Header image alt text

indonesian catholic online evangelization

Tidak ada masalah yang tidak bisa diselesaikan oleh Tuhan

Posted by admin on December 20, 2021
Posted in renungan 

Renungan hari Selasa Minggu keempat dalam Masa Advent

21 Desember 2021

Ketika saya di seminari tinggi tingkat kedua, saat bimbingan dengan pembimbing rohani saya, saya diberi nasehat ketika masalah datang dan itu membuat saya takut, katakan pada masalah itu, hai masalah yang sedang kualami, kamu tidak lebih besar dari Tuhan yang begitu mencintai saya. Sejak saat itu ketika saya mengalami masalah berat dalam hidup, saya ikuti apa yang dinasehatkan oleh beliau, seringkali saya merasa lebih lega karena saya diingatkan bahwa tidak ada masalah yang tidak dapat diselesaikan oleh Tuhan.

Dalam bacaan Injil hari ini, Maria mengunjungi Elisabet yang sedang hamil 6 bulan. Malaikat Gabriel memberi tahu Maria bahwa “ Elisabet, sanakmu itu, sedang mengandung seorang anak laki-laki pada hari tuanya dan inilah bulan yang keenam bagi dia, yang disebut mandul itu”  (Lukas 1:36). Dalam Kejadian 30:23, kemandulan dilihat sebagai celaan; itu adalah hal yang memalukan, memalukan, dan terhina.

Elizabeth sendiri juga mengatakan ini ketika akhirnya dia mengandung. Ia berkata: “sebab Allah telah mengangkat aibku di depan umum” (Luk 1:25). Ketika Elizabeth mengandung, dia sudah melewati usia subur, tetapi itu bukan halangan bagi Tuhan. Ketika Tuhan datang ke dalam gambar, Dia mengubah segalanya. Hal ini juga dialami oleh Sarah, istri Abraham, dan istri Manoah (ibu Samson). Sarah bahkan diejek oleh pelayannya dan ibu Samson oleh temannya. Bagi Tuhan untuk membuat semua wanita ini hamil, termasuk Bunda kita, Perawan Maria yang Terberkati, bahkan tanpa melakukan hubungan seksual hanyalah sebuah petunjuk pada kenyataan bahwa Tuhan dapat melakukan segala sesuatu. Oleh karena itu, apa pun tantangan yang mungkin kita hadapi dalam hidup, ingatlah bahwa itu tidak lebih besar dari Tuhan, karena bagi Tuhan, segala sesuatu mungkin terjadi.

Ketika kita sedang dilanda masalah yang berat yang kelihatannya sulit untuk dipecahkan, kita diingatkan bahwa tidak ada masalah yang tidak bisa diselesaikan oleh Tuhan.

Belajar dari Bunda Maria

Posted by admin on December 19, 2021
Posted in renungan 

Renungan hari Senin Minggu keempat dalam Masa Advent

20 Desember 2021

Ketika saya ditahbiskan saya menerima kartu ucapan selamat dari salah seorang kawan saya, beliau menuliskan ini: “Romo Fransiskus, sesudah nanti ditahbiskan, hendaknya setiap hari sebelum istirahat Romo menanyakan diri sendiri apakah hari ini saya sudah melakukan apa yang Tuhan inginkan dari saya atau saya melakukan apa yang saya mau dalam diri saya? “

Injil hari ini mengajak saya dan anda untuk belajar dari Bunda Maria tentang kepatuhannya untuk mengikuti kehendak Tuhan.

Dalam injil hari ini kita membaca setelah malaikat Gabriel menceritakan segalanya tentang rencana Tuhan untuknya. Bunda Maria berkata :”  “Sesungguhnya aku ini adalah hamba Tuhan; jadilah padaku menurut perkataanmu itu.”  (Lukas 1:38)

Seringkali Yesus berbicara kepada kita dalam banyak cara, Dia bahkan menggunakan orang lain dan peristiwa yang kita alami dalam hidup kita untuk menyampaikan pesan-Nya kepada kita.

Tetapi seringkali kita lebih memilih untuk melakukan apa yang kita inginkan dalam hidup kita.

Bisa saja Bunda Maria seperti dari kebanyakan kita melakukan apa yang dia ingini, tetapi Bunda kita memilih untuk mendengarkan suara Tuhan.

Mendengarkan suara Tuhan adalah sesuatu yang sering kurang dalam kehidupan kita karena seringkali kita melakukan apa yang kita inginkan, seringkali kita mengabaikan kehendak Tuhan.

Dari Bunda Maria ketika belajar bahwa beliau tidak melawan kehendak Tuhan, dia percaya saja dan dengan rendah hati menyerahkan dirinya untuk menjalani apa yang Tuhan kehendaki dalam dirinya yaitu menjadi ibu bagi Yesus sang juru selamat kita.

Marilah kita mohon pada Bunda Maria agar kita diberi rahmat dan kekuatan untuk dapat selalu melakukan apa yang Tuhan inginkan dalam hidup kita meskipun kadang terlihat sulit untuk dilakukan.

Ya Yesus terjadilah saja padaku menurut perkataanmu, menurut apa yang engkau inginkan dalam hidupku.

The Joy of Two Women

Posted by Romo Valentinus Bayuhadi Ruseno OP on December 18, 2021
Posted in renungan  | Tagged With: , ,

4th Sunday of Advent [C]

December 19, 2021

Luke 1:39-45

Mary was going to the place of Elizabeth in haste. But, why did she have to go in haste? Mary was full of excitement and joy Mary because she knew that her beloved relative had received the miracle from God. Elizabeth who called barren, was pregnant with a child. Mary was full of joy as she would like to witness this mighty deed of God.

The excitement and joy were shared by Elizabeth when Mary arrived and greeted her. By the Holy Spirit’s guidance, Elizabeth recognized who Mary is. She is not just another relative, but Mary is the blessed among women because she was with God-made-man. Thus, Elizabeth dared to call her the mother of her Lord. Mary’s encounter with Elizabeth is also the first encounter between two great protagonists in the Gospel: Jesus and John the Baptist, between the Messiah and the one who prepares His way. Elizabeth immediately felt that the baby in her womb was leaping for joy upon hearing Mary’s greetings. Joy and excitement are not being shared by Mary and Elizabeth, but by John.

However, behind excitement and joy, there were great dangers and uncertainties. Mary was pregnant without a man. According to Torah [Deu 22:20], she could have been stoned and died. If she survived the death, Mary would bear the stigma and shame for her entire life. Elizabeth’s situation was not much better. As a woman who was already advanced in age, pregnancy and the process of deliverance could be extremely risky and even leading to death. Things just do not look good for these two mothers.

Yet, despite these terrible possibilities, both Mary and Elizabeth chose to rejoice and be full of excitement. What are the reasons? Firstly, both Mary and Elizabeth believed in the word and plan of God. Elizabeth herself said, “Blessed are you who believed that was spoken to you by the Lord would be fulfilled.” Both Mary and Elizabeth both understood that God’s plan for them was not always readily comprehensible and often involved great sufferings. Mary was facing the real possibility of stoning, and Elizabeth may not survive the childbearing, but both believed that God’s will is always the best plan for them. Joy springs after Mary and Elizabeth die to their own selves and let God’s will live in their wombs. Joy is always a pure gift, and these women are amazingly strong to open their hearts to God’s works.

Secondly, Mary and Elizabeth do not work alone. Another reason Mary visited Elizabeth is to accompany and assist her in the days of pregnancy and birth. Mary as a much younger and stronger relative opted to give her best supports in Elizabeth’s life-giving moment. We may argue that Elizabeth safely gave birth to John because Mary was giving her helping hands. At the same time, Elizabeth as an elder relative of Mary, strengthened and comforted Mary in this troubled time. Both survived and flourished because of God’s grace and also their love and care for one another.

Mary and Elizabeth are strong women because they rely on each other. Mary and Elizabeth are the happiest women because they give themselves up to God.

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Tumbuhkan kualitas dalam sunyi

Posted by admin on December 17, 2021
Posted in renungan 

SABTU, 18 Desember

Matius 1: 18 – 24

Paus Fransiskus menetapkan tahun 2021 sebagai tahun santo Yusup. Gereja dan dunia membutuhkan figur seperti santo Yusup. Dia pribadi yang memancarkan kualitas pibadi di tengah dunia gemerlap era digital. Santo Yusup menunjukkan bagaimana menjadi pribadi yang kudus sekaligus bermakna bagi sesama di dunia bising ini. Santo Yusup menunjukkan kualitas pelayanan terjadi dalam sunyi di tengah pendangkalan hidup dan pelayanan. Bagaimana kedekatan pada Tuhan bisa optimal tanpa kata. Bagaimana kesetiaan pada kasih tidak luntur oleh gempuran dunia … Dan seterusnya …

Bunda Maria terkenal dengan kecerdasan hatinya. Pengalaman dan realitas yang tidak bisa dicerna oleh pikiran, dimaknainya dengan hatinya. Mungkin itulah yang dilakukan oleh santo Yusup. Tak satupun kata terekam di dalam Kitab Suci. Tetapi semua tahu bahwa dialah perisai hidup yang menyelamatkan Maria dan kanak-kanak Yesus.

Santo Yusup berbicara dengan tindakan yang diterangi iman. Langkah hidupnya menunjukkan bahwa Yusup memiliki kedalaman batin dan kecerdasan hati. Seolah dia tidak membutuhkan legitimasi apalagi acungan jempol orang lain, meskipun dia sangat berhak untuk itu. Harga diri dan kepercayaan dirinya didasarkan pada pengalaman nyata bahwa dia mampu setia sampai tuntas pada apa yang ia imani. Rasa syukurnya melambung tinggi karena dia mengalami bahwa Allah setia menemani pada saat-saat kerpauhan manusiawinya tidak berdaya.

Di hadapkan pada figur Yusup, kita tertunduk malu. Bukan karena kita tidak berprestasi. Tetapi karena kita sibuk memantas diri di hadapan sesama dan Tuhan. Bahkan kebaikan kita yang indah menjadi luntur karena diarahkan untuk mendapatkan imbalan demi diri sendiri. Kita alergi dan tidak nyaman dengan kesendirian, keheningan, apalagi kalau kita bisa menunjukkan keterlibatan dan prestasi yang perlu diviralkan. Dengan agak gagap kita mengakui bahwa identitas dan kepercayaan diri kita amat bergantung pada penerimaan dan apresiasi orang lain.

Mungkin kita perlu lebih hening dan berbagi dalam sunyi. Mungkin kita perlu lebiih mengungkapkan iman dalam tindakan tanpa perlu banyak berpikir soal imbalan, apapun bentuknya. Kita memang perlu mendekatkan diri pada santo Yusup. Juga pada saat ini ketika kita tangah mempersiapkan diri menyambut Penyelamat kita.

Mengikuti manusia Yesus …

Posted by admin on December 16, 2021
Posted in renungan 

JUMAT, 17 Desember

Matius 1: 1 – 17

Di tengah kemajemukan, identitas itu penting. Ada banyak identitas, seperti identitas sebagai dokter, sebagai mahasiswa,sebagai  istri, orang Katolik, sebagai imam … dan seterusnya. Tapi juga identitas sebagai manusia. Sense of being human.

Itulah makna Injil Matius 1: 1-17 mengenai silsilah Yesus. Genealogy ini mau menegaskan bahwa Yesus adalah manusia biasa seperti kita. Yesus memiliki garis keturunan panjang. Dan dari sekian daftar leluhur itu, tidak semuanya suci dan luhur. Itulah sejarah manusia.

Pada tataran konsep di pikiran kita, tidak sulit menerima bahwa Yesus sungguh manusia. Tetapi dalam hidup harian, kita lebih mudah mengikuti Yesus yang sudah bangkit daripada mengikuti Yesus sebagai manusia. Kita tidak rela Yesus memiliki kelemahan, tertarik pada perempuan, bisa marah, bisa sakit …dst. Kita ingin Sang Guru ini super dalam segalanya. Godaan ini sudah ada sejak awal. Dan Gereja menegaskan bahwa penolakan Yesus sebagai manusia, itu bidaah. Yesus itu manusia seperti kita. Seluruh ajaran Yesus di Kitab Suci, diajarkan oleh Yesus sebagai manusia kepada para murid dan pendengarnya yang adalah manusia biasa juga. Itu artinya, apa yang ia ajarkan pasti bisa dilakukan oleh semua muridNya.

Tetapi dari pihak manusia, kita semua ini, ajaran Yesus kita anggap terlalu sulit. Secara tak sadar kita mengatakan bahwa Yesus mengajarkan dan melakukan itu semua dengan mudah, karena Dia Tuhan. Bukan Yesus yang super manusia, tetapi kita yang takut tumbuh menjadi manusia seperti Yesus. Terkait dengan pertumbuhan kita, Yesus mengatakan bahwa kita mesti bermurah hati dan sempurna seperti Bapa di sorga. Dan wujud konkret Bapa itu ialah Yesus. Dengan kata lain kita tidak dipanggil menjadi diri sendiri (be yourself) tetapi menjadi manusia seperti Yesus. Inilah perziarahan rohani sampai akhir hidup kita …

Yesus memiliki berbagai kerapuhan sebagai manusia: lapar, bisa tersnggung, kesepian, tergoda perempuan cantik, ingin makan enak … Kalau tidak mengalami, Dia tidak manusiawi. Hanya saja Tuhan tidak jatuh … Sementara kita terus menerus jatuh dan sulit bangun. Bukan berarti Yesus Tuhan atau super. Kekuatan Yesus itu hasil latihan terus menerus dalam kesatuannya dengan Allah. Ini yang kita tidak mau melakukannya …

Silsilah Yesus mau mengatakan bahwa Yesus itu manusia wajar. Dia manusia yang memiliki kerapuhan seperti kita. Dia bisa sakit, takut dan mati… Kita tidak sendirian dan bahkan kita memiliki panduan dan arah ke depan: manusia macam apakah yang mesti kita kembangkan.

Translate »