg)
Kristus sebagai Hakim pada Akhir Zaman, Katedral St. Lazarus, Autun, Perancis (photo by Jim Forest https://www.flickr.com/photos/jimforest/4899011224)

Belakangan ini banyak beredar berita tentang kriminalitas yang semakin meningkat di masa wabah COVID-19. Ada yang berpendapat bahwa orang-orang yang di-PHK semakin banyak dan mereka kelaparan. Ada juga yang mempunyai teori bahwa mereka adalah para napi yang baru dibebaskan karena kekhawatiran akan merebaknya wabah virus corona di penjara-penjara.

Kisah para rasul hari ini di mana mereka dipenjarakan lalu dibebaskan secara ajaib oleh malaikat Tuhan membuat saya teringat pada nasib mereka yang berada di belakang jeruji besi. Sistem peradilan kita menjebloskan mereka ke sana karena telah melanggar hukum. Sekarang mereka harus membayar pelanggaran itu dengan dihukum dan kebebasan mereka dibatasi. Semakin besar pelanggarannya, semakin berat hukumannya. Mata ganti mata, gigi ganti gigi. Itulah keadilan, hukuman yang setimpal.

Tapi apakah ini sungguh cara yang paling baik untuk mengatasi situasi ini? Nama resmi penjara-penjara kita adalah “Lembaga Pemasyarakatan”. Seyogyanya orang yang dikirim ke sini dibina, disembuhkan dari niat-niat jahatnya, supaya setelah keluar bisa kembali menjadi manusia yang bisa berfungsi dengan baik dalam masyarakat. Ini fungsi yang sering kita lupakan.

Injil hari ini mengandung kalimat terkenal dari Yohanes 3:16: “Begitu besar kasih Allah pada dunia sehingga Ia menganugerahkan AnakNya yang tunggal.” Pada ayat berikutnya: “Allah mengutusNya bukan untuk menghakimi dunia, melainkan untuk menyelamatkannya.”

Dalam Gereja awal, gambar Yesus yang paling sering ditemui adalah Sang Gembala Baik yang menggendong domba yang hilang. Tetapi perspektif ini tidak bertahan terlalu lama dan digantikan oleh Yesus Sang Hakim pada akhir zaman. Sepertinya kita hanya bisa puas akan citra Tuhan yang sudi menjatuhkan hukuman pada orang yang jahat, terutama mereka yang sudah menyakiti kita atau orang yang kita sayangi.

Sanggupkah kita menghayati kembali misi agung Tuhan yang berinkarnasi menjadi manusia? Dapatkah kita percaya kepada Tuhan yang datang bukan untuk menghakimi tetapi untuk menyelamatkan kita karena cintanya?

Translate »