Header image alt text

indonesian catholic online evangelization

Selasa, 26 Juni 2018

Posted by admin on June 25, 2018
Posted in renungan 

Selasa, 26 Juni 2018

1. Bacaan I : 2 Raja-Raja 19:9b-11.14-21.31-35a.36

2. Injil : Matius 7:6.12-14

“Masuklah melalui pintu yang sempit itu, karena lebarlah pintu dan luaslah jalan yang menuju kebinasaan, dan banyak orang telah masuk melalui pintu dan jalan itu. tetapi sempitlah pintu dan sesaklah jalan yang menuju kehidupan, dan sedikitlah orang yang menemukannya”.

Setiap orang dalam dirinya selalu dihadapkan pada kesempatan untuk memilih; dan entah mengapa saya dan mungkin anda juga memiliki kecenderungan untuk memilih sesuai dengan kriteria mudah dan sulit. Jika dua kriteria ini yang digunakan, kita cenderung memilih sesuatu yang mudah; entah itu secara waktu, tenaga, uang, keuntungan, dan lain sebagainya. Pilihan mudah itulah yang agaknya membuat kita jatuh pada budaya instan, tersesat karena memilih jalan pintas yang tidak semestinya demi tujuan yang kita miliki, dan parahnya ada yang memakai cara kotor demi pilihan mudah atas hidupnya. Hari ini sabda Tuhan justru mengajak kita untuk mau mengesampingkan kecenderungan untuk memilih yang mudah, yang justru memuat kita jauh dari keselamatan. Tuhan justru menghendaki kita untuk berjalan di jalan yang sempit dengan banyak proses kehidupan yang harus kita lalui, karena dari kesulitan dan sempitnya jalan itulah kita diajak untuk semakin dekat dan lebih menggantungkan Tuhan dalam langkah hidup kita. Amin….

A Child as a Gift

Posted by Romo Valentinus Bayuhadi Ruseno OP on June 23, 2018
Posted in renungan  | Tagged With: ,

Solemnity of the Nativity of John the Baptist

June 24, 2018

Luke 1:57-66, 80

 

“The Lord had shown his great mercy toward her, and they rejoiced with her.” (Lk. 1:58)

 

Today we are celebrating the birth of John the Baptist. Two figures emerge as the protagonists of our today’s Gospel, Elizabeth, and Zachariah. Luke describes the couple as “righteous in the eyes of God, observing all the commandments and ordinances of the Lord blamelessly. (Luk 1:6)”. But, they have no child. The possibility to have a child is close to zero as Elizabeth is perceived to be barren and Zachariah is already old. In ancient Jewish society, children are considered to be a blessing of the Lord and a source of honor, and barrenness is a curse and shame.

 

However, the archangel Gabriel appears to Zachariah and tells him that his wife will get pregnant despite her barrenness and his advanced age. Paying close attention to their names, we may discover even richer meaning. Zachariah, from the Hebrew word “Zakar” means to remember, and Elizabeth, a compound Hebrew words, “Eli,” and “Sabath” means God’s oath or promise. Thus, both names may mean God remembers His promise. In the Bible, when God remembers, it does simply mean God recalls something from memory, but it means God fulfills what He has promised. As God has fulfilled His promise to Zachariah’s ancestors, so God also remembers His promise to Elizabeth. The story of Elizabeth reverberate the stories of great women in the Old Testament: Sarah (Gen 15:3; 16:1), Rebekah (Gen 25:21), Rachel (Gen 29:31; 30:1), the mother of Samson and wife of Manoah (Jdg 13:2-3), and Hannah (1Sa 1:2).

 

What is God’s promise to Elizabeth and Zachariah, and eventually to all of us? St. Luke the evangelist points to us that God’s promise is to show His great mercy to Elisabeth and Zachariah (see Luk 1:58). The birth of John the Baptist is a sign of God’s mercy towards the righteous couple. Thus, the birth of every child is a sign of God’s promise fulfilled, a sign of God’s mercy to every parent. We recall that mercy is not something we deserve. Mercy is the embodiment of gratuitous love, the gift of love. Mercy is an utter gift. Through every child, God shows His great mercy to us, and together with Elizabeth and Zachariah, we shall rejoice because of this gift.

 

We are living in the world that is increasingly uncomfortable with the presence of the little children around us. There is this new fundamentalist mentality creeping into millennial generation. It is a mentality that promotes individual success as the prime and absolute value of happiness. Thus, anything that stands in its way has to be eradicated. This includes marriage, family life and finally children. They are no longer seen as a gift to be received with gratitude, but liabilities to be avoided. When I visited South Korea last year, my Dominican Korean friend told me that young generation of Korea is working very hard to the point that they longer consider marriage and having children as their priorities. Indeed, unlike in the Philippines or Indonesia, it was not easy to spot little children playing freely. I guess the decline in population growth is a problem in many progressive countries.

 

We deny neither the fact that it is a backbreaking responsibility to raise children nor the reality that not all of us are called to become parents. However, it is also true that children are a gift not only to the particular family, but to the entire humanity, and thus, every one of us has the sacred call to protect and take care of the wellbeing of our children. We shall protect our children from any form of child abuse, from the debilitating effects of poverty, from the egocentric and contraceptive mentality and from evil of abortion. To honor a gift is to honor the giver, and thus, to honor every child is to honor the God who gives them to us.

 

Br. Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

 

 

 

Jangan Khawatir

Posted by admin on June 22, 2018
Posted in renungan 

Sabtu, 23 Juni 2018

Hari Biasa XI

Bacaan I 2Taw 24: 17-25

Bacaan Injil Matius 6: 24-34

Jangan Khawatir

Sujiwo Tejo, seorang budayawan Indonesia, pernah mengatakan, “Menghina Tuhan tak perlu dengan umpatan dan membakar kitab-Nya. Khawatir besok kamu tak bisa makan saja itu sudah menghina Tuhan”. Ungkapan tersebut memuat arti bahwa Tuhan akan senantiasa mencukupkan segala sesuatu yang kita butuhkan. Tuhan terlalu baik bagi setiap pribadi. Injil hari ini semakin menegaskan kepada kita bahwa kekhawatiran merupakan kesalahan terbesar bagi seseorang yang beriman kepada Tuhan. Kekhawatiran merupakan salah satu penyebab seseorang menjadi gagal atau takut berkembang. Bisa juga dicermati ketika kita sedang khawatir, terlalu mudah rasanya untuk mengabaikan suara Tuhan. Roh jahat amat sering memanfaatkan rasa khawatir dan cemas sebagai pintu merenggangkan hubungan manusia dengan Allah. Maka, kekhawatiran harus kita lawan dalam pergulatan hidup ini.

Rasa khawatir berbeda dengan waspada. Khawatir melahirkan nuansa keragu-raguan sedangkan waspada justru membuat seseorang menjadi lebih awas, teliti dan cermat. Kekhawatiran sama artinya dengan meragu-ragukan penyelenggaraan ilahi. Jika Allah yang menjadi andalan hidup diragukan, lalu dengan siapa kita akan mengandalkan hidup? Nampaknya, rasa ragu-ragu inilah yang membuat orang Israel berpaling dari Allah dan memeluk pada berhala. Dosa ketidaksetiaan menjadi pemicu kekalahan Israel terhadap Aram sehingga Israel porak-poranda. Hal itu juga bisa terjadi bagi hidup kita. Mungkin, pada suatu ketika kita pernah meragukan karya Allah sehingga kita lebih memilih hal-hal praktis dan licik untuk memberi kenyamanan dan keuntungan bagi kita. Saya pernah mengalami peristiwa kehilangan ketika berada di Seminari Mertoyudan. Langkah pertama yang diambil adalah berdoa. Namun, beberapa teman justru “lari” kepada dukun untuk mengetahui siapa pencuri barang saya itu. Mereka tidak mau menunggu jawaban dari doa-doa kami karena mereka ingin cepat mendapatkan jawaban identitas si pencuri.

Egosime manusiawi terkadang memengaruhi kualitas iman seseorang. Artinya, jika iman seseorang itu cukup kuat, maka dia sudah mampu untuk mengolah ego karena kemampuannya membatinkan ajaran Yesus dalam batinnya, dan sebaliknya. Kita perlu iman yang sederhana agar bisa memiliki perasaan nyaman sehingga terasa sekali betapa Allah itu sungguh mencintai kita. Pertanyaan bagi kita saat ini adalah dalam peristiwa apa sajakah aku meragukan karya Allah dalam hidupku? Selama perjalanan hidup, kekhawatiran macam apakah yang menurutku paling besar dan sering aku alami?

Menanam Harta Surgawi

Posted by admin on June 21, 2018
Posted in renungan 

Jumat, 22 Juni 2018

Hari Biasa XI

Bacaan I 2Raj 11: 1-4. 9-18. 20

Bacaan Injil Matius 6: 19-23

Menanam Harta Surgawi

“Di mana hartamu berada, di situ juga hatimu berada”. Dari ajaran Yesus itu mari kita merenungkan tentang kepemilikan atas suatu harta. Setiap dari kita tentu memiliki harta yang tak hanya diukur melalui hitungan ekonomis. Ada sebutan bahwa keluarga adalah harta yang paling berharga; ada petuah yang mengatakan sikap dan perbuatan adalah harta termahal bagi seorang pemimpin. Maka, ketika Yesus mengajar murid-muridNya dengan analogi tentang harta, semua orang pasti akan memahami. Yesus mengajak kita untuk mengumpulkan harta surgawi di dalam perjalanan hidup kita yang sedang berada di dunia ini. Bahwa harta yang dimaksud Yesus bukan lagi berkaitan dengan kepemilikan atas suatu benda atau hal-hal fisik, melainkan pada jaminan hidup abadi bersama Bapa kelak. Setiap harta yang kita miliki tentu menjadi berharga karena memberi jaminan tertentu kepada kita.

Cara untuk mendapatkan harta surgawi itu membutuhkan perjuangan kesetiaan pada ajaran Yesus. Apa yang kita lakukan dalam kehidupan ini, akan memengaruhi suasana hidup kita kelak. Maka, tidak dapat kita tolak bahwa sekarang adalah waktu bagi kita untuk mengumpulkan pundi-pundi harta surgawi. Hidup kita ibarat investasi untuk jaminan di hari kemudian. Apa yang kita tuai adalah apa yang kita tanam. Jika kita menanam kebaikan, tentu kebaikan pula yang akan kita tuai. Yesus telah menanamkan warta keselamatan kepada manusia melalui hidup, karya, sengsara, wafat dan kebangkitan-Nya. Semasa hidup, Yesus bukanlah orang yang gemar mengumpulkan harta duniawi, tapi toh masih mampu mencukupkan kebutuhan hidup sehari-hari. Keseluruhan sejarah hidup Yesus merupakan investasi yang berharga bukan hanya untuk Yesus sendiri, tetapi bisa dinikmati oleh orang lain, bahkan tetap lestari sampai sekarang. Orang kecil, tersingkir dan miskin dianggap oleh Yesus sebagai harta-Nya. Menyembuhkan orang sakit, berbelas-kasih pada yang menderita dan taat pada Bapa adalah cara Yesus untuk mengumpulkan harta surgawi dalam kehidupan-Nya di dunia.

Kita diajak untuk menjadi pribadi seperti Yesus yang melihat jauh ke depan, yakni hidup bersama Bapa kelak. Sekaranglah saatnya kita berinvestasi demi mendapatkan jaminan hidup abadi bersama Bapa. Yakinlah bahwa selalu ada kesempatan untuk menanam kebaikan dan harta surgawi. Pertanyaan untuk kita renungkan: seberapa banyak kita telah mengumpulkan harta surgawi itu? Apakah kira-kira harta surgawi yang kita kumpulkan itu sudah cukup banyak untuk bisa dinikmati oleh orang lain?

Tetap Berdoa di Tengah Perjalanan Perutusan

Posted by admin on June 20, 2018
Posted in renungan 

Kamis, 21 Juni 2018

Hari Biasa XI

Bacaan I Sir 48: 1-14

Bacaan Injil Matius 6: 7-15

Tetap Berdoa di Tengah Perjalanan Perutusan

Elia dan Elisa adalah nabi yang memberi teladan kepada kita tentang pentingnya menjalin relasi seerat mungkin dengan Allah. Dalam perjalanan kenabiannya, Elia dan Elisa selalu punya waktu pribadi untuk berdialog dan mendengarkan Allah. Kemampuan doa mereka terbukti dengan betapa Allah selalu mendampingi pewartaan mereka. Elia dan Elisa mengajarkan tentang hakekat doa sebagai pondasi hidup dan karya setiap pribadi. Yang penting dari doa bukan lagi sebatas meminta, tetapi bersyukur; dan lebih dari itu memuliakan serta mendengarkan suara Allah. Maka, jika kita merasa doa-doa kita belum dijawab oleh Tuhan, berarti kemampuan kita memang baru sebatas meminta. Kita belum sampai pada tahap menerima sebagaimana Tuhan menerima kita apa adanya. Doa yang baik selalu memberikan ketenangan dan kepuasan batin. Jika dalam berdoa justru kita banyak meminta kepada Allah, maka hampir pasti suasana batin yang menguasai kita adalah kurang tenang.

Maka, melalui ajaran-Nya, Yesus mengajak kita untuk mendalami pentingnya berdoa sebagai kewajiban orang beriman. Dengan mengajarkan doa Bapa Kami, Yesus hendak memberi poin penting bahwa berdoa itu pertama-tama demi menjalin relasi intim dengan Allah. Di tengah zaman yang hiruk-pikuk dan penuh kesibukan, mendengarkan suara Allah dalam hati setiap pribadi bukanlah perkara mudah. Tak heran, banyak orang di akhir pekan berbondong-bondong menuju tempat-tempat ziarah untuk menenangkan hati dan batin dari segala macam pekerjaan yang berat. Mereka butuh keheningan untuk mampu mendengarkan suara Allah. Tantangan terberat di zaman ini berada pada kemampuan kita untuk hening di tengah kebisingan. Romo Mangunwijaya, Pr pernah menulis refleksi bahwa kita sebagai beriman kristiani harus mampu “tapa ngrame”. Artinya, di tengah dunia yang bising, kita harus mampu mendengarkan suara Allah yang seringkali memperdengarkan suara melalui hal-hal sederhana dan tak terduga. Hal ini bisa kita rasakan jika kita menanamkan habitus hening sebagai rutinitas hidup.

Elia, Elisa dan Yesus selalu mempunyai waktu pribadi untuk berdoa. Mereka mencari tempat sepi dan biasanya di atas gunung atau bukit demi mendengarkan suara Allah. Mereka membuat waktu-waktu khusus untuk bisa berdoa di tengah perjalanan perutusan. Maka, memanglah berdoa itu membutuhkan kehendak kuat dan waktu pribadi. Pertanyaan untuk kita renungkan: apakah aku masih mampu mendengarkan suara Allah? Apakah aku juga mempunyai waktu khusus untuk berdoa secara intim kepada Allah?

Translate »